Image of Mereka Bilang Aku China

Book - Paperback

Mereka Bilang Aku China



BARANGKALI pelajaran terbesar menjadi seorang keturunan etnik Tionghoa di Indonesia ialah tak bosan berusaha mematahkan stereotip yang keburu disematkan, kaum dagang yang gila uang.





Bahkan pasca-Mei 1998, ketika media lebih leluasa memberitakan tentang etnik Tionghoa, imaji masyarakat telanjur sulit bergeser. Bahwa banyak orang Tionghoa yang tak cocok dengan stereotip itu, tidak terlalu terlihat.





Lantaran itu, Dewi Anggraeni menulis buku Mereka Bilang Aku China: Jalan mendaki menjadi bagian bangsa yang diterbitkan Bentang Pustaka.








Dewi Anggraeni, penulis buku Mereka Bilang Aku China --Foto:MI/Sumaryanto








Sebagai seorang Tionghoa bernama asli Tan Soen May, Dewi tahu betul banyak celah yang luput dari perhatian. Maka ia sengaja mewawancarai delapan perempuan keturunan etnik Tionghoa, menitikberatkan pada pribadi dan kemanusiaannya. Antara lain aktivis hak asasi manusia (HAM) Ester Indahyani Jusuf, penulis Linda Christanty, mantan atlet bulu tangkis Susi Susanti, sampai Jane Luyke Oey, janda mendiang tahanan politik era Orde Baru Oeng Hay Djoen yang menyokong Pramoedya Ananta Toer.





�Dari kedelapan wanita inilah, stereotip tersebut terbantahkan. Karena keadaan orang etnik Tionghoa jauh lebih kompleks daripada yang kita duga,� ungkap Dewi saat diskusi buku di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, akhir Oktober 2010.





Dari kisah mereka, kita bisa tahu apa rasanya menjadi minoritas dari mulut mereka sendiri. Bagaimana Anda membayangkan perasaan Susi Susanti ketika pecah kerusuhan Mei 1998 yang menjadikan etnik Tionghoa sebagai sasaran?





Padahal saat itu ia tengah berada di Hong Kong untuk pertandingan Uber Cup. ��Dia di sini semacam �duta besar� untuk Indonesia. Sementara di Indonesia sendiri, keluarganya dijadikan sasaran karena mereka keturunan Tionghoa dan rasa nasionalisme mereka dipertanyakan. Apakah orang tahu bahwa nasionalisme yang non-Tionghoa selalu padat dan tak dapat diragukan.





Apakah orang dapat mengetahui kapasitas sentimen seseorang tentang isu-isu tertentu hanya dengan menyorot etnisitasnya�?� (hlm 117) Hal-hal semacam inilah yang tergambar dalam buku Dewi. Sebagai tukang cerita yang baik�ia menulis fiksi dan nonfiksi�, Dewi menuturkan hasil wawancara dengan gamblang, jelas, dan menyentuh persoalan mendasar.





Fokusnya juga jelas. Dewi tidak tergoda bercerita ke sana kemari meski persoalan etnik Tionghoa sangat kompleks. Justru dari pengalaman individu-individu yang diwawancarai itu (ia menyebutnya protagonis), kita bisa meneropong rumitnya menjadi Tionghoa di Indonesia.





Dewi sendiri bersuamikan pria Australia. Kini ia hidup di Australia dan Indonesia. Novel pertamanya, The Root of All Evil (1997) membuat nama Dewi dikenal publik Australia sebagai penulis fiksi. Namun, Dewi juga menulis nonfiksi. Who Did This To Our Bali (2003) ialah upaya Dewi sebagai penengah budaya antara warga Australia dan Indonesia. Tampaknya peranan itu juga yang tengah dijalankan Dewi dalam buku ini. Menjelaskan posisi yang satu kepada yang lain, memberi ruang bagi minoritas untuk bersuara dan didengarkan kaum mayoritas.(Sic/M-1)


Ketersediaan

46495000C2O library & collabtive (Fiction & Literature; History & Geography)Tersedia

Informasi Detil

Judul Seri
-
No. Panggil
305.89510598 ANGG Mer
Penerbit Bentang : .,
Deskripsi Fisik
279
Bahasa
ISBN/ISSN
9786028811132
Klasifikasi
Indonesia
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
-
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab

Versi lain/terkait

Tidak tersedia versi lain




Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaXML DetailCite this