”... Merokok itu bahasa Malangnya ngoker. ... terasa sekali sedapnya, apalagi jika disertai dengan secangkir ipok (kopi). Aah, itu saja masih belum seberapa. Jika ditambahi dengan bentul goreng atau senjem (menjes) yang masih hangat. Atau bisa juga dengan jemblem. Moro tuwa liwat ae gak disopo! ...”
(Malang Tempo Doeloe - bab Oker)

Buku ini didapat di book counter hotel Tugu, Malang. Empat ratus ribu rupiah untuk dua jilid rasanya sepadan dengan kualitas cetakan yang bagus maupun isinya yang lumayan lengkap dari jaman Majapahit sampai saat ini, dan cara penyampaian sejarah kota Malang yang benar-benar ala kera ngalam; mengalir, enak diikuti, gak bikin kening berkerut, bahkan jargon-jargon yang diselipkan sering membuat pembacanya cengengesan. Daftar isinya pun campuran kalimat berbahasa Jawa Timur-an, bahasa Belanda dan bahasa Indonesia ejaaan lama maupun baru, seperti ini: ”Monggo Dipun Sruput”, ”Hayam Wuruk Uklam-Uklam ke Malang”, ”De Smeroe”, ”Bal-balan”, ”Kajoetangan”, ”Nama-Nama Jalan Tempo Doeloe”, dll.

Buku Malang Tempo Doeloe sangat pas dibaca oleh mereka yang punya keterkaitan sejarah dengan kota ini; lahir ataupun melewatkan sebagian masa kecil dan remajanya di sini, sempat mampir beberapa waktu di kota ini dan punya kesan mendalam di beberapa tempat di seantero penjuru kota, ataupun yang kiprah kerjanya bersentuhan dengan beberapa bagian kota ini. Buku ini juga sangat bagus untuk menjadi acuan mereka yang ingin berkunjung ke Malang; kemana saja tempat yang wajib disinggahi, budaya setempat, dan hal-hal unik lain yang hanya di Malang bisa ditemuinya.

Komentar pedas juga datang dari beberapa kalangan sejarahwan yang meragukan kredibilitas Dukut. Selain bukan kelahiran asli Surabaya, Wong Jawa Timur Berpengaruh versi Harian Republika itu tidak mempunyai latar belakang pendidikan sejarah. Sehingga apa yang disusun Dukut dalam bentuk buku sering diremehkan. Tapi pria yang punya background pendidikan ekonomi itu menampik jika proses pembuatan bukunya dituduh asal-asalan. Setiap fakta yang ditulis ada bukti otentik yang Dukut himpun dan simpan rapi. Bahkan Dukut berani menjamin validitas karyanya. "Kalau sudah begitu saya balik bertanya sama mereka. Anda sejarahwan sudah pernah bikin buku? Lalu mereka menjawab belum. Langsung saja saya skak, mangkanya bikin buku dong!. Bikin buku dulu baru mengkritik," ujar Dukut lalu tersenyum simpul.