Dengan lebih dari 300 kelompok etnik, dan begitu beragamnya hubungan kekerabatan serta sistem kekeluargaan—mulai dari patrilineal, matrilineal, hinga bilateral, bagaimana Indonesia dapat dibayangkan sebagai keluarga? Bagaimana “keluarga Indonesia” digambarkan, dan bagaimana dia membentuk perumusan identitas Indonesia? Bagaimana berbagai pengertian dalam keluarga seperti bapak, ibu, dan anak jadi memiliki arti politik yang penting di Indonesia dan dalam bahasa Indonesia? Bagaimana masa kanak-kanak dan keluarga dibentuk di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, Saya Shiraishi mempelajari asal-usul penggambaran keluarga nasional melalui buku-buku pelajaran, majalah anak dan buku-buku populer, penelitian lapangan dan menelusuri kembali sejarah nasional Indonesia.
Dibagi dalam tujuh bab, di bab pertama Shiraishi mengawali penuturan pengalaman dan observasinya dengan menggarisbawahi sistem “kekeluargaan” Orde Baru. Orang-orang, menurut Shiraishi, pada dasarnya dibagi menjadi dua kategori: kenalan (orang-orang yang menjadi anggota jaringan “keluarga”), dan tidak kenal (orang-orang di luar halaman rumah, “sosok-sosok yang potensial menjadi pencopet”). Anggota “keluarga” di sini tidak terbatas pada hubungan biologis atau hanya anggota keluarga semu (quasi-family).
Jaringan “keluarga” diperluas dan dirajut melalui semua jalur yang tersedia, “sejauh itu memenuhi kepentingan, kebutuhan, selera, dan kesenangan mereka”, dan jalan untuk memperluas jaringan ini cukup sederhana: satu orang diperkenalkan kepada orang lain dan kepada seorang lain lagi. (Saya jadi iseng mikir, bagaimana Shiraishi akan melihat pertumbuhan pesat Facebook di Indonesia, yang dilaporkan menempati tempat kedua setelah Amerika Serikat?)
Setiap kali muncul kebutuhan, mereka akan berusaha mencari atau menjalin berbagai koneksi pribadi. Setiap kali kebutuhan mereka terpenuhi, berbagai koneksi pribadi tersebut diperkuat, sementara pemisahan dua dunia tetap seperti semula. Meskipun kebutuhan mereka tidak terpenuhi, pihak yang kecewa tetap percaya bahwa hal itu terjadi karena hubungan mereka tidak cukup baik, atau karena mereka sendiri membuat kesalahan yang mengacaukan segalanya. Lemahnya kontrol masyarakat terhadap pemerintah jarang dipahami sebagai masalah struktur politik, melainkan sebagai perkara hubungan pribadi sehari-hari, yang jika tahu caranya justru diharapkan untuk bisa dimanipulasi.
Bahasa politik-kekeluargaan seperti bapak, ibu, anak, dan keluarga, digunakan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Soeharto adalah Bapak Presiden, dan para pejabat pembantunya, seperti juga warganegara, mengikutinya sebagai anak. Dalam jaringan “keluarga”, sengketa antaranggota diselesaikan oleh peraturan tak tertulis, dan bukan oleh sistem peradilan. Untuk hidup di kota besar di Indonesia, menurut Shiraishi, perluasan jaringan koneksi ini menentukan akses berbagai kegiatan seperti pembuatan izin, juga akses pribadi (“jalan belakang”) terhadap berbagai hak istimewa atau fasilitas. Praktik KKN atas nama kekeluargaan, famili-isme, bapak-isme ditanamkan dalam segala sendi kehidupan, termasuk bahasa.
Di bab berikutnya, Shiraishi mengamati bagaimana Suharto (di)muncul(kan) di kancah politik Indonesia sebagai bapak, dan bagaimana bahasa diplintir untuk mengubah jalannya sejarah. Bapak dipaksa untuk datang ke tempat anak buah-nya. Meskipun begitu, gagasan membuat bapak menjadi subordinasi anak buah tidak pernah muncul, bahkan dalam pernyataan itu. Sekalipun pada masa revolusi, anak buah hanya bisa meminta bapak-nya menjalankan peran sebagai bapak, atau ia akan tamant. Inilah revolusi gaya Indonesia, yang secara subtil membatasi “revolusi” tersebut. Ia tidak pernah dimaksudkan untuk mengingkari hubungan bapak-anak buah itu sendiri. Anak buah tidak “menculik” bapak-nya, tapi “menyelamatkan”—satu cara untuk menyatakan bahwa anak buah tidak pernah bisa memberontak melawan bapak-nya dan membalik rute dalam peta.
Bahasa kekeluargaan ini begitu dalam tertanam, tanpa kita sadari. Kata “hangat” kerap digunakan untuk menggambarkan suasana kebahagiaan sebuah keluarga, dan diyakini hanya bisa diberikan oleh ibu mereka, atau siapapun yang menggendong mereka. Masa lalu dibangun dan dihidupkan kembali, dan dengan sendirinya membatasi penciptaan konsep tanahair, keluarga dan sejarahnya. Keluarga dibangun sebagai tempat di mana cinta orang tua berputar. Seseorang menjadi anggota dewasa melalui pengorbanan dan kontrol diri, yaitu dengan mentransformasikan cinta orang tua kepada anggota keluarga yang lebih muda, yang sekaligus menegaskan posisi, peran, tanggungjawab, dan kekuasaan di antara anggota-anggotanya. Ibu dikonstruksikan sebagai sumber kebahagiaan keluarga, yang harus memberi tanpa syarat, sementara menghormati dan mensyukuri setiap pemberian ibu merupakan kewajiban moral setiap anak.
Sisi yang tidak disebutkan dari konstruksi indah tersebut adalah, anak wajib menerima pemberian itu–Shiraishi memberikan contoh bagaimana seorang anak kecil yang hendak mengambil permen merah, dipaksa oleh ibunya menelan permen hijau. Dan yang tidak disebutkan lagi adalah, anak kemudian wajib membalasnya, dengan lebih besar dan lebih mahal. Dengan begitu, pemberian ibu itu tidak mungkin dibayar kembali. “Kasih sayang” di sini menjadi sesuatu yang mengikat, tiranikal, sublim.
Prinsip moral hubungan ibu-anak inilah yang kemudian juga dipakai dalam hubungan negara-bangsa sehingga pemerintah (sebagai orangtua). Mereka “tidak pernah menuntut apa-apa”, maka dari itu dapat menuntut pengorbanan dan loyalitas yang tak terbatas dari rakyat (sebagai anaknya). Penyelewengan-penyelewengan ditoleransi. Dan “toleransi” menjadi satu cara untuk memenuhi apa yang diinginkan orang tanpa mengubah atau melanggar ketertiban. Mereka yang ditolerir akan tunduk kepada yang menolerir mereka.
Ketergantungan terhadap toleransi pribadi itu, yang berjalan secara informal namun sistematis, dan sikap dermawan itu-bisa-diatur-nya bapak, merupakan tanda resmi manajemen gaya keluarga organisasi bisnis dan pemerintah Indonesia. Bos sebuah perusahaan misalnya, toleran terhadap bawahannya yang menggunakan mobil dinas untuk antar-jemput anak-anaknya. Dengan cara ini, si bos melepaskan diri dari pertanyaan soal kenaikan upah yang dilontarkan bawahannya. Para pegawai harus puas dengan gaji yang diterima, atau bila tidak puas, mereka mesti diam saja karena takut kehilangan kebaikan hati bos. Bos membentuk wibawa terhadap bawahan dengan cara menenggang mereka menggunakan milik perusahaan untuk kepentingan pribadi.
Penyelewengan melembaga sebagai bagian dari struktur dalam Indonesia modern, dan sangat diperlukan bagi kekuasaan pribadi bapak yang diwujudkan dalam toleransi dan tindakan indisipliner organisasional. Masyarakat membutuhkan perlindungan para bapak, karena mesin yang mereka kuasai bekerja secara sewenang-wenang. Bapak menjadi sumber sekaligus penawar kesewenang-wenangan kekuasaan. Tut wuri handayani dicanangkan Ki Hajar Dewantara sebagai prinsip metode pendidikan yang berlaku sebagai alternatif kelas yang terlalu diatur, yang membiarkan anak-anak bebas dan mempunyai inisiatif di dalam kelas. Suharto mengubahnya menjadi politik nasional yang mengisyaratkan adanya mata yang menghukum, yang mengawasi anak-anak warga dari belakang.
Sikap bapak yang toleran dan kurangnya disiplin organsisasi memang sudah sering diangkat oleh media. Namun, setidaknya di zaman Shiraishi menulis penelitian ini, hal tersebut tidak dinilai sebagai masalah sistematik ataupun struktural, melainkan hanya kejadian yang tidak semestinya dan terkait dengan masing-masing individu dari pegawai kantor itu. Bukannya menyoroti sistem, struktur, ataupun kualitas pribadi seseorang, jika seseorang tidak mendapatkan apa yang diinginkan, itu karena ia gagal membangun hubungan personal yang cukup kuat dengan mereka yang punya kekuasaan.
Kenapa bapak bisa begitu berkuasa pada masa Orde Baru? Shiraishi sedikit menguraikan bagaimana rejim ini dibangun di atas rasa takut yang hebat, yang sampai-sampai tak dapat disebut, dan ditutup-tutupi (Shiraishi banyak mengutip artikel Pipit Rochijat, “Am I a PKI or Non PKI?”). Supersemar menjadi surat sakti untuk menutupi kenyataan berdarah, bahwa sebenarnya kekerasanlah yang melahirkan Orde Baru, dikukuhkan dan ditegaskan melalui bahasa kosong dan sistem yang begitu pervasif. Bahasa resmi, lingua franca, menyimpan begitu banyak hal yang tidak dikatakan, dan menjadi kosong maknanya.
Sifat mendua ini juga direproduksi dan dikonstruksikan dalam lingkup resmi guru dan komunal anak-anak. Dalam belajar tidak menjadi penting apakah murid mengerti atau tidak, setuju atau tidak. Yang penting adalah dia hanya perlu meniru apa yang dikatakan guru dan menyalin apa yang ditulis di papan tulis. Belajar menjadi hanya pengulangan dan reproduksi suara dan tulisan resmi. Dalam ruang kelas, suara dipisah menjadi dua menjadi: 1) suara tak resmi, yang walaupun gaduh, kolektif, tak terdengar, dan 2) suara resmi yang diakui.
Kegembiraan karena pertanyaan tak terduga, yang muncul dari waktu ke waktu di kelas, diabaikan sebagai sesuatu kegaduhan yang tidak memiliki daya untuk mengganggu diskursus guru. Aturan dalam kelas timbul bukan karena penindasan atas seluruh kegiatan dan suara yang tidak resmi, melainkan dari tindakan pemisahan yang membedakan suara resmi dari kegaduhan. Apa yang harus dijaga untuk mempertahankan aturan di dalam kelas adalah batas yang memisahkan keduanya.
Shiraishi juga mengamati munculnya kata “remaja”, yang sangat kontras dengan “pemuda” 1940-an yang revolusioner dan mahasiswa 1960-an. “Pandangan stereotip kontemporer tentang remaja menggambarkan mereka sebagai kumpulan orang yang belum matang, cenderung bergerombol, kadangkala mengenakan seragam sekolah, tidak disiplin, gampang naik darah, liar, dan yang terutama, tidak penting.” Digambarkan bagaimana ranah ketertarikan mereka dibatasi menjadi sekedar “konser musik rock, bioskop, disko, sepakbola, dan tawuran,” kalau tidak “pengangguran”, “frustasi berat dan mampu melakukan tindak kekerasan, namun jinak secara politik.” Namun menarik di sini, bagaimana remaja dapat menggunakan musik-musik pop untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka dengan jenaka.
Dalam pembukaannya Shiraishi menanyakan, “Apa yang terjadi dengan “keluarga” nasional semenjak Orde Baru berakhir, dan apa yang akan dilakukan rakyat Indonesia terhadap tradisi nasional ini?” Shiraishi mengakhiri bukunya dengan mengingatkan kita pada semangat kemandirian yang dituliskan Pram dalam karya-karyanya, bahwa “kedewasaan seorang anak hanya bisa dicapai dengan kemandirian pribadi dalam melawan kekuasaan.”
Satu dasawarsa telah berlalu sejak buku ini pertama kali diterbitkan, dan keluhan-keluhan yang sama—penyelewengan, korupsi, sistem pendidikan yang tidak beres, pelarangan buku—masih sering kita jumpai di Indonesia, dengan berbagai wujud yang berbeda, dan penelitian Shiraishi bisa jadi terlihat sedikit sebagai isu lama. Tapi buku ini memaparkan dengan sangat informatif dan sederhana, bertahap, bagaimana identitas dikonstruksi dari keseharian kita yang paling remeh temeh—bahasa, perilaku, bacaan populer (majalah Bobo, novel, buku teks sekolah). Dengan membaca buku ini, kita dapat sedikit mengerti, memahami, dan mungkin, satu bekal untuk mulai merubah hal-hal kecil di sekitar kita.
Oleh Saya Sasaki Shiraishi
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001.
No. Panggil: 959.8 SHI Pah
Judul asli
Young Heroes: The Indonesian Family in Politics
© 1997 Cornell Southeast Asia Program