Sabtu, 19 Juli 2014, 17.30 WIB |Tidak hanya melihat kerja arsip dan pengarsipan sebagai produk, ataupun perkara pengumpulan, penyimpanan maupun pelestarian teks-teks seni budaya, tetapi juga sebuah nafas semangat yang hidup dan menghidupkan kerja-kerja individual, komunitas, maupun kewargaan.
Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik dan Media
Bedah buku karya Chang-yau Hoon.
Jumat, 22 Februari 2013, pk. 15.30-18.00
Ruang Pertemuan TB Petra Togamas
Jl. Pucang Anom Timur no. 5
Surabaya
Metodologi Sejarah
Sejarawan, sama seperti ilmuwan lain, punya hak penuh berbicara masalah-masalah kontemporer … Bahkan, mereka yang bekerja di pengalengan ikan, pertukangan sepatu, perusahaan batik, pabrik biskuit, dan dunia usaha lain tetap dapat menjadi sejarawan. Sejarawan adalah penulis sejarah. Titik. (“Cerpenis adalah penulis cerpen, apa pun pekerjaannya”). Tanggalkan anggapan bahwa hanya mereka yang bekerja sebagai dosen universitas …
Proses kreatif Tata Ruang untuk Kita
Talk & Sharing:
Proses kreatif Tata Ruang untuk Kita, dan Kata Fakta Jakarta
Oleh Elisa Sutanudjaja dan Dian Tri Irawaty
(Rujak Center for Urban Studies)
Sabtu, 15 September 2012, pk. 13.00
C2O Library & Collabtive, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
Elisa Sutanudjaja dan Dian Tri Irawaty dari Rujak Center for Urban Studies akan berbagi cerita mengenai proses pembuatan dua buku mengenai perkotaan yang merka terbitkan, yakni Kata Fakta Jakarta, dan Tata Ruang untuk Kita.
Rujak Center for Urban Studies via penyusunan media peraga ini berharap agar masyarakat dibekali pengetahuan, agar bisa memulai dari titik nol yang sama. Di saat bersamaan RCUS berharap agar masyarakat paska membaca maupun menonton alat peraga dapat merasa tergelitik untuk berpartisipasi aktif dalam praktek penataan ruang.
Dalam upayanya mendesain paket toolkits video dan buku ini, Tita Salina dan Irwan Ahmett memulai dengan banyak pertanyaan. Pertama-tama merasa kebingungan melihat produk tata ruang yang ada adalah berupa dokumen-dokumen penuh tulisan dan berpuluh-puluh lembar lengkap dengan bahasa dan istilah spesifik. Lalu yang terjadi dalam relasi Tita Salina dan Irwan Ahmett terhadap Rujak adalah proses saling belajar. Yang satu berusaha belajar memahami, sementara Rujak berusaha menyederhanakan tata ruang menjadi bahasa masyarakat.
Kolaborasi antara RCUS dengan seniman memang bukanlah pertama kali. Terlebih Irwan dan Tita adalah 2 seniman yang kerap kali mengangkat isu kota – dan terkenal dengan seri Urban Play, membuat proses penyusunan toolkits dan video ini menjadi sangat menyenangkan.
Mohe Wae Rebo!
Pemutaran & diskusi film arsitektur nusantara: Mohe Wae Rebo!
Bersama Rendy Hendrawan & Arya Wishnu Wardana
Jumat, 16 Desember 2011
Pk. 18.00 – 21.00
Tersedia popcorn dan minuman hangat, courtesy of Hifatlobrain Travel Institute, kru Mohe Wae Rebo dan C2O. Mohon sumbangan kawan-kawan untuk menjaga kelangsungan kegiatan ini ;-)
INFO: info@c2o-library.net
———-
Benarkah dimuseumkan berarti telah punah?
Menjadi pusaka berarti dibiarkan berdebu dan beku dimakan waktu?
Tercatat dalam sejarah berarti harus siap terlupakan dan digantikan oleh hal baru?
*
Seperti ada yang ingin disampaikan oleh alam melalui deretan gunung dan bukit, aliran sungai dan selapis kabut, langit pagi dan malam, juga mata yang memandang ramah sejumlah turis yang kebanyakan bukan berasal dari tanah nusantara.
Mungkin Wae Rebo memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang dengan tulus ingin mencintai alam hingga ke akarnya. Berjam-jam perjalanan jauhnya dari gemerlap lampu kota dan gemercik air mancur bernilai milyaran, memang sangat logis jika hanya segelintir orang Indonesia diantara jutaan yang berjubel memenuhi pulau Jawa yang mampu dan mau menyempatkan waktu mencicipi surga dunia di tengah belantara ini. Alam memberi bayaran yang setimpal. Tak hanya sebentang lukisan hijau berhias kabut melatari rumah adat tua berbentuk kerucut yang bisa dinikmati sambil menyeruput kopi hitam di pagi hari, alam juga menghadiahi taburan bintang yang menjadi tayangan pembuka saat malam, sebelum kepala suku mulai bercerita tentang warisan budaya mereka yang dengan tekun mereka jaga.
Masyarakat Wae Rebo menghargai alam dari lapisan yang paling esensial. Nilai yang alam ajarkan sejak nenek moyang mereka tuangkan dalam keseharian, disimbolisasikan ke dalam Mbaru Niang (rumah adat) dan pola sawah yang mereka buat. Setiap detail perilaku mereka terlihat sederhana, namun merupakan budaya kaya dan tak lekang oleh zaman. Yang pernah rapuh dan hilang, kini tergantikan, dengan dukungan segelintir saudara setanah air mereka yang masih sanggup datang dan peduli.
*
Suatu siang ketika ketujuh Mbaru Niang telah tegak berdiri, siap dihuni, sayup terdengar lagu Indonesia Raya dikumandangkan dengan fasih, tanpa cela. Di ujung atap Mbaru Niang yang kembali sempurna, melambai-lambai bendera kebangsaan Indonesia.
“Seperti melihat nenek moyang lahir kembali dari rumah yang setelah sekian lama hilang, lalu kini bangkit dan berdiri,” kata seseorang dari Wae Rebo. Ah, Wae Rebo tidak boleh mati hanya agar dapat kita buat museumnya dan dinikmati tanpa hati.
Terima kasih, Wae Rebo, pusaka arsitektur nusantara tidak pernah seindah dan sehidup ini.
Mohe Wae Rebo!
Sumber: Ronaldiaz Hartantyo dan Adi Reza Nugroho
Ditulis oleh Rofianisa/Vidour untuk “Bring Waerebo to 21st Century” iPad Application Project
Reportase: Diskusi bersama editor National Geographic Indonesia
Sebuah permintaan mendadak disampaikan oleh Purwo Subagiyo, seorang digital strategist National Geographic Indonesia dalam persinggahannya di Surabaya. “Bisa nggak disiapkan tempat di C2O untuk ngobrol santai dengan mas Yoan?”
Yoan adalah panggilan akrab dari Mahandis Yoanata, seorang pecinta sejarah yang juga seorang editor di majalah National Geographic Indonesia. Di hari yang sama, ia dan fotografer Feri Latief membagi pengalamannya dalam melakukan pelputan untuk NGI di kampus ITS Surabaya. Malamnya ia bertandang ke C2O untuk berbagi cerita mengenai kota lama di Surabaya.
“Saya sudah menyusuri beberapa kantor lama di Surabaya, kebanyakan bagunannya masih dalam kondisi baik. Surabaya ini menurut saya memiliki kota lama yang paling bagus dibandingkan Jakarta, Bandung, atau Semarang,” kata Yoan.
Lantas kisah-kisah tentang bangunan lawas pun mengalir lancar dari mulutnya. “Kalian tahu bangunan bekas kantor pajak di daerah Jembatan Merah yang dahulu dibangun oleh Berlage?” tanya Yoan kepada peserta diskusi kecil ini. Lantas ia bercerita tentang patung singa yang ada di depan gedung tersebut dan menghubungkannya dengan simbol singa milik Santo Markus yang menjadi lambang Venesia. “Bisa jadi, dulu Berlage melihat Surabaya sebagai Venesia dari timur, karena begitu banyak sungai dan kanal yang melintas kota,” kata Yoan.
Ia juga menjelaskan dengan detail tentang makna kaca patri yang ada di dalamnya. “Lambang Firaun dan tujuh bulir padi di kanan kiri itu bisa jadi merujuk pada mitos kuno tentang masa panen dan paceklik selama tujuh tahun yang melanda Mesir kuno. Semacam pesan untuk memanfaatkan pajak sebelum datang musibah di kemudian hari,” kata Yoan.
Pria yang berasal dari Jogja ini juga bercerita tentang lambang Syria kuno yang menghiasi setiap brankas yang ada di kantor-kantor milik Belanda. “Saya ini selalu memperhitungkan detail dan mencatatnya,” kata Yoan.
Diskusi tentang sejarah dan budaya kuno berlangsung seru. Berbagai tanya jawab juga dilontarkan oleh peserta yang tidak banyak itu. Lukman Simbah bertanya tentang kebijakan tata kota kolonial yang disambung oleh Bucu, seorang mahasiswa Planologi ITS. “Belanda dulu mendesain sebuah kota dengan mempertimbangkan apa yang akan terjadi di masa depan,” kata Bucu.
Yoan juga merasa senang dengan keberadaan c2o di Surabaya. “Cari tempat sharing kayak gini di Jakarta sudah jarang, dulu ada dua di Depok, tapi entah sekarang…” kata Yoan.
Reportase: Wacana Gender dalam Seni Rupa Indonesia
Sabtu sore, 24 September 2011, tikar-tikar digelar pelataran belakang C2O. Pot-pot rosemary dipasang di sela-sela—pengusir nyamuk sekaligus penghijau mata. Makanan berupa cupcakes coklat vanilla, gorengan, semangka dingin dan es teh limun digelar di atas meja panjang di samping, dijaga oleh Antonio Carlos dan intern favorit kami, Deasy. Erlin datang membawa makarani schotel buatannya, dan langsung …
Continue reading “Reportase: Wacana Gender dalam Seni Rupa Indonesia”
IK’OL’SAN, IKutan ngobrOL SANtai
Komunitas Jejak Petjinan mengadakan IK’OL’SAN, IKutan ngobrOL SANtai bersama teman-teman mahasiswa Magister Kajian Sastra dan Budaya (S2) dari (FIB UNAIR) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Beberapa saat yang lalu, mereka mewawancara beberapa narasumber masyarakat Tionghoa dalam rangka tugas kuliah berkelompok berjudul “Dinamika Diskriminasi Tionghoa Indonesia”
Obrolan santai ini jadi menarik, karena biasanya subyeknya (yang membahas) adalah orang Tionghoa, dan obyeknya (yang dibahas) juga orang Tionghoa, sehingga kita kadang meragukan kenetralannya dan nggumun “opo iyo”. Nah, seperti halnya arek-arek Suroboyo (yang cinta buta kotanya) selalu memuji masakan Suroboyo dimanapun dia berada… Kali ini teman-teman dari UNAIR yang notabene bukan Tionghoa akan membagi cerita mereka dalam proses mengerjakan tugasnya, dan kita semua dapat bonus presentasi yang keluar dari ruang kuliah, yang dinikmati mungkin sambil makan siang di dalam ruang perpustakaan di tengah kota Surabaya.
Lokasi: C2O Library, jl. Dr.Cipto no 20, Surabaya 60264
Hari: Minggu, 2 Oktober 2011
Waktu: 10.30-14.00 siang
Konsumsi: disediakan makan siang sederhana dengan menu pecel
Pembicara:
Pujo S.Nur Cahyo
Edy Santoso
Ajeng K.Wardani
Ayu Saraswati
Moderator:
Paulina Mayasari (Jejak Petjinan)
Rupa Tubuh: Wacana Gender dalam Seni Rupa Indonesia (1942-2011)
Peluncuran & Diskusi Buku Katalog Data IVAA #1
Rupa Tubuh: Wacana gender dalam Seni Rupa Indonesia (1942-2011)
Sabtu, 24 September 2011
Pukul: 18.00 – 21.00
C2O Library Surabaya
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
Peta bisa dilihat di: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/
Presentasi oleh
Farah Wardani, Direktur Eksekutif, IVAA
Yoshi Fajar Kresnomurti, Outreach Program, IVAA
Dr. Diah Ariani Arimbi, dosen Fakultas Ilmu Budaya UNAIR, penulis Reading Contemporary Indonesian Muslim Women Writers
Khanis Suvianita, dewan penasihat, GAYa NUSANTARA. Redaksi Jurnal Gandrung: Kajian Seksualitas Kritis.
Moderator:
Prof. Esther Kuntjara, dosen Fakultas Sastra UK Petra, penulis Women and Politeness dan Gender, Bahasa dan Kekuasaan
…………………………………………………………………………………………………………
Perkembangan seni rupa (modern) Indonesia disadari maupun tidak dipengaruhi secara langsung maupun tidak, dimaui maupun tidak, akan selalu terkait dengan persoalan gender. Gender selalu melekat, dilekatkan dan mengalami proses pelekatan dalam sejarah seni rupa (modern) Indonesia.
Arsip seni visual dipahami sebagai media membaca dan alat pembacaan perkembangan masyarakat. Perjalanan dan perkembangan dunia seni rupa (kontemporer) Indonesia sesungguhnya telah melahirkan berbagai produksi pengetahuan yang dihasilkan dari perputaran dan pergulatan karya seni rupa maupun proses berkarya, jalan hidup seniman maupun komunitas seni, ruang peristiwa seni maupun ruang kehidupan sehari-hari.
Katalog kecil ini berangkat dari perdebatan estetika beserta penilaian-penilaiannya, tetapi dari bagaimana pernyataan, strategi dan eksperimentasi (estetik) dipraktikkan. Tujuannya lebih pada urgensi dan menemukan strategi visual yang dengan tepat menggambarkan keterlibatan dan posisi seni visual dalam keadaan sekarang dan sebagai inspirasi masa yang akan datang.
Buku Katalog Data IVAA ini menggelar data yang dirangkai dan dikumpulkan dari peristiwa-peristiwa seni visual Indonesia. Dikurasi dari database IVAA sebagai produk pengetahuan dari kerja dokumentasi IVAA selama ini untuk pengembangan wacana pengetahuan masyarakat kontemporer. Buku saku ini dimaksudkan untuk ikut membangun bahan, medium dan wacana seni rupa dan perkembangan masyarakat bagi dunia pendidikan dan eksperimentasi praktik seni rupa di masa yang akan datang.
Buku Katalog Data IVAA Rupa Tubuh merupakan yang pertama dari empat seri Katalog Data IVAA, yang akan diterbitkan secara bergiliran per bulannya. Ketiga buku Katalog Data lain bertemakan Seni Rupa dengan: Lingkungan, Industri Kreatif, dan Multikulturalisme.
Penelitian hasil kerjasama antara:
Indonesian Visual Art Archive (IVAA) & HiVOS: People Unlimited
…………………………………………………………………………………………………………
Acara ini diselanggarakan oleh:
Indonesian Visual Art Archive
Jalan Ireda Gang Hiperkes MG I-188 A/B
Kampung Dipowinatan, Keparakan
Yogyakarta 55152
I N D O N E S I A
Tel./Fax: +62 274 375 262
Email. program[at]ivaa-online.org or melisa[at]ivaa-online.org
Website: www.ivaa-online.org
C2O library
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
Telp: +62 858 5472 5932
Email: info@c2o-library.net
Website: http://c2o-library.net
http://facebook.com/c2o.library
…………………………………………………………………………………………………………
Didukung oleh:
GAYa NUSANTARA
Jl. Mojo Kidul I No 11 A
Surabaya 60285
Telp/Fax +62 31 – 5914668
Website: www.gayanusantara.or.id
Email: gayanusantara@gmail.com
BRAngerous: Women Art Exhibition
http://brangerous.blogspot.com/
Zamrud Khatulistiwa
Narasumber : Farid Gaban (Tim ekspedisi, wartawan Kantor Berita Pena Indonesia)Moderator : Ayos Purwoaji (hifatlobrain)
Minggu, 26 Juni 2011 18.00 – selesai
C2O Library, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya
Indonesia adalah negeri kepulauan terbesar di dunia. berisi sekitar 17.000 pulau, negeri ini memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Mengandung kekayaan alam, baik darat maupun laut, tiada tara, dia berisi keanekaragaman hayati yang kaya raya.
Namun, sebagian besar penduduk pesisir dan kepulauan Indonesia tergolong miskin; tidak tersentuh deru pembangunan. Paradigma pembangunan kita masih cenderung memanjakan darat dan perkotaan, serta mengabaikan laut dan kepulauan kecil.
Di masa lalu, Nusantara dikenal sebagai negeri bahari. Pelaut-pelaut tradisional kita adalah pelaut petualang dan pemberani. Citra itu telah pudar belakangan ini. Padahal, di masa depan, laut dan pulau-pulau kita dengan segala keindahan dan kekayaan di dalamnya, merupakan jawaban atas sebagian besar problem Indonesia. Namun, perhatian, kepedulian dan pengetahuan kita tentang laut masih relatif minim.
Tim Ekspedisi keliling Indonesia selama 8 bulan dari Mei hingga Desember 2009, mengunjungi, mendokumentasikan dan mempublikasikan lewat produk multimedia kehidupan di 100 pulau pada 40 gugus kepulauan.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu mengubah cara berpikir : mulai secara serius menengok khasanah kekayaan hayati dan budaya laut serta kepulauan sebagai jawaban atas krisis ekonomi dan lingkungan yang sekarang melanda negeri ini.
Ekspedisi ini diharapkan bisa menyumbang dokumentasi, pengetahuan serta ajakan yang lebih keras agar kita lebih serius mengembangkan potensi kelautan dan kepulauan kita sekaligus melestarikannya.