Reportase: Wacana Gender dalam Seni Rupa Indonesia

Sabtu sore, 24 September 2011, tikar-tikar digelar pelataran belakang C2O.  Pot-pot rosemary dipasang di sela-sela—pengusir nyamuk sekaligus penghijau mata.  Makanan berupa cupcakes coklat vanilla, gorengan, semangka dingin dan es teh limun digelar di atas meja panjang di samping, dijaga oleh Antonio Carlos dan intern favorit kami, Deasy.  Erlin datang membawa makarani schotel buatannya, dan langsung sibuk memfoto-foto. Pengunjung mengisi buku tamu dan melihat-lihat publikasi IVAA lainnya.

Begitulah, sore itu kami kedatangan kawan dari Yogyakarta, Yoshi Fajar Kresno Murti dan Farah Wardani dari Indonesian Visual Art Archive (IVAA), dalam rangka peluncuran buku Rupa Tubuh: Wacana Gender dalam Seni Rupa Indonesia (1942-2011).  Khusus untuk acara ini, buku ini dijual dengan harga Rp. 80.000 (harga normal Rp. 120.000).  Ada berbagai macam publikasi lainnya seperti Essays on New Media (Krisna Murti), Folders (Nuraini Juliastuti), dan publikasi-publikasi lainnya seperti Peta Buku Surabaya, profil IVAA.  Pengunjung yang datang mengisi buku tamu, bersandingan dengan kotak sumbangan yang kini dibajak sebagai hunian kepiting Kenjeran oleh-oleh Pauline.

Di belakang, Prof. Esther Kuntjara, Khanis Suvianita dan Dr. Diah Arimbi berbincang-bincang dengan Farah, memperkenalkan diri sekaligus mempersiapkan materi diskusi.  Yoshi menyiapkan presentasi di laptop dan projector.  Pengunjung mengambil makanan-makanan sebelum bergabung duduk santai di belakang.

Jam 18.45, diskusi pun dimulai.  Prof. Esther memperkenalkan para pembicara untuk malam itu.  Dr. Diah memberi presentasi mengenai gender sebagai konstruksi sosial, tidak netral, dan bagaimana konsep perempuan menjadi sebuah arena kontestasi.  Beliau juga menyorot bagaimana sejarah juga sangat dipengaruhi oleh ideologi.  Mengutip perkataan Heidi Arbuckle dalam buku tersebut, “Jika kita menyimak betul perjalanan seni rupa Indonesia, absennya seniman wanita seperti sebuah kesengajaan,” di sini juga tampak hal yang sama dalam kanon sastra Indonesia—dan sastra banyak negara-negara lainnya.

Khanis kemudian memberi presentasi mengenai bagaimana femininitas, maskulinitas dikonstruksi dan kemudian diletakkan dalam sekat-sekat yang mengabaikan banyak hal dan identitas cair di antaranya.

Farah kemudian menjelaskan, untuk membuat katalog ini, mereka membuka arsip-arsip lama IVAA dan berusaha mengkategorikannya berdasarkan tema-tema besar yang mereka lihat.  Sebisa mungkin mereka menghindari memberi terlalu banyak pendapat subjektif.  Tapi memang dalam pencarian data, umumnya, baik secara tersirat maupun tersurat, memang ada ketimpangan isu gender dan dominasi laki-laki dalam ranah seni rupa.  “Jadi mungkin, memang seni rupa kita itu memang masih ‘cowok banget’,” tutur Farah.

Kebetulan juga hadir dan mendukung acara ini adalah BRAngerous, komunitas seniman perempuan muda dari berbagai latar belakang yang aktif berkarya dan melakukan pameran.  Begitu pula GAYa NUSANTARA, yang meskipun tidak berkiprah dalam seni, namun kehdirannya memberi banyak informasi mengenai gender dan seksualitas.

Ada beberapa pengunjung yang memprotes ketiadaan karya seniman Surabaya dalam katalog ini.  Tapi IVAA memang memformatnya sebagai katalog, sebagai rangkaian data.  Tentunya, karena keterbatasan halaman, terjadilah seleksi.  Ada lebih banyak data dalam CDnya, yang dimaksudkan untuk lebih melengkapi data yang terbatas.  Tapi bukan berarti karya-karya yang dimasukkan dalam buku ini lantas dinilai lebih baik daripada karya-karya yang tidak terpilih.  Selain itu, sepertinya bisa diakui bahwa karena kelangkaan dokumentasi dan arsip, data mengenai seniman di Surabaya cukup sulit untuk diakses.

Katalog kecil ini memang jauh dari lengkap, dan memang tidak bermaksud menjadi yang paling lengkap.  Buku ini ditulis dengan harapan dapat memancing inspirasi, membangun bahan, wacana dan praktik seni rupa, dan juga mendorong orang lain untuk pelan-pelan melengkapinya.

Diskusi terpaksa diakhiri sekitar pk. 20.40, meskipun masih ada saja pengunjung yang tampaknya ingin melanjutkan diskusi.  Prof. Esther mengakhiri diskusi dengan memberi rangkuman, dan juga harapan-harapan untuk katalog-katalog berikutnya.  Farah menyampaikan bahwa buku ini adalah buku pertama dari seri katalog data IVAA, yang akan diterbitkan dalam 4 jilid.  Sementara tiga buku lainnya akan membahas Industri Kreatif, Multikulturalisme, dan Lingkungan.  Mari kita nantikan penerbitannya!


C2O mengucapkan banyak terima kasih pada Yoshi, Farah, dan kawan-kawan IVAA, Prof. Esther Kuntjara, Dr. Diah Arimbi, Khanis Suvianita, Nitchii dan kawan-kawan BRAngerous, Sardjono Sigit dan kawan-kawan GAYa NUSANTARA, dan semua teman-teman yang telah datang dan membantu pelaksanaan acara ini.

Email | Website | More by »

An independent library and a coworking community space. Aims to create a shared, nurturing space, along with the tools and resources for humans (and non-humans) for learning, working, and connecting with diverse communities and surrounding environment—for emancipatory, sustainable future. More info, visit: https://c2o-library.net/about/ or email info@c2o-library.net

Leave a Reply