Site icon C2O library & collabtive

Bright Star

John Keats adalah seorang penyair Inggris beraliran Romantis di abad ke-18. Ia meninggal di usia muda, 25 tahun, miskin dan tanpa dikenal atau dihargai diluar lingkungan teman-temannya. Karya-karya Keats mulai mendapat tanggapan bagus dari para kritik beberapa tahun setelah dia meninggal dan sekarang Keats dianggap sebagai figur yang sangat penting untuk aliran Romantis. Surat-surat dan puisinya sangat dikenal dan disukai, dan bahkan dianggap sebagai karya-karya penting yang banyak dipelajari dan ditafsirkan oleh berbagai akademis.

Jane Campion, sutradara wanita berkebangsaan Australia, memutuskan untuk mengusung kisah John Keats ke layar lebar, hanya saja kisah Keats diceritakan lewat sudut pandang Fanny Brawne, seorang gadis muda berusia 19 tahun yang menjalin hubungan kasih yang teramat sangat kuat dan passionate dengan Keats, namun sayang harus diakhiri secara tragis dan mendadak oleh kematian Keats.

Jane Campion | 2009 | France & Australia | Colour | 119 mins

Fanny Browne digambarkan sebagai seorang remaja yang independen, bangga dan  percaya diri atas keahlian menjahitnya. Dia senang mengekspresikan diri lewat fashion stylenya. Dia juga suka berdansa dan bersosialisasi namun tidak memiliki apresiasi mendasar terhadap dunia puisi dan sastra.

Maka, tidaklah heran bila teman baik Keats, Charles Brown, tidak menyetujui hubungan mereka. Ia menganggap bahwa Fanny kurang layak untuk Keats dan waktu Keats lebih baik diluangkan untuk menulis puisi bersama dia. Tetapi anggapan Brown ini salah. Bisa dibilang Fanny adalah muse, sumber inspirasi Keats. Karya-karya terbaik Keats banyak dilahirkan di musim panas, dimana Keats dan Fanny banyak meluangkan waktu bersama.

Dari dua buah karya Jane Campion yang sudah saya nikmati, terkesan bahwa heroine-heroine di film Jane Campion selalu ditampilkan sebagai tokoh yang tegar dan feminis tetapi secara unorthodox dan unik. Fanny disini terkesan sangat agresif dan jujur dalam mengikuti perasaan hatinya, tetapi ia juga masihlah muda dan tidak berpengalaman. Keats sendiri terkesan lebih menahan diri dan kurang menunjukkan perasaannya, walau akhirnya diketahui bahwa hal ini disebabkan karena kondisi finansialnya yang tidak memungkinkan untuk menikahi Fanny.

Arahan Jane Campion membuat period piece ini terkesan segar dan modern. Sisi komedi lembut dihadirkan lewat dialog-dialog lucu antara Fanny dan Toots, adik kecil Fanny yang lucu dan berpipi merah, atau lewat obsesi aneh Fanny terhadap pleats and frocks (triple pleats frock!), atau argumen pedas antara Fanny dan Brown. Interaksi keluarga Brawne yang informal dan saling pengertian memberikan kesan hangat, sedangkan hubungan Fanny dan Keats dibawakan secara lebih berani dan fisikal dibandingkan film-film period piece lainnya yang biasanya lebih menyukai pendekatan yang tersirat.

Untuk Bright Star, Jane Campion mendapatkan arwah film ini dari tulisan-tulisan Keats. Sinematografi film ini dengan indahnya memberikan versi visual atas tulisan Keats. Hangatnya sinar matahari memberikan cahaya lembut yang menyinari rumah keluarga Brawne, sedangkan warna pelangi bunga dan kupu-kupu menghiasi kebun dan hutan dimana pasangan ini sering meluangkan waktu. Musim panas Keats dan Fanny ini terasa seperti mimpi magis nan singkat yang harus diakhiri ketika musim dingin tiba.

Salah satu kekuatan film ini adalah penyertaan surat-surat dan puisi Keats kedalam dialog dan alur cerita. Kisah kasih Keats dan Fanny menjadi lebih kredibel, nyata, dan emosional ketika disertai dengan syair-syair Keats. Salah satu bagian terindah dari film ini adalah imajinasi ulang masa-masa dimana Keats menemukan inspirasi untuk puisi-puisinya yang terkenal. Visualisasi saat Keats beristirahat di atas pohon sambil mengutip Ode to Nightingale sangatlah indah, tetapi lebih indah lagi adalah ketika Keats berada dipangkuan Fanny dan mengutip Bright Star.

Film-film Jane Campion selalu terasa lebih jujur dan istimewa karena pengarahannya yang atmosferik sesuai dengan mood para karakter-karakter di filmnya. Hal ini didukung oleh akting yang berani dari para aktor di film ini, terutama Abbie Cornish yang memerankan Fanny Brawne. Kita merasa kagum dan tersentuh atas keberanian Fanny untuk mengikuti kata hatinya dan kesedihan mendalamnya saat Keats meninggal.

Sedikit peringatan saja, karena film ini bercerita tentang cinta kasih penyair Romantis yang sangat terkenal, jadi tentu saja ceritanya teramat sangat romantis dan penuh dengan haru biru. Harap para cynics membuang sikap cynical-nya disaat menonton film ini, tetapi menurut saya, arahan Jane Campion yang sangat tepat disertai dengan materi-materi tulisan John Keats yang indah membuat film ini tidak terasa cheesy melainkan authentic.

Exit mobile version