Mastodon

Invitation

Sutradara: @affan_hakim | Produser : mas ibnu | cast: maaf gak sempet nyatet pas credit titlenya diputer Sebuah movie screening patut saya ikuti karena biasanya saya bertemu dengan para movie maker, minimal si sutradara atau produser atau salah satunya. Tidak hanya bertemu, mungkin juga saya bisa bertanya sesuatu hal yang ‘mengganggu’ atau ‘agak menganggu’ yang …

Reportase: Rumah Abu Han

Menurut Pak Lukito, film dokumenter ini bagus secara komunikasi visual—beliau menyebutkan Anak Naga Beranak Naga (dir. Ariani Darmawan) sebagai pembanding—tapi ada beberapa informasi yang perlu diluruskan. Pertama, Pecinan pertama di Surabaya bukan di Kembang Jepun, tapi di Jalan Karet. Kedua, pernikahan keluarga Han dan keluarga The, terjadi di generasi bawah, dan kemungkinan besar karena kebijakan politis. Ketiga, yang nantinya akan diulasnya lebih lanjut, adalah bahwa arsitektur Rumah Abu Han hanya memadukan 2 gaya, yakni gaya Tionghoa dan gaya kolonial Belanda.

Soerabaja, Surabaya

Tiap bulan November, kita merayakan Hari Pahlawan dengan berbagai pertunjukan, arakan, dan berbagai acara gegap gempita. Pada kenyataannya, di banyak buku sejarah luar (Amerika, Inggris, Belanda), pertempuran November di Surabaya jarang sekali tercantum.

Sutradara Peter Hoogendijk membawa ibunya, Thera André, ke Surabaya, kota di mana ibunya kembali dari kamp Jepang 60 tahun yang lalu saat dia berusia 17 tahun. Dengan meletusnya revolusi Surabaya, Thera bersama ribuan perempuan dan anak-anak Eropa dan Eurasia kemudian dilarikan oleh tentara Inggris ke luar kota. Selama di Belanda, ia bahkan tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di kota yang ditinggalkannya.

Peter membawa ibunya kembali ke kota kelahirannya untuk mencari tahu apa yang terjadi, dan dari dokumenter ini, kita bisa melihat berbagai sudut pandang: perayaannya tiap 10 November dan wawancara dengan para veteran pejuang (Pemuda) seperti Des Alwi dan Askandar, korban pelarian Belanda, dan putra-putra Jendral Mallaby. Kita bisa melihat footage dokumenter-dokumenter lama, dan juga kondisi Surabaya saat ini, serta perayaan-perayaan reenactment-nya tiap tahun.

Film ini membangkitkan banyak pertanyaan dan informasi-informasi yang tak terbayangkan. Sebagai contoh, ternyata di antara kalangan pelarian Belanda, ada yang disebut sebagai Bloody Monday, Senin Berdarah, 15 Oktober 1945, di mana dikatakan 50-200 orang Eropa & Eurasia dikumpulkan dan dibantai di Simpang Societeit (sekarang Balai Pemuda). Informasi ini begitu asing bagi kita. Wawancara dengan dua putra Jendral Mallaby juga banyak memberi informasi mengejutkan mengenai brigade 49, Jenderal Mallaby, dan kesiapan tentara Sekutu di Surabaya.

————————-
Selama bulan November 2010, bekerja sama dengan komunitas Surabaya Tempo Dulu, kami memutar dua film berkaitan dengan sejarah Surabaya. Film ini diputar di C2O Sabtu lalu, 6 November 2011, dengan diskusi santai tapi informatif yang dipandu oleh dua admin komunitas Surabaya Tempo Dulu, Ajeng Kusumawardani dan Nikki Putrayana, serta Mba Windhi yang malu-malu di kursi pengunjung bersama putrinya :).

Film berikutnya yang akan kami putar adalah film Jalan Raya Pos, lihat jadual di sini. Bagi yang tidak sempat menonton film “Soerabaja, Surabaya”, film ini akan diputar lagi pada hari Kamis 11 November 2010, pukul 09.00 WIB di Auditorium FIB UNAIR, dalam rangka Diesnatalis Departemen Ilmu Sejarah UNAIR dan hari Pahlawan yang diadakan oleh HIMA Ilmu Sejarah Unair. Kru STD dan C2O juga akan hadir di sana. Sampai ketemu!

The Last Bissu

Bissu adalah pendeta Bugis di Sulawesi Selatan, yang dahulu terutama berperan sebagai penjaga para raja dan kerajaan di Sulawesi Selatan. Mereka menyelenggarakan ritual-ritual bagi para bangsawan dan mengurusi pusaka suci kerajaan, arajang. Dalam menjalankan kegiatan tersebut, mereka mengenakan pakaian androgin yang menonjolkan kombinasi atribut laki-laki dan perempuan. Bissu dihubungkan dengan tradisi pra-Islam, dan pertama kali masuk dalam catatan tertulis orang Barat dengan kunjungan Antonio de Paiva ke Sulawesi di tahun 1545.

Hanya bissu yang dipercaya dapat kerasukan arwah dewata untuk kemudian memberi berkat, karena dianggap merepresentasikan baik laki-laki/perempuan, mortal/dewata. Untuk membangkitkan arwah, mereka harus menyelenggarakan ritual yang cukup rumit dengan musik, sesajen, dan tarian. Jika arwah sudah terbangun dan memasuki raga mereka, mereka kemudian menusukkan keris-keris pusaka leher, atau telapak tangan dan dahi. Keberadaan arwah dalam raga membuat mereka kebal. Hanya bissu yang kebal dengan hir berhak untuk memberikan berkat, mulai dari upacara kelahiran, kematian, kesuburan desa, hingga berkat untuk pergi naik haji ke Mekkah.

Film dokumenter The Last Bissu yang disutradarai oleh Rhoda Grauer ini, memberi kita gambaran singkat mengenai bissu dan kaitannya dengan masyarakat Bugis. Diputar di C2O Sabtu lalu, 30 Oktober 2010, pemutaran dihadiri sekitar 20 penonton, bersama Soe Tjen Marching dan Pak Dédé Oetomo hadir sebagai pembicara.

Fenomena transvesti yang berhubungan dengan seni pertunjukan atau ritual telah sejak lama mengakar di berbagai kelompok etnis di Indonesia. Soe Tjen menyampaikan bahwa di Bugis, ada lima gender, sebagaimana ditulis oleh Sharyn Graham Davies dalam buku Gender Diversity in Indonesia: Sexuality, Islam and queer selves, yaitu: oroane (maskulin), makkunrai (feminin), calalai (perempuan maskulin), calabai’ (laki-laki feminin), dan bissu yang dianggap mewakili semuanya. Pertanyaannya adalah, akankah pengkategorian yang lebih banyak ini justru menimbulkan peraturan-peraturan yang lebih ketat?

Toraja 1921

Di kalangan masyarakat Toraja masih dapat dilihat sebuah sistem tukar-menukar yang mencolok, terutama dalam upacara kematian mereka. Dalam sistem pertukaran ini, kerbau mengambil tempat sebagai pusat. Upacara kematian yang sangat megah, tentunya memberi beban besar kepada keluarga. Hukum adat mewajibkan saling menyumbang antar kerabat, yang berarti pula hutang piutang hak serta kewajiban, dan salah satu akibatnya adalah pengikat kekerabatan yang berkelanjutan.

Film pendek ini, yang dibuat di tahun 1921, merekam upacara kematian seorang puang, dengan lokasi Rante-Pao. Asia Tenggara pada umumnya dan Kepulauan Nusantara Barat pada khususnya, sesungguhnya merupakan laboratorium mekanisme keuangan yang luar biasa, di mana evolusi konsep nilai dapat kita pelajari. Sistem tukar-menukar di kalangan masyarakat Toraja ini adalah salah satu keanekaragaman system alat tukar yang sangat menonjol, menurut taraf perkembangan sosio-ekonomi yang dicapai.

Bright Star

John Keats adalah seorang penyair Inggris beraliran Romantis di abad ke-18. Ia meninggal di usia muda, 25 tahun, miskin dan tanpa dikenal atau dihargai diluar lingkungan teman-temannya. Karya-karya Keats mulai mendapat tanggapan bagus dari para kritik beberapa tahun setelah dia meninggal dan sekarang Keats dianggap sebagai figur yang sangat penting untuk aliran Romantis. Surat-surat dan puisinya sangat dikenal dan disukai, dan bahkan dianggap sebagai karya-karya penting yang banyak dipelajari dan ditafsirkan oleh berbagai akademis.

Jane Campion, sutradara wanita berkebangsaan Australia, memutuskan untuk mengusung kisah John Keats ke layar lebar, hanya saja kisah Keats diceritakan lewat sudut pandang Fanny Brawne, seorang gadis muda berusia 19 tahun yang menjalin hubungan kasih yang teramat sangat kuat dan passionate dengan Keats, namun sayang harus diakhiri secara tragis dan mendadak oleh kematian Keats.

Trance & Dance in Bali

Kerauhan (istilah Bali untuk menye­but kerasukan) timbul di Bali dalam bera-gam bentuk. Dalam film ini, Margaret Mead menjelaskan bagaimana kerauhan terjadi dalam Tari Keris, di mana penari-penari menusukkan keris ke dadanya tanpa ter­luka sedikitpun. Salah satu tari Keris mengkombinasi­kan praktik relijius ini den­gan tema drama Bali, yaitu konflik antara Rangda (janda sakti) dan Barong.

Ada berbagai macam ver­si cerita—Mead menyorot versi yang diberikan di desa Pagoetan antara tahun 1937-1939. Di saat Mead mengambil film ini, baik perempuan maupun laki-laki masih mementaskan tarian ini. Film dibagi menjadi dua bagian. Di bagian pertama, ditunjukkan bagian teatrikal semenjak Rangda masih belum memakai topeng hingga tari keris dan penari-penarinya dibopong kembali ke pura. Sementara bagian kedua menunjukkan proses menyadarkan penari keris maupun aktor-aktor laki-laki pemeran Rangda dan Barong dari kerauhan.

Lamalera 1926

Film yang dibuat di tahun 1926 ini menggambarkan proses penangkapan ikan paus di Lamalera, bukan hanya pada saat penangkapannya, tapi juga pembuatan perahunya, perjalanannya, dan sistem pembagiannya. Lamalera adalah satu dari dua desa di Indonesia yang menangkap ikan paus, dan mungkin satu-satunya yang menangkap sperm whale. Penduduk Lamalera kebanyakan tidak memiliki tanah agrikultur sendiri, meskipun beberapa penduduk mungkin memiliki tanah di luar desa. Pola pada umumnya adalah penduduk mencari sumber-sumber laut untuk konsumsi lokal dan barter dengan desa-desa tetangga (dataran tinggi). Meskipun penduduk kini juga memiliki tanah sendiri, pada umumnya pola ini masih bertahan.

Blow-Up

Film drama misteri tanpa solusi mengenai seorang fotografer fashion yang tidak sengaja memotret adegan pembunuhan. Dibuat berdasarkan cerpen Julio Cortázar, Las Babas del Diablo (Devil’s Drool), dan kisah kehidupan fotografer fashion Inggris, David Bailey.