Site icon C2O library & collabtive

Surabaya, City of Work

Selama bulan November 2010, C2O bekerja sama dengan komunitas Surabaya Tempo Dulu (STD), menampilkan ulasan-ulasan buku yang berkaitan dengan sejarah Surabaya, dengan tujuan “Membaca Kota Surabaya”: memperkenalkan dan membangkitkan semangat untuk menggali dan mengenal lebih jauh kota kita. Buku-buku yang ditampilkan ini tersedia di C2O–nantikan ulasan-ulasannya!  Ulasan kali ini pun ditulis oleh admin STD, Bambang Irawan.  Jangan lupa bergabung dengan komunitas Surabaya Tempo Dulu, di mana Anda bisa menikmati berbagai cerita mengenai sejarah Surabaya dengan kemasan yang renyah dan menarik. Mari, kenali sejarahmu!
Sumber foto: Fan photo STD dari Troppenmuseum
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1479514192078&set=o.263449086444


Surabaya merupakan kota yang menarik (baca: menyedihkan) sebab tidak ada buku Lonely Planet sejauh ini yang diterbitkan mengenainya. Lonely planet adalah buku panduan wisata yang menawarkan hal-hal  yang dibutuhkan secara menarik tanpa membuat kening berkerut; cukup untuk mengantisipasi apresiasi selama di kota itu. Bahkan pelancong asing khususnya backpackers saat ini begitu percaya diri dengan mengandalkan Lonely  Planet.  Dengan buku ini mungkin saja para backpackers ini memiliki ‘pengetahuan lebih’  tentang lokasi-lokasi penting dan menarik serta informasi sejarahnya  dibandingkan orang-orang lokal. Mayoritas pelancong / travellers lebih memilih menjajaki  sebuah kota yang akan dikunjungi dengan membaca buku Lonely Planet daripada membaca buku sejarah kota. Lonely Planet menawarkan hal-hal  yang dibutuhkan secara menarik tanpa membuat kening berkerut; cukup untuk mengantisipasi apresiasi selama di kota itu.

Ketiadaan buku Lonely Planet untuk Surabaya merupakan sebuah ironi mengingat akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 begitu banyak penulis-pelancong seperti Walcott (1914), Cabaton (1911),van Dyke (1929) yang menulis tentang Surabaya paling tidak satu bab dari bukunya. Cikal bakal Lonely Planet Surabaya jaman dahulu yang paling lengkap mungkin hanyalah Oud Soerabaia dan Niew Soerabaia oleh von Faber (1931, 1936), tapi sayangnya kedua buku ini berbahasa Belanda dan bukunya begitu sulit diperoleh. Mungkin satu-satunya buku berbahasa Inggris dengan gaya ini adalah buku “The Importance of Java seen from the air” yang diterbitkan tahun 1928 berisi foto-foto udara kota-kota di Jawa dan banyak memuat foto udara Surabaya. Tapi buku terakhir ini lebih fokus ke prestasi usaha yang telah terjadi di Jawa dan semacam promosi investasi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda ke dunia pada waktu itu.

Daya tarik Lonely Planet sepertinya tidak luput dari perhatian para penulis buku sejarah. Gaya presentasinya bisa diterapkan untuk buku sejarah kota yang dilandasi bahan-bahan dan metode ilmiah. Dengan gaya ini sebuah buku sejarah ilmiah jadi bisa dijangkau pembaca awam dan tidak ada tuntutan untuk membaca secara konvensional dari awal hingga akhir. Buku sejarah kota dengan gaya yang baru ini tentunya merupakan inisiatif penulis akademik yang secara proaktif mendekati pemirsa secara lebih luas.

Beruntung kita, bahwa bahwa H.W. Dick telah memberikan kita satu buku penelitian sejarah Surabaya yang tampil ringan dan memikat ala Lonely Planet, tapi juga mengandung penelitian ilmiah yang serius. Setidaknya, untuk sementara waktu, kita tidak perlu menanti terbitnya Lonely Planet Surabaya. Lebih dari sekedar sejarah kota Surabaya, buku ini membuka sebuah bidang baru dalam penelitian sejarah perekonomian sebuah kota yang sama sekali belum pernah ditulis di Indonesia sebelumnya. Berikut adalah satu contoh proses mental yang terjadi di benak pembaca awam; proses mental  yang persis terjadi di benak backpackers asing yang mencoba survive dengan mengandalkan Lonely Planet.

Seiring dengan nasib Kebun Binatang Surabaya di Wonokromo saat ini, seorang pemirsa di Surabaya Tempo Dulu – facebook melontarkan pertanyaan “Kapan KBS didirikan?”. Pertanyaan ini tentunya tidak sulit dijawab. Sebuah pertanyaan tertutup yang membutuhkan jawaban singkat berupa tanggal dan tahun. Buku H.W. Dick tidak memberikan jawaban ini, sesuai dengan judul dan lingkupnya, buku ini tidak memuat sejarah kebun binatang tapi pembaca bisa membuat rekonstruksi awal sendiri dari kata kunci Wonokromo: kita akan menemukan banyak hal disajikan H.W Dick dengan narasi terbuka daripada narasi tertutup. Fakta tanggal dan tahun berdirinya KBS Surabaya tidak bermakna bagi pelancong asing tapi bila fakta itu ditarik dari narasi terbuka yang menuntut respon luas dan memancing proses pengungkapan, lokasi KBS menjadi lebih bermakna dan menjadi bagian dari pengalaman pribadi.

Mari kita telusuri  fakta KBS dari entri Wonokromo di buku ini. Dari index diperoleh 20 entri tentang Wonokromo dan satu yang menarik ada di halaman 346:

Pengembangan tanah terbesar ternyata dilakukan oleh perusahaan trem. Demi realisasi trem listrik di Surabaya, OJS (East Java Steam Tram Company) memutuskan terjun dalam dunia real estate agar proses pengadaan tanah tidak menemui permasalahan sengketa tanah dan keuntungan harga tanah jangka panjang.  Tahun 1912 setelah melalui proses negosiasi yang panjang, OJS berhasil mengkonsolidasi utuh beberapa estate seluas 336 hektar mulai dari sisi selatan Jalan Pandegiling (dulu Tamarindelaan) hingga sisi utara sungai Wonokromo (ARA, OJS 2.20.16.20: 328). Pada saat itu Surabaya dan Wonokromo dipenuhi daerah pertanian beririgasi, hanya  dilalui jalan raya utama dan jalur tram uap yang melengkapi rute sungai Kalimas. Dalam satu langkah, OJS mengembangkan sebuah suburb baru yang menyambung Surabaya Lama dengan Wonokromo.  Rencana pengembangan Darmo Boulevard yang lebar dengan jalur ganda tram listrik yang baru, jalan raya lebar untuk antispiasi era automobile dan perumahan mewah berhalaman luas dilengkapi jalur akses kebakaran dibelakangnya disetujui Municipality tahun 1917.

Dari kutipan entri ini kita mendapat gambaran lebih luas dari sekedar tanggal berdirinya KBS, bahwa ada pengembangan daerah pemukiman baru di Surabaya. Gambaran ini menjelaskan mengapa di buku Walcott dan Cabaton, Surabaya berhenti di daerah Simpang. Dari entri ini pula kita mendapat gambaran tentang perusahaan tram uap yang sedang merencanakan tram listrik dan dalam prosesnya terjun pula ke dunia real estate.  Dari kerangka ini bagaimana kita memasukan KBS didalamnya?  Mungkinkah KBS didirikan ketika perumahan dan infrastruktur daerah Darmo belum terealisasi? Narasi terbuka membuka banyak kemungkinan lanjutan untuk ditelaah dan hal yang menarik seperti inilah yang dieksploitasi Lonely Planet karena mereka yakin pembacanya ingin dikategorikan dalam pembaca yang penuh rasa ingin tahu dan cukup pintar.

Secara pribadi buku ini mengingatkan saya akan Lonely Planet, yang tidak mencekoki kita dengan fakta-fakta yang kering. Kita diberi situasi yang memancing imajinasi kita sendiri untuk melengkapinya. Dari buku ini saya dapat menyimpulkan Pramoedya  Ananta Toer melakukan kesalahan jaman dalam menulis Tetralogi Pulau Burunya. Khususnya seting tentang Kereta Api, tidak adanya tram di Surabaya dan keberadaan es batu. Buku ini juga memberi kesan berbeda akan jembatan Wonokromo misalnya, yang sering kita lewati,  karena di tempat inilah Belanda serah terima ke pasukan Jepang (kenapa di Jembatan?).  Di tempat ini pula tapal batas terakhir perjuangan arek-arek Suroboyo di Surabaya sebelum mundur ke Sepanjang. Buku ini membangkitkan imajinasi kreatif dalam merekonstruksi Surabaya di masa silam. Dalam prosesnya rasa cinta dan apresiasi akan kota Surabaya akan bersemi, layaknya pelancong asing mengapresiasi sebuah situs  yang dikunjunginya.

Membandingkan Surabaya City of Work dengan Lonely Planet sesungguhnya berat sebelah, mengingat konten akademik yang dikandungnya dan target pembaca dari kalangan akademik (yang bukan pelancong). H.W. Dick  dengan keterbatasan literatur pendahulu telah menggali banyak buku-buku, dan terbitan-terbitan dengan topik beragam untuk membuat argumentasi sejarah Surabaya dari segi sosio-ekonominya. Selain narasi secara kronologis, dia juga menyajikan dialog peta-narasi dan dialog tabel statistik-narasi. Pembaca juga dapat menelusuri referensi yang telah dipakai penulisnya untuk menulis buku ini; sebuah daftar referensi yang sangat masif dan sangat berharga.

Ada dua hal serius dari buku ini yaitu: Pertama, sejarah dalam buku ini berangkat dari titik tolak Surabaya di jaman keemasannya. Surabaya di masa lampau sebagai kota terbesar dan terpenting baik secara ekonomi maupun militer di Hindia Belanda sebelum tahun 1920 an—sebuah kenyataan yang hampir dilupakan penduduknya.  Kedua adalah tantangan penulis kepada seluruh pembacanya untuk memikirkan identitas kota.

“Surabaya pernah menjadi kota terbesar dan terpenting di Hindia Belanda, bahkan dibandingkan Batavia yang sepi , Surabaya merupakan pelabuhan penting di Asia modern sejajar dengan Kalkuta, Rangoon, Singapore, Bangkok, Hongkong dan Shanghai. Siapapun yang bergelut dalam dunia pelayaran tujuh-puluh tahun yang lalu akan mengenali  Surabaya sebagai pelabuhan gula terbesar ketiga di dunia“( p. xvii -xviii). Buku ini membangunkan penduduknya dari  amnesia sejarah dan merangkai argumen tentang faktor-faktor penyebab stagnasi hingga tergesernya Surabaya di posisi kedua  di Indonesia setelah Jakarta (ada yang percaya Surabaya berada di posisi ke enam setelah Jakarta Pusat, Timur, Barat, Selatan, Utara).

Surabaya di jaman keemasannya adalah kota internasional, memiliki identitas dan visi ke depan ke mana kota akan bergerak. Fakta akan hal ini dapat kita simpulkan dari buku ini meskipun tidak disampaikan secara eksplisit. Dari titik tolak ini pembaca dapat menangkap pesan yang ditemukan sang penulis setelah tiga puluh tahun lebih bergelut dengan Surabaya.  Sebuah kalimat penutup yang sangat optimis di akhir buku ini “The new era of local autonomy that began on 1 January 2001 gives Surabaya the best opportunity since Independence to assert its identity and chart its own course”.  Sebuah tantangan bagi para pembaca untuk turut memikirkan identitas kota Surabaya dan visi masa depannya; akankah Surabaya menjadi kota yang makin tersisih dan tertinggal dari kancah internasional? (Kriteria paling gampang akan ketertinggalan ini adalah tidak adanya Lonely Planet Surabaya).

Apa yang menyebabkan stagnasi perekonomian Surabaya setelah Perang Dunia II? Apa peran Orde Lama dan Orde Baru dalam maju-mundurnya perekonomian Surabaya?  Industri apa yang telah merubah wajah Surabaya secara drastis dari tahun 1900 hingga 2000? Peristiwa apa yang memberi pengaruh sangat besar dalam perkembangan kota Surabaya?  Buku ini mengungkap pertanyaan-pertanyaan di atas dan banyak hal lain tentang Surabaya. Penduduk Surabaya sungguh beruntung mendapat pengamat asing yang mendedikasikan hidupnya mempelajari Surabaya dan mau menuliskannya.

Sedikit sekali buku yang memberikan harapan besar bagi pembacanya. Buku yang membuat kita ingin semua orang yang kita kenal membacanya juga; bahkan dalam kasus ini kita ingin semua penduduk Surabaya membacanya: atau paling tidak semua murid sekolah. Dari  buku ini generasi muda mendapat sebuah model karya tulis dan figur ilmuwan yang patut dicontoh. Topik sejarah kota perlu diperkenalkan kepada para siswa sekolah menengah atau lebih dini. Jika perlu diadakan satu mata pelajaran khusus tentang kota Surabaya secara berkesinambungan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dan untuk itu buku ini bisa dijadikan satu buku wajib karena pertimbangan ilmiahnya. Murid sekolah yang kelak akan menjadi pelaku masa depan Surabaya (baik pengambil keputusan maupun penduduk) harus diperkenalkan dengan pemikiran dan metode ilmiah dalam memahami sejarah.

Exit mobile version