Sabtu, 21 Januari 2012. “Rumah Leluhur Naga” adalah judul filem dokumenter karya Giri Prasetyo mengenai situs yang menjadi tanda kedatangan orang Tionghoa gelombang ke-2 (sekitar 1800an) di Surabaya yaitu kelenteng Hok An Kiong—kelenteng tertua di Surabaya–dan kelenteng Boen Bio. Malam itu selain pemutaran filem “Rumah Leluhur Naga” juga dilakukan diskusi mengenai sejarah masyarakat Tionghoa di Surabaya bersama Shinta Devi Ika Santhi Rahayu, S.S., M.A.—dosen jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unair yang juga meneliti tentang kelenteng Boen Bio–dengan moderator Ardian Purwoseputro (pemerhati budaya dan sejarah Tionghoa di Indonesia).
Acara dimulai pukul 18.30 dengan sekitar 30 orang yang hadir, diselenggarakan di dalam ruang perpustakaan c2o yang cukup sejuk karena diluar sedang hujan. Sesi pertama dimulai dengan diskusi mengenai latar belakang dan proses produksi filem, Giri membuat filem tersebut dalam rangka pamerannya bersama Matanesia—klub fotografi—Desember 2011 lalu, Giri tertarik dengan visual-visual di kelenteng, maka dia melakukan observasi pendahuluan dan mengambil ribuan image. Giri merekam gambar dengan kamera SLR merek Nikon, selain murah juga nyaman saat mengambil gambar—tidak terlalu menjadi perhatian banyak orang.
Diskusi dilanjutkan dengan presentasi Shinta Devi mengenai sejarah kedatangan orang Tionghoa di Surabaya. W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam catatan Tionghoa menuliskan bahwa catatan pertama tentang negara ini ditemukan dalam catatan perjalanan seorang bhiksu (pendeta Budha) bernama Faxian. Pada 400 masehi dia melakukan perjalanan darat dari Tiongkok ke India, dalam perjalanan pulangnya melalui lautan, dia mengunjungi Jawa pada tahun 414. Sejak awal abad ke-15, para utusan Tiongkok yang datang ke pulau ini hanya mengunjungi bagian timur pulau dan menemukan tiga pelabuhan perdagangan utama. Pertama, Tuban di pantai utara; kedua, Cecun sebuah pemukiman Tionghoa di Grisse (saat ini disebut Gresik); dan ketiga, Surabaya. Di ketiga tempat ini orang Tionghoa menetap dan berdagang. Menurut Shinta, orang Tionghoa mula-mula yang bermukim di Surabaya adalah beragama Islam, dengan Sunan Ampel—kelahiran Campa–sebagai pemimpin dan berlokasi di daerah niaga Ngampel Denta—sekarang dikenal dengan kampung Ampel atau kampung Arab.
Sesi selanjutnya adalah pemutaran “Rumah Leluhur Naga” yang berdurasi 17 menit, penuh dengan visual-visual simbolik kepercayaan masyarakat Tionghoa terhadap leluhurnya di dua kelenteng, kampung pecinan: jalan kapasan dalam, jalan kembang jepun, jalan coklat, juga ditampilkan wawancara dengan Ir Lukito, pengurus kelenteng Hok An Kiong dan kelenteng Boen Bio. Giri menyatakan bahwa filemnya ini adalah permulaan untuk membuat proyek dokumentasi visual yang lebih komprehensif.
Setelah pemutaran filem, sesi dilanjutkan dengan diskusi kedua, yaitu tanya jawab mengenai sinematografi, dan penjelasan Shinta mengenai peran kelenteng Hok An Kiong dan kelenteng Boen Bio dalam masyarakat Tionghoa di Surabaya. Kelenteng Hok An Kiong adalah kelenteng tertua di Surabaya dibangun sekitar 1800-an, selain sebagai tempat ibadah Tridharma (Khonghucu, Toisme, Buddhis) juga menjadi pusat kegiatan masyarakat Tionghoa. Begitu juga dengan kelenteng Boen Bio, selain sebagai tempat ibadah agama Khonghucu satu-satunya di Indonesia, juga sebagai monumen perjuangan masyarakat Tionghoa terhadap kesewenangan penjajah Belanda.
Acara berakhir pukul 20.30, dilanjutkan sesi ramah tamah sampai c2o Library tutup. Acara ini diselenggarakan oleh Hifatlobrain Travel Institute bersama c2o Library. Terima kasih sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Ibu Shinta, Ardian, dan Giri atas kesediannya berbagi pengetahuan dan karyanya!