Site icon C2O library & collabtive

Surabaya Whatever Love

Sebagai bagian dari program Ayorek untuk pengumpulan dan penyebarluasan pengetahuan mengenai kota Surabaya, C2O Library & Collabtive akan menampilkan seri ulasan-ulasan buku dan film mengenai Surabaya.


Selasa, 7 Agustus 2012, saya mendapat SMS dari Evie Suryani dari Perpustakaan Kota Surabaya, berisi undangan untuk acara bedah antologi cerpen, Surabaya Whatever Love, atau Surabaya … apapun, pokoke cinta… karya Adnan Buchori dkk., di Teras Sastra Perpustakaan Bank Indonesia. Menarik juga. Memang semenjak eks gedung Museum Mpu Tantular dibuka sebagai Perpustakaan Bank Indonesia 15 Juli 2012 lalu, sudah lama kami berencana untuk ke sana.

Kamis 9 Agustus, kami memasuki Teras Sastra, yang tampak cukup ramai oleh orang-orang berlesehan mendengarkan bedah buku sore itu. Hadir sebagai pembicara adalah Titie Surya (penulis dan penerbit), Vika Wisnu (penulis buku Ber3.17an), Adrian Perkasa (pernah menjabat sebagai Ketua Paguyuban Cak & Ning Surabaya, dan kini juga menjadi ketua Temu Pusaka Surabaya).

Evie Suryani, Titie Surya, Vika Wisnu, Adrian Perkasa

“Sebuah Persembahan Bagi Ulang Tahun Surabaya, Dari Para penulis Jawa Timur”, begitulah kalimat yang tertera pada sampul buku tersebut. Bunga rampai ini dibuat dengan sistem seleksi, jelas Titie Surya. Dari 200 cerpen yang dikirimkan, hanya 20 yang dimuat dan diterbitkan oleh penerbit Prima Pustaka yang berlokasi di daerah Medokan Ayu. Tema-tema yang diangkat dalam antologi ini beragam, tapi benang merahnya adalah, sebagaimana dituliskan sendiri di belakang sampul, “cinta rasa Surabaya”. Karena itu semua cerpennya menampilkan tema roman, dengan latar belakang ruang, simbol, kuliner dan fenomena-fenomena yang sering sekali dikaitkan dengan Surabaya. Misalnya, bonek (bondo nekat) dan versi perempuannya, bonita, resep rawon yang diolah menjadi cerita, mall-mall Surabaya, Gedung Setan yang dihuni oleh pengungsi keturunan etnis Cina-Jawa, dan sebagainya. Kita bisa mengenali banyak hal di sini sebagai “Surabaya (banget)”, dan tak jarang membacanya kita bisa tersenyum-senyum sendiri karena mengenalinya dan bisa membayangkannya terjadi di Surabaya.

Penulis-penulis bunga rampai semuanya berasal dari Jawa Timur, dengan usia yang berbeda-beda. Ada yang masih SMA, tapi ada juga yang sudah di atas 40 tahun. Ini sedikit banyak mempengaruhi gaya dan topik penulisan.  Hampir semua fokus utama cerpen-cerpen ini terletak pada topik cinta dan roman. Tapi deskripsi latar belakang tentang Surabaya juga ingin banyak ditampilkan, sehingga ada kalanya saya merasa simbol-simbol tersebut sedikit “dipaksakan”, masih sangat eksplisit, dan kurang terintegrasikan sebagai satu kesatuan. Tapi sekali lagi, melihat usia para penulis yang sangat variatif dalam bunga rampai ini, hal itu bisa dimaklumi dan upaya untuk menulis bunga rampai dengan latar belakang Surabaya kini—suatu hal yang belum banyak kita jumpai—tetap perlu kita hargai.

Bahasa yang digunakan cukup gado-gado, memasukkan unsur-unsur bahasa Indonesia, bahasa “gaul” Jakarta, Jawa Surabaya, dan Inggris. Menarik dan seru juga, karena kita bisa mengenali elemen-elemen bahasa yang campur aduk ini juga digunakan di Surabaya. Tapi keseluruhannya masih terasa sedikit kaku. Ada juga beberapa kesalahan ejaan dan tata bahasa.

Terlepas dari segala kekurangannya, kita tetap perlu menghargai inisiasi projek ini, untuk menulis dan menerbitkan buku cerpen-cerpen mengenai Surabaya.  Semoga ke depannya buku ini dapat memicu penerbitan-penerbitan buku mengenai Surabaya dengan topik-topik lain yang lebih beragam.

Exit mobile version