Site icon C2O library & collabtive

Museum Sejarah Komunitas (2/3)

Selasa 18-Kamis 20 Desember 2012 yang lalu, Andriew, Ari, Bayu, Tinta, dan saya, berkesempatan untuk menghadiri lokakarya Museum Sejarah Komunitas, yang diselenggarakan oleh KUNCI Cultural Studies Center. Berikut adalah reportase hari kedua, dengan pembicara Janet Pillai (Arts-ED Penang), Kuah Li Feng (Living Museum, oleh Georgetown World Heritage Inc.), dan Muhidin M. Dahlan (i:boekoe). Catatan di hari pertama dapat dibaca di sini.

Arts-ED

Janet Pillai dari Arts-ED, dan Mirna sebagai penerjemah. Foto: Anitha Silvia.

Presentasi di hari kedua diawali oleh Janet Pillai yang mengepalai Arts-ED, sebuah organisasi di Penang yang memfokuskan pada pengembangan program dan pelatihan pendidikan seni non-formal, pendidikan cagar budaya dan keberlanjutan budaya. Jauh sebelum Georgetown mendapat status warisan cagar budaya dari UNESCO, Arts-ED telah melakukan banyak penelitian sejarah lisan dengan tapak Georgetown sebagai situs untuk penyelidikan. Bekerja dengan anak-anak usia 10-18 tahun, mereka turun ke tapak untuk belajar, berinteraksi dengan penghuni sebagai ruang kelas untuk pembelajaran.

Pendekatan ini banyak menggalakkan eksplorasi, penelitian dan dokumentasi oleh anak-anak, dan mewajibkan peserta untuk membuat suatu tafsiran kembali dari data yang mereka peroleh. Tujuannya adalah agara anak-anak dapat memahami tapak itu, dan dapat mengguankan pengetahuan yang mereka dapatkan dari tapak untuk mengaitkannya dengan dunia sekarang. Melalui proses penafsiran ulang ini, pemahaman generasi pertama diterjemahkan oleh generasi sekarang.

Biasanya, untuk tiap projek, Arts-ED melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah, darimana mereka merekrut banyak anak-anak. Karena program-program Arts-ED banyak bekerjasama dengan anak-anak, maka program ditata biasanya di masa liburan, atau jika rutin, di akhir pekan.

Transmisi & transformasi cerita lisan

Proses pembentukan tempat, atau place-making, adalah proses interaksi kreatif dalam suatu lingkungan yang memerlukan waktu yang panjang untuk membangun kehidupan, komunitas dan identitas. Pengetahuan dan modal budaya dibangun dari proses pembentukan tempat ini. Di satu tempat, biasanya ada apa yang kita sebut sebagai bank budaya, yakni komunitas atau organisasi yang memiliki ingatan kolektif. Mereka tidak hanya menjaga koleksi ingatan budaya ini, tapi juga perlu mengembangkannya dengan inovasi. Karena, jika koleksi ingatan budaya ini hanya menjadi arsip yang tidak lagi diolah, maka sebagai koleksi atau tabungan, nilainya akan menurun.

Ingatan budaya disimpan dan digunakan dalam dua cara: (1) ingatan jangka panjang, yakni database yang mengkristal di mana pengetahuan faktual, procedural dan pengalaman disimpan, dan (2) ingatan jangka pendek, atau ingatan kerja, yang merupakan bagian dari tindakan sehari-hari. Ingatan budaya perlu diaktifkan kembali, dari bentuk database jangka panjang menjadi ingatan kerja (working memory). Misalnya, yang tua meragakan sesuatu dari ingatan mereka, sementara yang muda merekam dan menafsirkan ulang. Ada dimensi emosi yang penting di sini, yang tidak dapat dihilangkan. Sejarah tidak bisa dihilangkan dari emosinya untuk menjadi objektif.

Ada beberapa cara untuk menyimpan dan meneruskan ingatan budaya. Cara emosional, linguistik, dan logika kerap kali diadopsi dalam pendidikan sejarah formal. Tapi eksplorasi cara ini juga harus dilakukan pada gerak, suara, bau, dan memori-memori panca indera lainnya.

Tahap aktivasi budaya

Secara garis besar, ada beberapa tahap penggalian sosial-budaya yang diterapkan di Arts-ED:

  1. Pengenalan pada konteks, yang dilakukan melalui kunjungan ke situs, trip perjalanan dan interaksi awal dengan komunitas.
  2. Pemetaan budaya, yakni penyelidikan situs, menggunakan wawancara, ilustrasi, video, fotografi, pemetaan dan dokumentasi. Pada tahap ini, sebaiknya sudah ada isu, kerangka dan parameter ukuran.
  3. Sintesis melalui kerja kreatif: analisis dan sintesis data yang terkumpul dan penafsiran menggunakan pengetahuan dan kemampuan baru.
  4. Outreach atau penyampaian kembali ke komunitas, melalui produk, publikasi, website, pameran atau pertunjukan.

Contoh 1: MyBALIKpulau

myBALIKpulau newsletter

Program ini diawali dengan membuat lokakarya TI dan fotografi, yang secara bertahap memiliki tiga fokus, yakni:

  1. diri sendiri: anak-anak diajak untuk bercerita mengenai diri sendiri
  2. keluargaku: anak-anak memilih 5 orang keluarga untuk kemudian membuat esai foto dan pohon keluarga
  3. kotaku/kampungku: anak-anak memetakan semua asset kebudayaan di sekitar mereka.

Hasil dari narasi-narasi yang terkumpul ini kemudian dibuat menjadi bulletin. Mengenai program ini, bisa mengunjungi: http://arts-ed.blogspot.com/2011/02/mybalikpulau-program.html

Contoh 2: Kisah Pulau Pinang

Dramatisasi kisah migrasi di Little India dan Chinese Clan Jetties.

Kisah 3: Wayang Bayang

Penceritaan ulang tradisi lisan melalui pertunjukan wayang. Sejarah atau cerita lisan digali melalui wawancara dengan penduduk setempat, yang kemudian diperiksa berdasarkan sumber sejarah yang ada. Motif desain dan arsitektur lokal dipelajari melalui pengambilan gambar dan penggosokan di atas kertas. Narasi dramatis kemudian ditafsirkan melalui pembuatan storyboard, di mana konflik dan karakter disesuaikan dengan situs dan konteks budaya. Dalam perancangan karakter, latar belakang panggung dan props, digunakan eksperimentasi dengan objek-objek yang ada dari situs tersebut. Ini kemudian dipentaskan kembali ke komunitas dalam bentuk pertunjukan wayang.

Pada akhirnya, Janet menekankan pentingnya pembuatan makna, untuk mendorong pemahaman sejarah sebagai rangkaian situasi dan kondisi. Identitas sejarah satu ruang bersama diperluas melalui kerja kolektif. Ini juga mendorong penerimaan persepsi dan pengalaman yang berbeda. Individu menemukan permainan dan kesinambungan masa lalu dan masa sekarang, yang mendorong kerekatan lintas generasi dan komunitas. Program Arts-ED juga tidak terlepas dari konflik—sempat ada perdebatan publik dan politis dari beberapa pihak yang merasa sejarah yang ditampilkan Arts-ED bukanlah sejarah “sebenarnya”. Tapi justru dengan melakukan ini, perdebatan dan wacana mengenai sejarah lisan menjadi dikenal, dan mulai meluas diterima di kalangan umum.

Living Museum

Kuah Li-Feng berikutnya mempresentasikan program Living Museum yang dilakukan oleh Georgetown World Heritage Inc. Li-Feng sebenarnya pernah bekerja di Arts-ED selama 2009-2010, tapi dia berhenti karena merasa kurang luwes bergaul dengan anak-anak. Pengalaman kerjanya dengan Arts-ED ini membentuk pendekatannya dalam membuat program yang berbasis tempat dan bekerjasama dengan komunitas sekitar.

Li Feng menceritakan proses kerjanya, dan menekankan bagaimana kata “warisan budaya” sendiri adalah suatu istilah yang berkontestasi—warisan siapa, dan warisan apa? Karena itu, perlu ada negosiasi narasi bersama dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh UNESCO. Li Feng mengidentifikasi warisan lokal yang ada seperti latar belakang geografis, pengalaman, orang-orang, dan arsitektur. Dia kemudian mengidentifikasi pemegang kepentingan, beserta agenda dan tanggung jawab mereka.

Dari identifikasi ini kemudian muncullah gagasan untuk membuat program “The Living Museum”, untuk memberi wadah bagi orang-orang untuk menceritakan narasi mereka dengan pendekatan dari bawah ke atas. Orang-orang yang tertarik diperbolehkan untuk menceritakan cerita mereka, di rumah mereka masing-masing. Sebagai persiapan, Li Feng melakukan:

  1. “Community connectors” atau tokoh penghubung komunitas, yang direkrut dari sukarelawan-sukarelawan yang dia kenal berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya
  2. Perlibatan komunitas pada tahap awal
  3. Wawancara sejarah lisan
  4. Penyusunan program dengan komunitas

Li Feng menekankan komunikasi yang transparan dari awal, dan penyusunan dan persetujuan program yang tertata rapi. Misalnya, untuk Open House, dibatasi hanya 1½ jam per rumah, dan per orang hanya bisa pergi ke satu rumah. Hanya ada 2 sesi dalam satu hari, satu sesi berisi 12-20 peserta saja, mengingat ini adalah rumah pribading orang. Community connector membawa peserta ke rumah, memperkenalkan pada pemilik rumah, dan memfasilitasi pemilik rumah untuk bercerita.

Program ini mengangkat rute perjalanan yang dibuat oleh komunitas lokal, memfasilitasi penceritaan sejarah lisan, menekankan unsur interaktif, dan juga melakukan pameran foto lama—Li Feng mendatangi berbagai rumah mengajak mereka untuk meminjam foto lama mereka untuk pameran. Foto ini kemudian diperbesar dan dipajang di depan rumah masing-masing, beserta keterangan yang ditulis berdasarkan wawancara dengan pemilik rumah. Lucunya, ada beberapa pemilik rumah yang kemudian jadi keranjingan berdiri di sebelah foto dan bercerita  kepada siapapun yang tertarik mendengarkannya.

Strategi ini menekankan pada cerita individu. Jadi, tantangannya adalah potensi cerita ini menjadi kehilangan konteks, dan ada kecenderungan orang-orang mengglorifikasi/meromantisasi diri mereka. Selain itu, dikhawatirkan juga ini malah akan mendorong individualisasi/privatisasi masing-masing penduduk. Perlu dipikirkan bagaimana menghubungan sejarah individu ke sejarah komunitas. Separuh dari peserta yang datang ke acara ini adalah orang-orang tua yang dulunya pernah tinggal di daerah tersebut. Jadi, acara ini memang tidak secara agresif dipromosikan untuk wisatawan, tapi lebih ke penduduk setempat. Pertimbangan etis sangat penting, karena bagaimanapun, ini adalah kehidupan pribadi. Program ini mendorong terbentuknya dialog terbuka, tapi perlu dipertimbangkan bagaimana apa yang sudah dilakukan ini bisa didokumentasikan dan diteruskan ke generasi lain. Ada beberapa saran untuk mengajak anak-anak muda dan metode crowdsourcing media. Misalnya, dengan mengadakan lomba video atau foto. Dari sini, anak-anak muda bisa mendokumentasikan dan menafsirkan pengalaman generasi sebelumnya.

i:boekoe

Antariksa dan Gus Muh, dengan buku Ngeteh di Patehan di tangan. Foto: Anitha Silvia

Muhidin M. Dahlah, yang akrab dipanggil Gus Muh, mempresentasikan projek i:boekoe membuat sejarah komunitas Patehan dalam bentuk buku Ngeteh di Patehan: kisah di beranda belakang keraton Yogyakarta. Buku ini dibuat bersama-sama dengan warga, terutama anak-anak di sekitar. Sebagai pendekatan, mereka menggunakan metode ketoprak Pak Bondan Nusantoro, dengan mendekati ibu-ibu dan pemuda-pemuda kampung. Selama 1½ bulan mereka melakukan pendekatan melalui jaringan PAUD dan ibu-ibu Aisyiyah dan Muhammadiyah. Kebetulan penjaga kebersihan i:boekoe ternyata juga aktif di PAUD. Dari sini, anak-anak diajak ke perpustakaan, berembuk, untuk mengidentifikasi anak-anak yang kira-kira tertarik untuk belajar menulis di perpustakaan. Mereka juga melakukan kenduri di perpus untuk menentukan momentum hari baik. Melalui makan-makan dan ngobrol-ngobrol inilah, interaksi dibangun.

Anak-anak kemudian mendapatkan pelatihan penulisan jurnalistik dasar. Narasumber ditentukan untuk diwawancarai. Karena belum ada komunitas yang mengajarkan komunitas Patehan untuk menulis, ajakan ini disambut dengan baik. Tapi harus disipilin dan tepat waktu. Juga natisipasi kalau-kalau ada yang pacaran. Ini penting untuk membangun kepercayaan dengan warga.

Awalnya, wawancara dan hasil tulisannya sangat kaku, tapi sebulan kemudian sudah luwes. Selain itu, teman-teman juga mendapatkan ratusan rekaman. Dari rekaman yang banyak inilah, Gus Muh terinspirasi untuk membuat radio:boekoe. Mereka juga mengajak kerjasama institusi pendidikan formal. Misalnya, guru biologi diajak untuk mendata tanaman-tanaman lokal.

Secara umum ada 4 orang dalam tim, tapi ada banyak sukarelawan dan anak-anak muda. Sistem kerja dibagi berdasarkan bab. Proses penulisan dan pengarsipan sejarah kampung ini hingga menjadi satu buku, Ngeteh di Patehan, secara keseluruhan memerlukan waktu 2½ tahun.  Pengarsipannya sendiri masih belum selesai karena memang ini proses yang panjang dan sulit.

Rangkaian kicauan oleh @editorkunci di lokakarya hari kedua ini dapat dibaca di: http://chirpstory.com/li/40772

Exit mobile version