Reportase bedah buku: Merebut Ruang Kota: Aksi Miskin Rakyat Surabaya 1900-1960an
Senin, 10 Juni 2013, 18.00 – 21.00
di C2O library & collabtive
Bersama penulis, Dr. Purnawan Basundoro (dosen sejarah Unair)
Moderator Ronny Agustinus (Marjin Kiri)
Rumah tak sekadar bilik yang berdiri di atas tanah. Ia adalah identitas fisik yang melekat pada pemiliknya. Kehilangan rumah serupa kehilangan separuh jati diri.
Inilah yang dialami oleh penduduk Surabaya semenjak tahun 1900. Industrialisasi, politisasi, dan perang telah membuat warga kehilangan rumah dan terlunta di kawasan kumuh Surabaya, membuat kota ini menjadi “kota gelandangan”. Maka, gelombang pencarian “identitas” pun terjadi melalui akuisisi ruang di Surabaya.
“Merebut Ruang Kota”, sebuah buku hasil disertasi Purnawan Basundoro, merekam jejak akuisisi ruang yang dilakukan rakyat miskin Surabaya dari tahun 1900 hingga 1960. Kemiskinan di sini berarti mereka tak memiliki akses ruang di kota ini. Setidaknya, ada dua kelompok miskin yang disebut dalam buku terbitan Marjin Kiri ini.
Kelompok pertama adalah rakyat desa yang melakukan urbanisasi. Industrialisasi membuat warga desa, yang tak lagi berpenghasilan, beranjak ke kota (dalam hal ini Surabaya). Tapi bukannya mendapatkan pekerjaan dan penghasilan, karena keterbatasan dan perebutan ruang, mereka tak berhasil meningkatkan taraf hidupnya, tetap menjadi miskin, tak memiliki rumah, dan hidup di jalanan. Surabaya pun tersendat-sendat kewalahan dengan lubernya rakyat pendatang.
Perang menjadi penyebab munculnya kelompok miskin kedua. Surabaya, yang kerap menjadi arena pertempuran terutama sekitar tahun 1945-47, telah memaksa penduduknya untuk mengungsi di luar Surabaya sedikitnya selama dua tahun. Ketika akhirnya mereka pulang kembali ke Surabaya, banyak sekali dari mereka mendapati rumah mereka telah diambil penduduk lain. Surat-surat legal kerapkali hilang di pengungsian dan mereka tak mampu mendapatkan kembali lahan dan harta mereka. Mereka menjadi terasing di “rumah sendiri”.
Dalam usaha bertahan hidup, rakyat miskin mulai merebut ruang-ruang yang ada untuk ditinggali. Rumah-rumah yang ditinggalkan oleh pengungsi perang menjadi arena perebutan pertama. Saat ratusan bahkan ribuan mengungsi keluar Surabaya, ratusan pendatang dari daerah mengisi rumah-rumah tanpa pemilik. Saat tak ada lagi ruang privat tersisa, ruang publik pun diakuisisi rakyat miskin.
Tanah partikelir menjadi sasaran empuk perebutan ruang. Misalnya kawasan milik Baswedan yang membentang dari kawasan UNAIR hingga Pucang dan Karang Menjangan. Ratusan warga membuat blok-blok tempat tinggal, mengambil alih lahan umum menjadi ruang privat.
Judul: Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an
Penulis: Purnawan Basundoro
Penerbit: Marjin Kiri, 2013
Selain itu, ada pula fenomena perebutan wilayah pemakaman sebagai tempat tinggal, terutama makam Tionghoa. Mereka tak punya kekuatan bersaing dengan manusia hidup akhirnya berebut dengan yang telah mati. “Saat proses pematokan (lahan), mayat banyak bergelimpangan di jalan,” tutur Purnawan. Begitu wilayah makam berubah menjadi tempat tinggal. Bahkan, ada salah satu keluarga pemilik makam sebelumnya yang bahkan dilarang untuk menguburkan mayat di lahan “miliknya” tersebut.
Kisah historis perebutan ruang di atas tertuang secara lengkap dalam buku Purnawan. Hasil risetnya begitu hidup, penuh dengan tanggal-tanggal penting dalam pembangunan kota, perspektif ruang Surabaya, serta kisah-kisah ringan seputar kehidupan warga selama akuisisi, seperti kisah Tante Dolly membentuk wisma pelacuran serta manipulasi isu komunis untuk membersihkan lahan para gelandangan.
Sejarah menunjukkan bahwa bahwa perebutan ruang akan selalu terjadi. Yang menarik sebenarnya adalah menurut Purnawan, bukti sejarah di Surabaya menunjukkan bahwa rakyat miskin dapat dan berdaya dalam menciptakan ruang bagi mereka sendiri untuk bertahan hidup. Ada banyak kejadian di Surabaya di mana masyarakat dapat mengatur sendiri lahan tanpa intervensi top-down, dan pemerintah akhirnya menyetujui legalisasinya.
“Buku ini menegaskan kota bukan hanya milik kaum elit,” ungkap Purnawan dalam bedah buku di C2O Senin malam lalu, “perebutan kota akan berhenti manakala terjadi ekuilibrium.” Namun, pengajar sejarah di UNAIR tersebut yakin, ekuilibrium tak akan pernah terjadi, dan akan terus ada upaya dinamis untuk mencapai ekuilibrium tersebut. Bagaimanapun, masalah-masalah urban seperti kesediaan lahan, macet, polusi, adalah masalah orang miskin maupun kaya. Yang mungkin perlu diperhatikan oleh pemerintah, dan juga kita, adalah bagaimana menciptakan kanal-kanal kota demi penyediaan lahan dan akses yang lebih merata.
Tautan:
– YouTube rekaman diskusi
– Linimasa Twitter
– Beli buku ini (dan buku-buku Marjin Kiri lainnya) di C2O