Pertama kali yang saya ingat ketika mendengar nama Monster(s) of Folk adalah band Folk Rock kawakan yang berasal dari Amerika, seluruh personilnya adalah anggota dari band yang telah ternama pula seperti My Morning Jacket, Bright Eyes, dan She and Him. Tapi kali ini saya tidak akan membahas mengenai Monster(s) of Folk namun ini perkara Monster of Folk Tour. Ya, mereka bukan dari Amerika maupun darimana, yang pasti ini adalah versi Indonesia.
Musik Folk memang masih kurang awam di Indonesia, gaungnya tidak seperti musik heavy metal contohnya. Namun, project Monster of Folk Tour yang dibawakan oleh Rayhan Sudrajat, Deugalih, dan Ledakan Urbanisasi ini menyadarkan saya bahwa gaung folk sedang membahana. Monster of Folk Tour dilakukan di 3 kota yaitu Surabaya, Malang, dan Bali. “Kenapa cuma 3 kota? Ini mah karena kita hanya memiliki waktu yang singkat untuk Tour. Semua datang dengan kebetulan tanpa tergesa-gesa, yang bisa kami kunjungi maka melipirlah kita disana, menghibur kalian semua dah intinya”, ujar Dede pria di balik Ledakan Urbanisasi.
Weekend lalu, pada tanggal 11 Januari Monster of Folk Tour berhasil sampai di kota singgahan mereka yang pertama yaitu Surabaya. Tour mereka di hari pertama diadakan di c2o Library, dibarengi dengan suasana hujan gerimis yang membuat sejuk, sepertinya cuaca sedang berjodoh dengan musik Folk kali ini. Sendu.
Penampilan pertama dibuka dengan penampilan Pathetic Experience. Duo pure akustik yang berasal dari Surabaya ini masih berumur jagung, baru saja terbentuk pada tahun 2011. Dikenal dengan duo folk yang mengabdi pada post-nusantara dan nuansa ethnic instrumental, Pathetic Experience berhasil membuat para penonton ter-pathetic ria namun tak membuat kami semua yang menonton merasa harus bersedih. Ada beberapa lagu yang membuat saya terkesan yaitu berjudul “Chik Yen” yang merupakan salah satu produk bakpao terkemuka di Indonesia, nada dan iramanya pun sama seperti yang biasa kita dengar di pedagang bakpao keliling, namun Pathetic Experience lagi-lagi berhasil membuktikan bahwa bebunyian string yang mereka keluarkan berhasil menjadi identitas dan orisinalitas dari musik mereka. Menyenangkan sekali.
Kemudian datang penampilan menarik dari Ledakan Urbanisasi, dengan berbekal mini ukulele dan beberapa ampli, Dede, man behind the gun berhasil membius penonton dengan lirik lagunya yang memang unik. “Broken Heart Gospel” adalah salah satu lagu yang membuat terngiang-ngiang karena Dede menjadikan beberapa romansa folk menjadi semacam scene lo-fi. Aha, meledak-ledak, namun tak kehilangan estetika dari basic folk tersebut melalui ukulelenya.
Setelah penampilan Dede yang mencekam, MC Arthur Razaki yang sekaligus vocalis Taman Nada kini memberikan line up kejutan yang berasal dari Redo Nomadore, salah satu kontributor musisi di dalam platform Ayorek.org. Kali ini Redo membawakan lagu Joy Circle, simple memang, tapi ciri khas suara melengking dari pria ini bisa kita hafal walaupun dirinya sedang berbicara sekalipun.
Selanjutnya, Rayhan Sudrajat datang dari belakang ruangan dan segera duduk di depan para penonton. Rupanya memang dirinya telah siap menampilkan kebolehannya. “Sebenarnya, Monster of Folk diselenggarakan karena kita semua, saya, Galih, dan Dede ingin memonsterkan folk itu sendiri. Jadi, semoga kalian semua berkenan untuk menikmati musik folk sederhana ini dari kami semua”, celetuk Ryan sembari mempersiapkan gitarnya. Aha, Ryan Sudrajat adalah salah satu personil dari Vickyvette yang saat ini telah berganti nama menjadi Cathuspatha yang artinya adalah crossroad (dalam Bahasa Inggris). Ada 3 looping efek gitar yang saya lihat dipergunakan oleh Ryan, sudah terbayang bagaimana bebunyian instrumental yang akan dibawakan olehnya. Memang pada dasarnya musik yang dibawakan oleh Ryan adalah Folk, jika ditarik garis kembali, Ryan mengatakan bahwa musik yang dia bawakan lebih menuju ke Folk Pop yang di bumbui dengan sentuhan experimental. Ini memang kelihaian Ryan, menumbuhkan emosi penonton melalui beberapa record bebunyian beberapa benda, gemericik air, atau percakapan manusia yang di susupkan kedalam setiap lagunya. Seperti lagu dengan judul “Lovely Game” dan “Blind” yang baru saja di rilis dalam EP Find Your Self 2013, kedua lagu ini sama-sama dirangsang dengan beberapa percakapan manusia dari antah berantah, semua terdengar match dengan musik Ryan. Sendu, cerdas, out of the box yang bisa saya katakan untuk Ryan.
Satu lagu cover dari The Beatles dengan judul “Strawberry Field Forever” dibawakan oleh Ryan untuk mengakhiri penampilannya, pemilihan yang cukup epik untuk sing along bersama penonton.
Terakhir, acara ditutup dengan penampilan Deugalih yang sekaligus menjadi Frontman dari Deugalih and Folks. Pada dasarnya, suara Galih yang dulu dikenal sebagai vocalis dari “Schizophones” band grunge asal Bandung tersebut masih melekat di dalam pita suara miliknya. Ya, memang sudah kodratnya Galih memiliki suara bernuansa rock tersebut, namun dirinya berhasil menyatukan dirinya menjadi Folk bersama Deugalih and Folks.
“Saya masih terinspirasi oleh band Alice in Chain mah, jadinya kayak begini deh suara dan bunyi-bunyi gitar yang di mainkan”, ujar Galih ketika mengobrol di senggang acara. Beberapa lagu milik Galih sudah familiar di telinga penonton, salah satunya adalah “Papua O Noukai” yang menceritakan mengenai beberapa mamak-mamak (sebutan seorang Ibu di Papua) yang banyak ditindas, dijajah, dieksploitasi dan dilupakan. Lirik lagunya pun dibuat menjadi Bahasa Suku Mee yang ada di Papua.
Untuk beberapa kalinya, saya berhasil kagum dengan karya Deugalih yang selalu menyuarakan mengenai alam, lingkungan, dan kondisi sosial di masyarakat luas. Suaranya yang khas, lagunya yang selalu tidak meaningless membuat saya acungkan jempol untuk Deugalih Su. Pria yang mengaku sebagai nomadic dan penganut pedestrian ini berhasil memberikan sebuah kejutan manis di akhir acara dengan bermain featuring bersama Rayhan Sudrajat. “Kang, maen suling ya?”, tanya Galih kepada Rayhan. “Iya boleh deh”, kemudian disambarnya langsung suling semacam thin whistle flute dan segera dimainkan oleh Rayhan. Lagu Earth dari Deugalih and Folks adalah lagu lama yang ditulis oleh Galih pada tahun 1998 ketika dirinya masih duduk di bangku SMA, sekaligus menjadi lagu penutup acara Monster of Folk Tour 2014. Ada nuansa Irlandia ketika thin whistle flute tersebut dimainkan, folk rock yang ditonjolkan oleh Galih sangat kuat ketika dirinya mulai beranjak menuju chorus lagu.
Yah, meski di ruang yang sederhana dan dalam suasana sejuk akibat hujan yang deras, Rayhan Sudrajat, Deugalih, dan Ledakan Urbanisasi berhasil membawa penonton terbawa hanyut oleh musik Folk sederhana mereka. Di ruangan tersebut, setidaknya 3 pemuda ini menjalin kekerabatan yang intim dengan para penonton. Kemudian, mereka memberikan sedikit bocoran bahwa beberapa waktu kedepan nantinya mereka akan membuat tour yang sama di beberapa kota lainnya, selebihnya bisa di Jawa Tengah, bahkan ke Sulawesi. Semoga tercapai, dan semoga bisa kembali untuk kedua kalinya di Kota Surabaya.
Tulisan ini telah diterbitkan di Jakartabeat.net, dan diterbitkan ulang di situs C2O library dengan izin dari penulis dan Jakartabeat.net