Perpustakaan sebagai Infrastruktur

Dari ruang baca, tempat komunitas dan layanan sosial, hingga laboratorium inovasi. Sejauh mana kita dapat memperluas fungsi perpustakaan?

Oleh Shannon Mattern, pertama kali terbit sebagai “Library as Infrastructure,” Places Journal, June 2014. https://doi.org/10.22269/140609.
Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke Indonesia dengan izin penulis dan penerbit, oleh Nadia Maya Ardiani. Beberapa gambar diubah karena batasan hak cipta.

Kiri: Workstation; Kanan: Lemari kartu katalog. Keduanya di Perpustakaan Nasional, Jl. Salemba Raya no. 28A Jakarta. [Foto dari koleksi C2O.]
Melvil Dewey, yang umumnya kita kenal sebagai pencipta kode Dewey di perpustakaan, dapat dikatakan sebagai salah satu tipikal tokoh Silicon Valley yang lahir seabad sebelum Steve Jobs. Beliau adalah contoh klasik dari pengusaha Era Industri. Namun tidak seperti keluarga Carnegie dan Rockefeller dengan industri barang serta tenaga kerja berat yang mereka miliki, Dewey menjual gagasan. Ambisinya telah tampak sejak dini: pada 1876, begitu lulus dari Amherst College, ia mematenkan hak cipta atas skema klasifikasi pustaka yang dibuatnya (dan dapat ditemui di berbagai perpustakaan di penjuru dunia). Di tahun yang sama, ia membantu mendirikan Asosiasi Perpustakaan Amerika, bertindak sebagai editor sekaligus pendiri Library Journal, dan meresmikan Biro Metrik Amerika, yang mengkampanyekan pengadopsian sistem metrik. Usianya saat itu 24 tahun.

Ia telah mendirikan Library Bureau, sebuah perusahaan yang menjual (dan membantu menstandardisasikan) segala kebutuhan perpustakaan, perabotan, media display, perangkat penyimpanan, serta perangkat untuk mengelola sirkulasi bahan koleksi. Katalog perpustakaan (yang kemudian mencakup penemuan Dewey lainnya, yaitu berkas gantung vertikal) menggambarkan perpustakaan sebagai “mesin” penghibur dan pemberi pencerahan yang memungkinkan pendekatan proto-Taylorisme diterapkan pada pendidikan publik dan penyediaan layanan sosial. Sebagai kepala pustakawan di Columbia College, Dewey mendirikan sekolah ilmu perpustakaan pertama — yang, perlu dicatat, bernama School of Library Economy — di mana 85% angkatan pertamanya adalah perempuan. Lalu ia memindahkan sekolah tersebut ke Albany, di mana ia memimpin Perpustakaan Negara Bagian New York. Di waktu luangnya, ia mendirikan Lake Placid Club (klub sosial dan rekreasi tersohor di Lake Placid, New York) dan membantu tempat tersebut memenangkan tender Olimpiade Musim Dingin 1932.

Perpustakaan kaset di CERN (European Organization for Nuclear Research), Geneva 2. Foto oleh Cory Doctorow.

Dalam waktu yang bersamaan, Dewey berkecimpung dalam bisnis perabotan (furniture), perlengkapan perkantoran, konsultasi, penerbitan, pendidikan, sumber daya manusia, dan apa yang sekarang kita sebut sebagai bisnis “solusi pengetahuan”. Dewey tak hanya menyadari potensi untuk monetisasi dan melakukan promosi silang dari karya-karyanya di bidang-bidang tersebut. Ia   juga melihat bahwa setiap bidang akan jadi lebih baik karenanya. Karirnya—yang bukannya tanpa kontroversi yang signifikan—merupakan perwujudan keyakinan bahwasanya sistem klasifikasi, standar pelabelan, desain furnitur, serta manusia berfungsi paling baik saat semuanya bekerja untuk tujuan akhir yang sama. Dengan kata lain, sistem intelektual dan material serta praktik ketenagakerjaan itu saling terkait dan saling menguatkan.

Perpustakaan di masa sekarang — versi ‘era Apple’ dari era pranata Dewey/Carnegie — terus mewujudkan struktur pokok birokrasi dan keilmuan yang mereka miliki dalam berbagai skala: mulai dari desain interface situs web mereka, arsitektur bangunan, hingga jejaring infrastruktur teknis yang mereka miliki. Hal-hal seperti ini telah terjadi pada institusi pengetahuan sepanjang sejarah, dan akan terjadi juga pada institusi-institusi kita di masa depan. Dalam artikel ini, saya menganjurkan begini: jika kita menganggap perpustakaan sebagai jaringan infrastruktur yang terintegrasi, saling menguatkan, dan berkembang — khususnya infrastruktur arsitektur, teknologi, sosial, ilmiah dan etika — ini dapat membantu kita untuk mengidentifikasi dengan lebih baik peran apa yang kita ingin perpustakaan berikan pada kita, dan apa yang bisa kita harapkan darinya. Gagasan, nilai, dan tanggungjawab sosial apa sajakah yang dapat kita bangun dalam sistem material perpustakaan — dinding dan kabelnya, rak dan server-nya?

Perpustakaan sebagai Platform

Antrian pendaftaran menjadi anggota di Perpustakaan Nasional. Di aula ada ruangan untuk pameran, workstation dilengkapi komputer dan Internet, locker, dsb. [Foto dari koleksi C2O.]
Selama ribuan tahun, perpustakaan telah mengelola pengumpulan, pengorganisasian, dan penyimpanan berbagai sumber daya yang dapat diakses oleh pengunjungnya. Tetapi bentuk sumber dayanya telah berubah: dari gulungan dan naskah kuno; ke piringan hitam dan LaserDisc; ke buku elektronik, database elektronik, dan rangkaian data terbuka. Perpustakaan sekarang setidaknya harus memahami, jika tidak menjadi, titik penghubung dalam sistem produksi dan distribusi media yang berkembang. Ingat skriptoria (ruang khusus menulis) abad pertengahan di mana manuskrip diproduksi; evolusi industri penerbitan, dan perdagangan buku pasca Gutenberg; munculnya teknologi informasi beserta jaringan kabel, protokol dan peraturannya.1 Dalam setiap tahapan sejarah tersebut, konteks — ruang, politik, ekonomi, budaya — di mana perpustakaan berfungsi telah bergeser; sehingga mereka harus secara terus-menerus memperbaharui diri serta sarana yang mereka gunakan untuk menyediakan layanan informasi yang vital.

Perpustakaan juga seringkali berperan sebagai pemegang lambang nilai fungsi sosial dan simbolis yang terus berubah. Keberadaan perpustakaan kerap diharapkan dapat melambangkan keunggulan seorang penguasa atau suatu negara; untuk menghubungkan “pengetahuan (knowledge)” dan “kekuatan (power)” secara utuh dan saling mengisi—dan, baru-baru ini, untuk berfungsi sebagai “pusat komunitas”, “ruang publik”, atau “wadah penelitian”.

Namun bahkan metafora yang tampaknya baru itu sebetulnya memiliki sejarah yang lama. Perpustakaan Alexandria kuno adalah wadah penelitian pertama yang pernah ada2, sementara gedung Carnegie pada awal berdirinya di tahun 1880an adalah pusat komunitas dengan kolam renang dan pemandian umum, arena bowling, ruang bilyar, arena tembak, dan juga rak-rak buku.3 Saat program pendanaan Carnegie meluas secara internasional — ke lebih dari 2.500 perpustakaan di seluruh dunia — sekretaris James Bertram menstandardisasikan desain perpustakaan dalam pamflet buatannya tahun 1911 “Catatan Pembangunan Gedung Perpustakaan”. Pamflet ini menawarkan para penerima dana enam pilihan model desain perpustakaan, diyakini sebagai karya dari arsitek Edward Tilton. Semua desain tersebut secara khusus mencakup sebuah ruang kuliah.

Singkat kata, perpustakaan selalu menjadi tempat di mana infrastruktur informasi dan sosial saling silang dengan infrastruktur fisik yang (idealnya) mendukung program tersebut.

Kini kita menyaksikan munculnya suatu metafora baru: perpustakaan sebagai suatu “platform” — sebuah istilah menarik kekinian yang mengingatkan kita pada aplikasi, teknologi, dan media baru. Dalam sebuah artikel berpengaruh di tahun 2012 keluaran Library Journal, David Weinberger mengusulkan agar kita menganggap perpustakaan sebagai “platform terbuka” — tidak hanya untuk pembuatan perangkat lunak, tetapi juga untuk pengembangan pengetahuan dan komunitas.4 Weinberger berpendapat bahwa perpustakaan seharusnya membuka akses terhadap seluruh koleksi, metadata, dan teknologi apapun yang mereka miliki dan ciptakan, serta mempersilahkan siapapun untuk membangun produk baru dan layanan di atas dasar landasan tersebut.

Dalam tulisannya, dia menyampaikan bahwa model platform “memfokuskan perhatian kita pada apa yang sedang timbul karena adanya sumber daya” — ”jejaring manusia dan ide yang berantakan dan kaya” — “alih-alih pada penyediaan sumber daya itu sendiri.” Dengan demikian, perpustakaan Alexandria kuno yang merupakan bagian dari museum besar dengan kebun botani, laboratorium, tempat tinggal dan ruang makan, adalah suatu platform tidak hanya untuk penterjemahan dan penyalinan berbagai teks serta kumpulan koleksi buku yang luar biasa, tapi juga untuk landasan perintisan tumbuhnya karya-karya Euclid, Archimedes, Eratosthenes dan karya-karya penting lainnya.

Domnique Perrault, Perpustakaan Nasional Prancis, tinggi di atas platform secara harfiah. [Foto oleh Jean-Pierre Dalbéra]
Tapi metafora platform masih memiliki sejumlah batasan. Pertama, metafora ini terlalu berbau entrepreneurship Silicon Valley, yang memprioritaskan “solusi pengetahuan” “yang bisa dijual”. Selanjutnya, asosiasinya dengan media baru cenderung membatasi kapasitas penting yang juga dimiliki sumber daya berteknologi rendah, atau bahkan sumber daya non-teknologi. Salah satu kesalahpahaman utama dari mereka yang memproklamasikan bahwa perpustakaan sudah usang adalah karena mereka merasa fungsi perpustakaan sebagai institusi pengetahuan dapat dikurangi agar hanya menjadi fungsi layanan teknis dan penawaran informasi. Namun pengetahuan bukanlah hanya merupakan produk teknologi dan informasi saja.

Permasalahan lain dari model platform adalah citra yang ditimbulkan: sebuah panggung datar 2 dimensi di mana berbagai sumber daya disediakan bagi para pengguna untuk melakukan sesuatu. Platform tidak memiliki kedalaman yang tersirat, jadi kita cenderung tidak melihat apa yang terjadi di bawah atau di balik panggungnya, apalagi mempertanyakan strukturnya. Weinberger mendorong kita untuk “menganggap perpustakaan bukan sebagai gerbang yang kita lalui sewaktu-waktu tetapi sebagai infrastruktur yang ada di mana-mana dan ada terus-menerus, sama halnya seperti jalanan dan trotoar kota.”

“Ini seperti sebuah ‘kanopi’”, katanya — atau seperti “awan”. Tetapi metafora-metafora tersebut lebih bersifat puitis daripada kritis; mereka mengaburkan semua kabel, kerekan, lampu, dan perancah yang pasti Anda temukan di bawah dan di atas panggung tersebut. Belum lagi kesibukan nyata pencarian pemeran, pekerja, tata panggung dan pengarahan yang menentukan apa yang terjadi di atas panggung. Dengan kata lain, hal-hal yang memungkinkannya untuk berfungsi sebagai sebuah panggung. Perpustakaan adalah infrastruktur tidak hanya karena perpustakaan ada di mana-mana dan selalu ada, tetapi juga — dan terutama — karena perpustakaan terbentuk dari jejaring yang saling berkaitan dan mendasari segala hal yang timbul di atasnya. Ini menciptakan apa yang Pierre Bourdieu sebut sebagai “menstrukturkan struktur” yang mendukung ide Weinberger akan “jejaring manusia dan ide yang berantakan dan kaya.”

Ini dapat menjadi pemahaman yang instruktif bagi para pengunjung perpustakaan — dan kritis bagi para pemimpin perpustakaan — untuk menilai penstruksturan struktur tersebut. Di era buku elektronik, ponsel pintar, firewall, platform media dengan hak cipta dan manajemen hak digital; berhentinya perkembangan toko-toko buku besar dan kebangkitan toko buku independen serta metastasis Amazon; Google Books, Google Search, dan Google Glass; ketidakseimbangan ekonomi dan privatisasi ruang publik dan layanan yang berkelanjutan — yang berbarengan dengan era demokratisasi produksi media serta budaya DIY dan aktivisme yang dinamis — perpustakaan memainkan peran penting sebagai mediator, di pusat semua keriuhan. Maka dari itu kita perlu memahami bagaimana perpustakaan berfungsi sebagai, dan sebagai bagian dari, ekologi infrastruktur: sebagai situs di mana infrastruktur ruang, teknologi, intelektual, dan sosial membentuk dan memberi informasi kepada satu sama lainnya. Dan kita harus mempertimbangkan bagaimana infrastruktur-infrastruktur tersebut dapat mewujudkan nilai-nilai ilmiah, politis, ekonomis, dan kebudayaan yang kita ingin definisikan sebagai komunitas kita.5.

Perpustakaan sebagai Infrastruktur Sosial

Perpustakaan umum seringkali dipandang sebagai “institusi peluang”, membuka pintu menuju, dan untuk, orang-orang dengan pilihan terbatas6. Orang-orang beralih ke perpustakaan untuk mengakses internet, mengambil kelas GED (tes setara SMA yang diakui secara internasional), mendapatkan bantuan terkait pembuatan surat lamaran atau pencarian kerja, dan mencari referensi ke sumber daya komunitas lain. Laporan terbaru oleh Center for an Urban Future (Pusat Penelitian Masa Depan Kota) menggarisbawahi keuntungan keberadaan perpustakaan bagi para imigran, lansia, orang-orang yang sedang mencari kerja, siswa sekolah negeri dan calon pengusaha: “tidak ada institusi lain, baik itu negeri maupun swasta, yang dapat menjangkau dengan lebih baik orang-orang yang tertinggal dalam ekonomi masa kini, gagal mencapai potensinya di sistem sekolah negeri ataupun mereka yang memerlukan bantuan dalam menjelajahi dunia yang semakin kompleks.”7

Department of Outreach Services yang baru di Perpustakaan Umum Brooklyn, sebagai contoh, bekerjasama dengan organisasi lainnya untuk membawa materi perpustakaan kepada para lansia, anak sekolah, dan penghuni tahanan. Perpustakaan Umum Queens mempekerjakan manajer kasus untuk membantu para pengunjung mengidentifikasi layanan publik yang berhak mereka dapatkan. “Semua ini adalah hal-hal yang bisa disebut sebagai layanan sosial,” kata pimpinan Perpustakaan Umum Queens Thomas Galnte, “tapi ini bukan layanan sosial pada umumnya. . . .Perpustakaan umum sekarang memiliki informasi yang dapat memperbaiki kehidupan seseorang. Kami membuat sesuatu menjadi mungkin, enabler, kami adalah penghubung, connector.”8

Sedikit banyak karena kemampuannya untuk menjangkau populasi yang diabaikan institusi lain, perpustakaan baru-baru ini melaporkan lonjakan jumlah sirkulasi dan kunjungan yang luar biasa. Dan lonjakan ini terjadi meskipun anggaran mereka dipotong drastis, sementara jam operasional mereka dikurangi disertai ancaman penutupan atau penjualan dari cabang-cabang yang dinilai memiliki “kinerja buruk”.9 Sementara itu, Pew Research Centre telah merilis rangkaian penelitian mengenai materi dan layanan yang orang-orang Amerika inginkan agar tersedia di perpustakaan mereka. Temuannya antara lain: 90% responden berpendapat penutupan perpustakaan umum setempat berdampak pada masyarakat di komunitas mereka, dan 63% menyatakan dampaknya “besar”.

Toyo Ito, Mediatek Sendai. [Foto oleh Forgemind Archimedia]
Perpustakaan juga mendekatkan masyarakat saat terjadi bencana dan malapetaka. Toyo Ito, arsitek dari Mediatek Sendai yang tersohor, mengenang saat-saat setelah gempa bumi 2011 di Jepang, di mana pejabat setempat membuka kembali perpustakaan dengan segera meskipun ada kerusakan ringan, “karena perpustakaan ini berfungsi sebagai semacam suaka budaya di dalam kota.” Dia melanjutkan, “Sebagian besar orang yang menggunakan bangunan tersebut tidak hanya ke sana untuk membaca buku atau menonton film; banyak dari mereka yang mungkin tidak memiliki tujuan khusus sama sekali. Mereka ke sana untuk menjadi bagian dari masyarakat yang ada di dalam bangunan tersebut.”10

Kita perlu lebih memperhatikan “infrastruktur sosial” seperti ini, “fasilitas dan kondisi yang memungkinkan hubungan antar manusia,” kata sosiologis Eric Klinenberg. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, dia berpendapat bahwa ketahanan perkotaan dapat diukur tidak hanya dari kondisi sistem transit dan keperluan dasar serta jaringan komunikasi, tapi juga dari kondisi taman, perpustakaan, dan organisasi masyarakat: “terbuka, mudah diakses, dan ruang publik yang ramah di mana warga dapat berkumpul dan memberi dukungan sosial saat dibutuhkan dan juga setiap harinya.”11 Dalam bukunya yang berjudul Heat Wave (Gelombang Panas), Klinenberg menuliskan bahwa selama serangan gelombang panas di tahun 1995, budaya publik yang sangat penting di lingkungan Chicago menarik orang keluar dari apartemen yang sangat panas dan menuju ruang publik yang lebih dingin, sehingga banyak nyawa terselamatkan.

Perpustakaan Bobst, Universitas New York, setelah Badai Sandy. [Foto oleh bettyx1138]
Kebutuhan ruang fisik yang mendukung infrastruktur sosial yang dinamis menghadirkan banyak peluang desain, dan beberapa perpustakaan menemukan solusi inovatifnya. Brooklyn dan institusi budaya lainnya telah bekerjasama dengan Uni, sebuah perpustakaan modular dan portabel yang telah saya tulis sebelumnya di jurnal ini. Dan solusi modular — seperangkat peralatan dan suku cadang — sedang dipertimbangkan dalam sebuah penelitian desain yang disponsori oleh CUF (Center for an Urban Future) dan Liga Arsitektur New York, yang bertujuan untuk mengkonsep ulang perpustakaan cabang kota New York sehingga mereka dapat melayani masyarakat mereka dengan lebih efisien dan efektif. CUF juga menerbitkan audit dan proposal untuk 3 sistem perpustakaaan New York pada tahun 2014.12 Berkaca dari peran yang dimainkan perpustakaan New York selama badai baru-baru ini, kritikus arsitektur New York Times Michael Kimmelman, berusaha menyarankan perpustakaan-perpustakaan cabang kota yang telah “menjadi pusat komunitas de facto kami,” agar “kelak dapat dirancang dengan sistem kelistrikan yang tidak berbahaya dan dilengkapi dengan generator cadangan serta panel surya, bahkan juga dapur dan jaringan mesh nirkabel.”

Tetapi apakah tidak berlebihan jika kita mengharapkan perpustakaan untuk berperan sebagai dapur penyedia ransum bantuan dan pusat pemulihan darurat di saat perpustakaan sendiri memiliki begitu banyak tanggung jawab lainnya? Luasnya amanat yang ditanggungnya menjadikan perpustakaan seringkali dibebani tanggungjawab menangani kekurangan-kekurangan yang gagal diatasi institusi lain. “Apa yang perpustakaan usahakan untuk selalu tersedia tak pernah berhenti membuat saya terkagum-kagum,” kata Ruth Faklis, direktur Perpustakaan Umum Distrik Prairie Trail di pinggir kota Chicago:

Hal ini termasuk, tapi tak terbatas hanya itu saja, (bertindak sebagai) penjaga tuna wisma… sambil sekaligus menawarkan tempat berlindung yang aman dan penuh aktifitas bagi anak-anak yang minim pengawasan orangtua. Kami pernah diminta untuk menjadi tempat pendaftaran pemegang hak pilih pemilu, pos penghangatan, notaris, technology terrorism watch-dog, pusat perkumpulan sosial lansia, TPS, “petugas” pengganti saat guru-guru sedang mogok mengajar, dan yang terbaru — petugas pos. Permintaan-permintaan dari masyarakat ini terus berkembang. Saran-saran penuh harapan tersebut umumnya tidak dikaitkan dengan pendanaan. Dan ketika dana disediakan pun, kerap kali dana tersebut tidak cukup untuk membiayai beban tambahan yang sesungguhnya, sehingga malah membebani lebih jauh anggaran dana perpustakaan yang sendirinya sangat terbatas. Saya tidak pernah melihat entitas pemerintahan lain yang diminta untuk mengatasi berbagai tanggung jawab tambahan yang sebenarnya tidak selaras dengan misinya.13

Dalam diskusi Metafilter mengenai pemotongan dana anggaran di California, seorang pustakawan menyampaikan keluh kesah yang tajam sebagai berikut:

Setiap hari dalam melakukan pekerjaan saya, saya membantu orang-orang yang nyaris tidak dapat bertahan hidup. … Tidak usah jauh-jauh ngomong usaha untuk menjadi “kampus rakyat (people’s university)” dan membentuk sekumpulan masyarakat yang berwawasan luas. Alih-alih, saya membantu orang menentukan langkah-langkah mereka menjelajahi dunia online yang makin merendahkan, untuk mendapatkan sisa-sisa makanan, dan kemudian setelah itu kembali bersantai dengan berpura-pura memiliki peternakan di Facebook.

Baca kisah utuhnya—cukup menonjok. Mengingat banyaknya usaha yang para pustakawan harus curahkan dalam memperluas literasi dasar, seberapa banyak lagi yang dapat didukung infrastruktur sosial ini? Haruskah kita sambut “tantangan desain” untuk membangun infrastruktur teknis dan arsitektural guna mengakomodasi program yang berbeda-beda? Atau haruskah kita mengakui bahwa kita sudah mentok memperluas program ini sampai garis batasnya, dan bahwa tidak ada infrastruktur fisik yang dapat secara efektif menjadi kerangka dari kumpulan layanan sosial yang begitu beragam?

Lagi-lagi dalam menganalisisnya, kita perlu meninjau ekologi infrastrukturnya — jejaring layanan publik dan institusi pengetahuan yang lebih besar—di mana setiap perpustakaan merupakan bagian dari keduanya. Bagaimana kira-kira kota kecil, kota besar, dan wilayah menilai apa yang institusi publik (dan swasta) sanggup lakukan dengan keahlian serta sumber daya yang mereka miliki, lalu kemudian menggunakan sumber daya tersebut dengan sangat efektif? Haruskah kita menganggap perpustakaan sebagai wilayah pemikiran sipil dan meminta layanan sosial lainnya untuk datang ke badan sipil? Penugasan tanggungjawab sosial tentunya tidak bersifat hitam putih. Begitu pula dengan batasan antara pemikiran dan badan, kognisi dan afeksi. Tetapi perpustakaan tetap perlu untuk bekerjasama dengan institusi lainnya untuk menentukan bagaimana mereka memanfaatkan sumber daya yang ada di ekologi infrastruktur untuk melayani masyarakat mereka, dengan masing-masing institusi dan organisasi mengkontribusikan apa yang paling bisa mereka kontribusikan secara maksimal — dan masing-masing beroperasi dengan misi dan kewajiban yang jelas.

Perpustakaan memiliki daya tarik yang alami terhadap institusi budaya. Pada musim semi 2014, Walikota New York Bill de Blasio menunjuk Tom Finkelpearl sebagai Komisaris Urusan Budaya New York yang baru. Sebagai mantan pimpinan Museum Queens, Finkelpearl mengawasi fase renovasi pertama yang dikerjakan oleh Grimshaw Architects. Di fase selanjutnya, ia menggabungkan salah satu cabang Perpustakaan Umum Queens ke dalam museum tersebut — sebuah ‘perjodohan’ yang efektif, mengingat komitmen kedua institusi tersebut terhadap pendidikan dan budaya lokal. Begitu pula dengan Lincoln Center yang mana di dalamnya terdapat Perpustakaan Umum Seni Pertunjukan New York. Sebagai komisaris, Finkelpearl dapat memperluas dukungan untuk pengembangan beragam fungsi yang memperkuat ekologi infrastruktur. Proyek CUF/Liga Arsitektur juga mempertimbangkan bagaimana kemitraan kolaboratif dapat menginformasikan program dan desain perpustakaan.

Bohlin Cywinski Jackson, Perpustakaan dan Pusat Layanan Lingkungan Ballard, Seattle. [Foto oleh Jules Antonio]
Saya baru saja kembali dari Seattle, di mana saya mengunjungi lagi Perpustakaan Pusat OMA pada perayaan ulang tahun ke-10 nya dan berkeliling ke beberapa perpustakaan cabang baru.14 Berdasarkan peraturan “Perpustakaan untuk Semua” 1998, warga memilih untuk menarik pajak ke diri mereka sendiri guna mendukung pembangunan Perpustakaan Pusat beserta empat cabang baru, dan untuk memperbaharui setiap cabang yang ada di sistemnya. Cabang Ballard yang semarak dan memukau (2005), oleh Bohlin Cywinski Jackson, mencakup pintu masuk terpisah menuju Pusat Layanan Lingkungan Ballard, sebuah “balai kota mini” di mana warga dapat mendapatkan informasi mengenai layanan publik, mendapatkan izin hewan peliharaan, membayar tagihan bulanan, mengurus paspor serta melamar pekerjaan di kota. Meskipun pekerja perpustakaan pasti juga mendapat pertanyaan-pertanyaan terkait layanan tersebut, mereka kini dapat mengarahkan penanya ke institusi sebelah, di mana para petugas di sana lebih berkualifikasi dan dilengkapi untuk melayani kebutuhan jasa-jasa tersebut. Sehingga pekerja perpustakaan sendiri memiliki lebih banyak waktu untuk melayani pertanyaan mengenai referensi dan mengadakan kelompok menulis serta sesi membaca cerita untuk anak.

Pustakawan Kota Seattle, Marcellus Turner, adalah seorang yang ahli dalam kemitraan — dengan institusi budaya seperti teater lokal, begitu pula dengan kolaborator komersil seperti tim American football Seahawks.15 Setelah menduduki jabatan tersebut pada 2011, Turner mengidentifikasi lima prioritas layanan: (1) pembelajaran untuk anak muda dan usia dini, (2) teknologi dan akses, (3) perlibatan komunitas, (4) budaya dan sejarah Seattle, serta (5) membayangkan ulang ruang. Ia kemudian membentuk kelompok-kelompok kerja untuk mengembangkan proposal mengenai bagaimana perpustakaan dapat menangani kebutuhan tersebut dengan lebih baik. Masing-masing kelompok harus mempertimbangkan peluang pemasaran, pendanaan, penempatan staf, dan kemitraan yang “memaksimalkan apa yang kita punya dengan apa yang [mitra kita] punya.” Sebagai contoh, “Perpustakaan yang fokus pada pendidikan anak usia dini dapat mempekerjakan tenaga pengajar, akademisi, atau guru untuk membantu kita dengan riset mengenai pendidikan anak usia dini dan pengajaran.”16

Moshe Safdie, Perpustakaan Umum Salt Lake City. [Foto oleh Pedro Szekely]
“Tantangan desain”-nya adalah mempertimbangkan infrastruktur fisik apa yang akan dibutuhkan untuk mengakomodasi kemitraan yang demikian.17 Banyak perpustakaan telah melanjutkan jejak yang telah dibentuk oleh para inovator perpustakaan mulai dari Ptolemy hingga Carnegie, merenovasi bangunan mereka untuk menggabungkan ruang perkumpulan publik, ruang serbaguna, dan bahkan ruang komersial. Di perpustakaan cabang Ballard di Seattle, sebuah ruang pertemuan besar digunakan untuk acara rutin temu penulis dan kelompok menulis yang dinamis, dan biasanya menarik sekitar 30 peserta atau lebih. Di Salt Lake City, plaza perpustakaannya menampilkan kelompok seniman, sebuah stasiun radio, sebuah pusat menulis komunitas, toko, dan beberapa cafe — semua bisnis swasta yang etosnya sesuai dengan perpustakaan. Perpustakaan Umum New York pada tahun 2014 mengumumkan bahwa bahwa beberapa cabangnya berfungsi sebagai “pusat pembelajaran” untuk Coursera, penyedia “massive open online course”. Dan banyak perpustakaan memiliki ruang kelas serta laboratorium di mana mereka menawarkan kursus pelatihan teknis rutin.

Area hotspot dan locker di Perpustakaan Nasional. [Foto: Koleksi C2O.]
Model kewirausahaan ini mencerminkan sentimen yang semakin meluas: bahwa meskipun perpustakaan terus berperan penting sebagai “institusi peluang” untuk memberi kesempatan bagi mereka yang terbatas pilihannya, hal ini tak bisa menjadi pembenaran utama keberadaan mereka. Mereka tidak bisa menggandakan tanggung jawab dari pusat komunitas dan dinas pelayanan sosial. “Narasi mereka” — atau apa yang saya sebut sebagai “pembingkaian epistemik”, yaitu cara perpustakaan mengemas programnya sebagai institusi pengetahuan, beserta infrastruktur yang mendukungnya — ”harus mencakup semua orang,” kata Kristin Fontichiaro dari Universitas Michigan.18 Program dan layanan apa yang sesuai dengan institusi yang didedikasikan untuk pembelajaran seumur hidup? Haruskah perpustakaan dianggap sebagai pusat perlibatan masyarakat (civic engagement), di mana masyarakat dapat mendiskusikan isu-isu lokal, menciptakan media, dan mengarsipkan sejarah komunitas?19 Haruskah mereka menggabungkan media production studio, maker-space dan hackerspace, memposisikan ulang diri mereka dalam ekologi informasi dan infrastruktur pendidikan yang terus berkembang?

Fungsi sosial baru ini — yang mungkin akan membutuhkan infrastruktur baru untuk mendukungnya — memperluas narasi perpustakaan untuk menyertakan siapa saja, tidak hanya mereka yang “tidak punya”. Hal ini bukan berarti perpustakaan harus mengabaikan mereka yang membutuhkan dan memfokuskan diri pada kelompok pengunjung elit. Justru perpustakaan harus menggabungkan orang-orang yang “tidak punya pilihan” ini sebagai bagian penting dari masyarakat, supaya institusi ini dapat memperkuat misinya sebagai infrastruktur sosial untuk masyarakat yang inklusif. Juga supaya para pengguna yang berasal dari kalangan yang lebih beruntung serta berpendidikan dapat membawa pengetahuan dan kemampuan mereka ke perpustakaan dan menawarkan diri mereka sebagai sumber daya infrastruktur sosial.

Banyak di antara populasi dengan  sumber daya yang lebih beruntung ini — mereka yang memiliki pekerjaan, akses internet di rumah, dan dapat menangani birokrasi pemerintahan dengan relatif mudah — telah melihat diri mereka sebagai bagian dari anggota publik perpustakaan. Mereka menganggap perpustakaan sebagai ruang untuk keterbukaan, kesetaraan, dan kebebasan (dalam pengertian yang beragam); suaka dalam lingkungan yang serba ditampoli hak kepemilikan, serba komersial, disekat-sekat dan diawasi. Mereka paham bahwa seberapa baiknya mereka terhubung dalam jaringan, bagaimanapun mereka tidak sepenuhnya menggenggam dunia mereka — bahwa “materi yang dilindungi oleh hak cipta yang ketat dan disimpan dalam basis data berpemilik seringkali tidak dapat diakses di luar perpustakaan” dan bahwa “begitu manajemen hak digital menjadi semakin rumit, kami . . .semakin mengandalkan perpustakaan untuk membantu kami menjelajahi medan digital yang semakin terpecah-pecah dan rentan perkara hukum.”20 Dan mereka sadar mereka juga tidak bisa bergantung sepenuhnya pada Google untuk mengorganisasi informasi dunia. Seperti yang seorang pustakawan sampaikan dalam suatu diskusi di Metafilter:

Asosiasi Perpustakaan Amerika memiliki sejarah yang telah terbukti dalam hal komitmennya terhadap kebebasan intelektual. Layanan masyarakat yang selama ini kami sediakan kini digantikan oleh sesuatu yang memiliki sejarah tidak konsisten sebagai “not being evil” [alusi terhadap Google]. Saat kami perpustakaan tidak ada lagi, Anda yang kelas menengah, yang kaya, yang melek teknologi, siapa lagi yang akan memperjuangkannya tanpa motivasi keuntungan pribadi? Meskipun jika Anda tidak pernah menginjakkan kaki di pintu kami, dan semua kebutuhan media bisa Anda dapatkan dari layar yang terang, kami tetap bekerja untuk Anda.

Infrastruktur sosial perpustakaan memberi manfaat bahkan bagi mereka yang tidak memiliki kebutuhan mendesak akan ruang atau layanannya.

Perpustakaan Francis A. Gregory di Washington, DC adalah perputakaan dengan sertifikasi LEED Silver yang dirancang oleh arsitek David Adjaye dari London. [Foto oleh inhabitat]
Pada akhirnya, kita harus mengakui peran perpustakaan sebagai suatu penanda ruang sipil — sebuah simbol dari apa yang masyarakat hargai dengan cukup tinggi untuk ditempatkan di suatu lokasi yang penting, untuk diwujudkan dalam arsitektur bermartabat yang mengkomunikasikan keterbukaannya pada siapa saja, dan untuk didukung dengan bantuan dana publik yang cukup meskipun perpustakaan tidak dapat menghasilkan laba keuntungan. Perpustakaan yang didesain dengan baik — perpustakaan yang didesain secara kontekstual — dapat mencerminkan karakter masyarakatnya kembali kepada mereka sendiri, menjelaskan siapakah mereka, dalam segala keberagamannya, dan apa yang mereka bela atau perjuangkan.21 Perpustakaan cabang Bellevue dan Francis Gregory yang didesain oleh David Adjaye, terletak di lingkungan Washington D.C. yang secara historis kurang terlayani, dipuji karena telah melakukan fungsi ini dengan tepat. Seperti yang Sarah Williams Goldhagen tulis:

(Karya) Adjaye sangat selaras dengan nuansa konteks urban yang orang mungkin sulit mengenalinya sebagai karya dari seorang desainer. Francis Gregory terbuat dari besi dan kaca, Bellevue terbuat dari beton dan kayu. Francis Gregory menyajikan sebuah bentuk tunggal yang bersifat monolitis, Bellevue adalah bagian-bagian tambahan yang tidak teratur dari sejumlah paviliun beton. Konteks mengarahkan estetikanya.

Desainnya “membuat bangunan kota yang sederhana menjadi arena untuk interaksi sosial . . . ikon sipil yang khas, yang membantu membentuk identitas bersama.” Jenis infrastruktur sosial seperti ini melayani kebutuhan penting untuk seluruh masyarakat.

New York Public Library. [Foto oleh Fabrizio Pece]

Perpustakaan sebagai Infrastruktur Teknologi-Intelektual

Tentu saja, kita tidak boleh melupakan koleksi perpustakaan itu sendiri. Rak buku lama menjadi pusat perdebatan baru-baru ini terkait usulan renovasi Gedung Schwartzman Perpustakaan Umum New York di 42nd Street. Usulan renovasi rak akhirnya dibatalkan pada Mei 2014 setelah mengalami tuntutan hukum dan protes selama lebih dari satu tahun. Infrastruktur penyimpanan ini, dan sistem pengantaran yang mengakomodasinya, memiliki peran yang sangat penting bahkan di era digital seperti sekarang. Bagi para pelajar, tumpukan buku dalam rak ini mewakili akses nyaris instan terhadap material apapun dalam suatu koleksi yang sangat besar. Ahli sejarah arsitektur membela makna historis dari rak buku tersebut, dan para insinyur berpendapat bahwa rak-rak tersebut sangat penting bagi integritas struktural suatu bangunan.

 

Rem Koolhaas/OMA, Perpustakaan Pusat Seattle, rak buku Spacesaver. [Foto oleh brewbooks]
Cara koleksi perpustakaan disimpan dan ditata sehingga mudah diakses membentuk infrastruktur intelektual dari institusi tersebut. Perpustakaan Umum Seattle menggunakan rak buku akrilik tembus pandang buatan Spacesaver — dan bahkan di sini pun, pertimbangan fungsional tetap memperkuat karakter, suasana, yang mencerminkan identitas perpustakaan dan nilai-nilai intelektualnya. Mungkin terdengar norak, tetapi pendar cahaya yang menembus rak-rak tersebut berfungsi seperti suar, seolah menyambut hangat. Masih banyak perpustakaan kontemporer yang menghargai — mungkin malah memuja — buku dan rak bukunya: ambil contoh Book Mountain (“Gunung Buku”)-nya MVRDV(2012), di sebuah kota kecil di Belanda; atau Biblioteca Jose Vasconcelos TAX arquitectura (2006) di Mexico City.

 

TAX, Biblioteca Vasconcelos, Mexico City. [Foto oleh Clinker]
Rak buku menempati ruang yang berbeda tapi juga dipuja di Perpustakaan Mansueto rancangan Helmut Jahn (2011) di Universitas Chicago, yang menggabungkan berbagai infrastruktur berbeda untuk mengakomodasi material media yang beragam: ruang baca yang sangat besar, departemen konservasi, departemen digitisasi, dan sebuah gudang bawah tanah berisi buku-buku yang sistem pengambilannya dilakukan oleh robot. (Perlu dicatat bahwasanya Perpustakaan Boston dan perpustakaan lainnya memiliki rel buku beserta sistem pengambilan buku dengan menggunakan ban berjalan — proto-robot — dari seabad yang lalu.) Perpustakaan James B. Hunt Jr. rancangan Snøhetta(2013) di Universitas Negeri North Carolina juga menggabungkan sistem penyimpanan dan pengambilan robotik, sehingga perpustakaannya dapat menyimpan lebih banyak buku di tempat, sekaligus guna memenuhi target untuk menyediakan fasilitas tempat duduk bagi 20% populasi pelajar di sana.22 Di sini pengunjung diutamakan di atas koleksi bukunya.

Dulu, saat saya menghabiskan musim panas berkeliling perpustakaan, institusi terdepan ini sedang mengintegrasikan fasilitas produksi media, menyadari bahwa “konsumsi” dan “penciptaan” media terletak pada gradien produksi pengetahuan. Kini ada banyak pembicaraan mengenai — dan tindakan seputar — pengintegrasian hackerspace dan makerspace.23 Seperti yang Anne Balsamo jelaskan, lokasi perpustakaan ini menawarkan peluang untuk mewujudkan pengalaman belajar yang seringkali terjadi antar generasi dan integral terhadap perkembangan “imajinasi teknologi” — tapi jarang ditawarkan di institusi pembelajaran formal.2

Helmut Jahn, Perpustakaan Mansueto, Universitas Chicago, ruang baca di atas rak penyimpanan buku bawah tanah. [Foto oleh Eric Allix Rogers]
Perpustakaan Hunt memiliki sebuah ruang untuk makers, GameLab, serta berbagai macam laboratorium produksi dan studio lainnya, immersion theatre dan—yang agak mencengangkan—Apple Technology Showcase. (Namanya diambil dari donatur perpustakaan yang bermarga Apple, dengan sengaja menggunakan permainan kata yang merujuk pada perusahaan elektronik ternama.)25 Orang mungkin menganggap bantuan dana besar akan dibutuhkan untuk program semacam itu, tetapi tren semacam ini sebenarnya telah dimulai pada 2011 di kota kecil Fayetteville (berpenduduk 4.373 jiwa), yang memiliki perpustakaan umum pertama yang menggabungkan makerspace di dalamnya.

Tahun berikutnya, Perpustakaan Carnegie Pittsburgh — yang telah bertahun-tahun menjadi tuan rumah dari kompetisi film, turnamen game, dan proyek pembuatan media untuk anak muda — dengan dukungan dari Google dan Heinz Foundation meluncurkan The Labs: lokakarya mingguan di tiga lokasi di mana anak muda dapat mengakses peralatan, perangkatan lunak (software), dan para mentor. Di sekitar waktu yang sama, Chattanooga — kota yang diberkati dengan jaringan internet kota super cepat — membuka 4th Floor, “laboratorium publik dan fasilitas pendidikan” seluas lebih dari 1114 m2 yang banyak dipuji dan “mendukung produksi, koneksi, dan pembagian pengetahuan dengan menawarkan akses ke peralatan dan instruksi.” Peralatan tersebut termasuk 3-D printer, pemotong laser dan pemotong vinyl, serta instruksi mencakup apapun mulai dari kelas teknologi, proyek inkubasi untuk pengusaha teknologi perempuan (female tech entrepreneurs), hingga kompetisi ide bisnis.

Perpustakaan Hunt, Teater Imersi iPearl. [Foto oleh Payton Chung]
Tahun 2013, Perpustakaan Umum Brooklyn yang berjarak hanya dua blok dari tempat saya tinggal, membuka Levy Info Commons, mencakup ruang untuk pengguna laptop dan banyak desktop yang dilengkapi dengan perangkat lunak kreatif; 7 ruang rapat yang bisa digunakan untuk telekonferensi dan dapat disewakan, termasuk satu di antaranya yang juga berfungsi sebagai studio rekaman; laboratorium pelatihan, menawarkan berbagai lokakarya media digital yang dipimpin oleh organisasi seni dan desain setempat serta mengundang pula para pengunjung untuk memimpin sesi kursus mereka sendiri.

Jadual umum dalam kalender bulanan mereka yang padat mencakup resume editing workshop, Creative Business Tech prototyping workshop, konsultasi bisnis secara individu, tutorial Teen Tech, kelas komputer untuk lansia, lokakarya membuat podcast, sejarah lisan dan “permainan adaptif” untuk penyandang disabilitas, serta bahkan lokakarya rekaman audio dan pengeditan yang ditargetkan bagi penulis untuk membantu mereka menyebarluaskan karya mereka dalam format baru. Di tahun 2013 pula Perpustakaan Martin Luther King, Jr., Memorial di Washington, D.C. membuka Digital Commons, di mana pengunjung dapat menggunakan mesin pembuat buku yang mencetak berdasarkan permintaan (on-demand printing), 3-D printer, dan ruang kerja (coworking space) bersama bernama “Dream Lab” (Laboratorium Impian), atau mencoba berbagai macam perangkat baca buku elektronik. Perpustakaan Umum Chicago bekerjasama dengan Museum of Science and Industry membuka sebuah pop-up maker lab yang mencakup open-source design software, laser cutter, mesin giling, dan tidak hanya satu, tapi tiga 3D printer.

Percobaan tenaga sepeda di Perpustakaan Umum Chattanooga, 4th Floor. [Foto oleh Larry Miller]
Banyak orang mengusulkan bahwasanya perpustakaan — mengikuti tradisi “wadah riset” Alexandria, dan terdorong oleh hasrat untuk “mendemokratiskan kewirausahaan” — dapat menjadi ruang coworking dan ruang inkubator yang ideal. Pengunjung dengan berbagai ketrampilan yang berbeda dapat mengorganisasi diri mereka sendiri untuk menjadi start-up-for-the-people.26 Yang lain merekomendasikan para pustakawan untuk mewirausahakan, meng-entrepreneur-kan diri mereka sendiri, merubah citra mereka menjadi konsultan profesional dalam ekonomi informasi yang rumit. Pustakawan, dari sudut pandang ini, adalah tutor literasi digital yang unik dan berkualifikasi; ahli dalam “penyesuaian hak cipta, perizinan, privasi, penggunaan dan etika informasi”; guru dalam “menyelaraskan . . . program dengan koleksi buku, ruangan, dan sumber daya”; pencipta yang terampil dari “ontologi, kosa kata, dan taksonomi yang sesuai permintaan” serta data yang terstruktur; serta praktisi ahli dalam penggalian data.27

Yang lain merekomendasikan perpustakaan untuk masuk dalam bisnis produksi konten. Di hadapan meningkatnya tekanan untuk menyewa dan memberi lisensi konten digital berhak cipta dengan kebijakan penggunaan yang ketat, mengapa tidak perpustakaan melakukan lebih banyak hal untuk mempromosikan pembuatan media independen atau mengembangkan teknologi open-source gratis milik mereka sendiri? Tidak banyak perpustakaan yang memiliki waktu dan sumber daya untuk melakukan usaha semacam itu, tetapi NYPL Labs dan Library Test Kitchen Harvard telah mencontohkan apa yang mungkin terjadi saat ruang-ruang di perpustakaan rumahan sekalipun menjadi lokasi praktek tekonologi. Sayangnya, proyek-proyek inovatif tersebut biasanya tersembunyi di balik interface (seperti halnya para pekerja perpustakaan yang bekerja di balik layar keriuhan). Kenapa tidak membawa pekerjaan-pekerjaan tersebut ke bagian depan perpustakaan, sebagai bagian dari program publik?

Tentu saja, dengan semua aktifitas baru ini, muncullah kebutuhan ruang yang baru. Bangunan perpustakaan harus menggabungkan berbagai macam susunan perabotan, desain penerangan, kondisi akustik, dll untuk mengakomodasis berbagai penginderaan, cara kerja, postur dan sebagainya. Pustakawan dan desainer kini menerima — dan merancang untuk, bukannya merancang untuk mengeluarkan — aktifitas yang menimbulkan keramaian dan sewaktu-waktu dapat membuat ruang menjadi berantakan. Saya melakukan penelitian beberapa tahun yang lalu mengenai evolusi bebunyian perpustakaan dan menemukan adanya banyak pengakuan bahwa pembuatan pengetahuan tidak mudah terjadi saat “Ssttt!” adalah peraturan yang berlaku.28

MakerBot di Apple Technology Showcase, Snøhetta, Perpustakaan James B. Hunt, Jr, Perpustakaan Negeri North Carolina. [Foto oleh Mal Booth]
Infrastruktur fisik baru ini menciptakan ruang bagi keilmuan yang menerima integrasi antara konsumsi dan produksi pengetahuan, antara berpikir dan membuat sesuatu. Tapi terkadang saya bertanya-tanya, mengingat semua hiruk-pikuk seputar teknologi terbaru dan buzzword seperti “making”: apakah perangkat fabrikasi komputasional benar-benar menjadi hal yang dicari dalam pengelolaan pengetahuan? Pengetahuan apa yang terproduksi saat saya membuat, katakanlah, gantungan kunci dengan menggunakan MakerBot? Saya khawatir promosi berlebihan untuk proyek-proyek tersebut — beserta pujian yang mereka dapatkan untuk ”rebranding” perpustakaan — melebih-lebihkan nilai-nilai neoliberal yang kadang ditimbulkan teknologi seperti ini. Neoliberalisme menyalurkan pencarian kebebasan individu melalui hak properti dan pasar bebas29 — dan cara apa yang lebih baik untuk mengekspresikan diri Anda selain dengan iseng-iseng membuat cetakan 3 dimensi dari kepala Anda di perpustakaan, atau menggunakan router CNC perpustakaan untuk meluncurkan bisnis talenan yang bisa dimodifikasi di Etsy? Meskipun pustakawan telah lama menjadi pendukung akses informasi yang bebas dan demokratis, saya percaya — atau saya berharap — bahwa perpustakaan dapat lebih membantu para pengunjung untuk membangun sudut pandang kritis terhadap politik “inovasi teknologi” — serta potensi instrumentalisme dari makerhood. Tentu saja, Dewey juga merupakan bagian dari tradisi instrumentalis. Tetapi pencarian kita sekarang terhadap “inovasi” mendorong pemikiran bahwa “menciptakan hal baru” itu serta merta sama dengan “memproduksi pengetahuan”. Ini dapat menjadi kebohongan yang berbahaya.

Staf perpustakaan mungkin juga ingin menanggapi kritik terhadap “inovasi”. Tiap rilisan produk Google, perkembangan teknologi mobile, dan lansiran perangkat baca buku elektronik terbaru membawa peluang baru bagi perpustakaan untuk berinovasi menanggapinnya. Dan meskipun tuntutan menjadi “tetap kekinian” adalah suatu tujuan yang penting, perlu juga untuk menempatkan proses pencapaian tersebut dalam konteks budaya, politik-ekonomi, dan institusional yang lebih besar. Berusaha keras untuk tetap relevan secara teknologi bisa menjadi bumerang bila itu berarti hanya menanggapi inovasi media komersil yang digerakkan oleh perhitungan laba keuntungan semata. Kita sudah cukup sering melihat kesalahan ini — di mana inovasi dilakukan hanya supaya ada inovasi saja — terjadi dalam ranah teknologi pendidikan.

Perpustakaan George Peabody, Universitas John Hopkins. [Foto oleh Thomas Guignard]

Membaca Ekologi Infrastruktur

Perpustakaan harus tetap fokus pada tujuan jangka panjang mereka — yang seharusnya tetap berlaku terlepas dari apa yang Google putuskan untuk lakukan besok — dan pada posisi mereka dalam ekologi infrastruktur yang lebih besar. Mereka juga harus mempertimbangkan bagaimana identitas infrastruktur mereka yang beragam saling berkaitan ke satu sama lain dalam satu peta besar atau tidak. Dapatkah suatu institusi, yang infrastruktur teknis dan fisiknya diarahkan untuk mengejar inovasi, juga memenuhi kewajibannya sebagai infrastruktur sosial yang melayani mereka yang tidak punya pilihan? Etika apa yang terkandung dalam pengejaran sepenuhnya teknologi “terkini”, atau ketika proses pembelajaran, learning, makin disamakan dengan kewirausahaan, entrepreneurship?

Seperti yang Zadie Smith ungkapkan dengan indah di New York Review of Books, kita beresiko kehilangan peran perpustakaan sebagai suatu “bentuk lain kenyataan sosial (dalam bentuk tiga dimensi), di mana kehadirannya mengajarkan sistem nilai di luar nilai keuangan.”30 Barbara Fister, seorang pustakawan di Gustavus Adolphus College, menyampaikan permintaan yang sama mengesankannya untuk perpustakaan sebagai ruang pengecualian:

Perpustakaan bukanlah, atau tidak seharusnya menjadi, mesin produktivitas. Jika adapun, perpustakaan seharusnya dapat memberi ruang untuk orang memperlambat diri, dan menggoda diri dengan hal-hal yang tak terduga, tidak relevan, ganjil dan tak bisa dijelaskan. Produktivitas adalah cara destruktif untuk membenarkan nilai dari seseorang dalam suatu sistem yang secara alami bersifat komunal, bukan permainan zero-sum yang individualistis ataupun bersifat kompetisi kewirausahaan untuk dimenangkan yang paling produktif.32

Perpustakaan, dia berpendapat, “akan selalu merugi” dibandingkan Google dan Amazon karena perpustakaan menghargai privasi; perpustakaan menolak untuk memanfaatkan data pribadi para penggunanya untuk memperbaiki pengalaman pencarian pengguna tersebut. Namun kegagalan perpustakaan untuk bersaing dalam hal efisiensilah yang memberi mereka kesempatan untuk menawarkan suatu “bentuk lain dari kenyataan sosial.” Saya bisa mengatakan bahwa ada ruang-ruang untuk pembelajaran kewirausahaan di perpustakaan. Tetapi harus ada pula ruang untuk kenyataan alternatif di mana pengetahuan tidak harus dinilai dengan duit, di mana pembelajaran tidak harus selalu didorong oleh motif keuntungan pribadi. Kita bisa mengakomodasi kedua ruang tersebut, untuk kewirausahaan dan ruang pengecualian, asalkan institusinya memiliki bingkai epistemik yang kuat dan mencakup keduanya. Itu artinya perpustakaan perlu tahu bagaimana untuk membaca dirinya sendiri sebagai sebuah infrastruktur sosial-teknis-intelektual.

Hal ini penting khususnya untuk menumbuhkan kapasitas kritis — kemampuan “membaca” berbagai infrastruktur perpustakaan kita dan politik serta etika yang terkandung — saat infrastruktur konkretnya tampak seperti BiblioTech San Antonio. Ini perpustakaan “tanpa buku” yang menampilkan 10.000 buku elektronik, dapat diunduh melalui aplikasi 3M Cloud; 600 perangkat baca elektronik 3M yang “dipreteli”; 200 tablet untuk anak-anak yang “disempurnakan”; dan, untuk digunakan di tempat, 48 komputer, plus laptop dan iPad. Perpustakaan yang dibuka musim gugur 2014 ini juga menawarkan kelas komputer dan ruang pertemuan, tetapi semua terkunci dalam dunia platform berhak cipta.

Di perpustakaan seperti BiblioTech — dan Perpustakaan Umum Digital Amerika — koleksinya sendiri tidak terdapat di tempat. Apakah pengunjung bertanya-tanya di manakah, tepatnya, semua buku dan terbitan berkala serta material cloud-based-nya berada? Apakah yang berada di bawah, atau mengambang di atas, “platform”? Apakah mereka memikirkan tentang algoritma yang mengarahkan mereka ke material perpustakaan tertentu, serta saluran dan protokol yang mereka lalui saat mengaksesnya? Apakah mereka memikirkan bagaimana rasanya mengganti tumpukan rak buku dengan tumpukan server — yang rak logamnya tidak bisa kita sentuh, lampunya tidak bisa kita sesuaikan, dan tombolnya tidak bisa kita mainkan? Apakah mereka memikirkan bagaimana pekerja perpustakaanmenangani perizinan akses dan menambahkan metadata pada “aset digital”, atau para teknisi yang merawat server? Dengan infrastruktur teknis — dan pekerja manusia yang mendukungnya — semakin tersembunyi jauh dari lokasi fisik, di balik interface, semakin dalam di dalam blackbox, bagaimana bisa kita memahami cara-cara di mana struktur-struktur itu membentuk kondisi intelektual dan sosial kita?

Kita harus mengembangkan — baik di antara pengunjung dan pekerja perpustakaan sendiri — kapasitas kritis baru untuk memahami arsitektur fisik, teknis, dan sosial terdistribusi yang menjadi kerangka institusi pengetahuan dan juga memprogram nilai-nilai kita. Dan kita harus memikirkan bagaimana infrastruktur-infrastruktur tersebut saling bersinggungan — di mana mereka seharusnya atau mungkin tidak seharusnya berada, saling menguatkan satu sama lain. Kapan kewajiban sosial kita berkompromi dengan aspirasi intelektual kita, atau sebaliknya? Dan kapan aspirasi sosial atau intelektual untuk perpustakaan tersebut melebihi — atau gagal untuk menmanfaatkan secara keseluruhan — kapasitas infrastruktur arsitektur dan teknologi kita? Pada akhirnya, kita harus memastikan bahwa kita memiliki kerangka kerja epistemologis — sebuah narasi yang menjelaskan bagaimana perpustakaan mendukung pembelajaran dan mengelola pengetahuan — sehingga semuanya berkaitan bersama, sehingga ada koherensi kelembagaan. Kita harus menyamakan infrastruktur perpustakaan yang saling bersinggungan agar mereka dapat bekerja bersama untuk mendukung tujuan intelektual dan etika kita bersama.


Catatan Penulis :

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para murid di seminar “Arsip, Perpustakaan dan Database” dan studio “Arsip Digital” saya di The New School, yang telah memberi saya banyak asupan pikiran selama ini. Terima kasih juga kepada rekan-rekan saya di Architectural League of New York dan Center for Urban Future. Saya juga berhutang budi kepada Gabrielle Dean, murid-muridnya, dan rekan-rekannya di Johns Hopkins, yang memberi saya kesempatan untuk membagikan buram awal karya ini. Mereka, bersama rekan-rekan saya Julie Foulkes dan Aleksandra Wagner, menawarkan umpan balik yang sangat saya syukuri.


1 See Matthew Battles, Library: An Unquiet History (New York: W.W. Norton, 2003); Lionel Casson, Libraries in the Ancient World (New Haven: Yale University Press, 2001); Fred Lerner, The Story of Libraries (New York: Continuum, 1999).

2 Casson menjelaskan bahwa ketika Alexandria masih berupa kota baru di abad ketiga Sebelum Masehi, para pendirinya menarik cendekia ke kota tersebut — dalam upaya untuk membangunnya sebagai pusat kebudayaan — dengan Museumnya yang terkenal, “sebuah kuil figuratif untuk merenung, tempat untuk menumbuhkan seni yang mereka lambangkan. Itu adalah versi kuno dari sebuah think-tank: para anggota, yang terdiri dari penulis, penyair, ilmuwan, dan cerdik-pandai terkenal, diangkat oleh Ptolemies seumur hidup dan menikmati upah yang baik, pembebasan pajak … penginapan gratis, dan makanan. … Untuk mereka, Ptolemies mendirikan perpustakaan Alexandria” [33-34]

3 Donald Oehlerts, Books and Blueprints: Building America’s Public Libraries (New York: Greenwood Press, 1991): 62.

4 David Weinberger, “Library as Platform,” Library Journal (September 4, 2012).

5 Lebih jauh mengenai “ekologi infrastructural ecologies,” lihat Reyner Banham, Los Angeles: The Architecture of Four Ecologies (Berkeley, University of California Press, 2009 [1971]); Alan Latham, Derek McCormack, Kim McNamara and Donald McNeil, Key Concepts in Urban Geography (Thousand Oaks, CA: Sage, 2009): 32; Ming Xu and Josh P. Newell, “Infrastructure Ecology: A Conceptual Mode for Understanding Urban Sustainability,” Sixth International Conference of the International Society for Industrial Ecology (ISIE) Proceedings, Berkeley, CA, June 7-10, 2011; Anu Ramaswami, Christopher Weible, Deborah Main, Tanya Heikkila, Saba Siddiki, Andrew Duvail, Andrew Pattison and Meghan Bernard, “A Social-Ecological-Infrastructural Systems Framework for Interdisciplinary Study of Sustainable City Systems,” Journal of Industrial Ecology 16:6 (December 2012): 801-13. Kebanyakan referensi ke ekologi infrastruktur — yang hanya sedikit — merujuk kepada sistem skala urban, tapi saya percaya bahwa sebuah perpustakaan merupakan satu institusi yang cukup rumit, berada di tengah lintasan berbagai jaringan, dan karenanya memiliki ekologi infrastrukturalnya sendiri.

6 Center for an Urban Future, “Opportunity Institutions” Conference (March 11, 2013). See also Jesse Hicks and Julie Dressner’s video “Libraries Now: A Day in the Life of NYC’s Branches” (May 16, 2014).

7 Center for an Urban Future, Branches of Opportunity (January 2013): 3.

8 Dikutip dari Katie Gilbert, “What Is a Library?” Narratively (January 2, 2014).

9 Penjualan real estat merupakan salah satu elemen paling kontroversial dalam Rencana Perpustakaan Pusat Perpustakaan New York yang disengketakan, berdasarkan pada penjualan cabang perpustakaan di Manhattan dan cabang Perpustakaan Ilmu Pengetahuan, Industri dan Bisnisnya. Lihat Scott Sherman, “The Hidden History of New York City’s Central Library Plan,” The Nation (August 28, 2013).

10 Toyo Ito, “The Building After,” Artforum (September 2013).

11 Eric Klinenberg, “Toward a Stronger Social Infrastructure: A Conversation with Eric Klinenberg,” Urban Omnibus (October 16, 2013).

12 Saya adalah anggota tim pengorganisasian untuk proyek ini, dan saya berharap dapat menulis lebih banyak tentang hasilnya di artikel mendatang untuk jurnal ini.

13 Michael Kimmelman, “Next Time, Libraries Could Be Our Shelters From the Storm,” New York Times (October 2, 2013).

14 Perpustakaan Pusat Seattle merupakan fokus buku pertama saya, mengenai desain perpustakaan umum. Lihat The New Downtown Library: Designing With Communities (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2007).

15 Komunikasi pribadi dengan Marcellus Turner, 21 Maret 2014.

16 Marcellus Turner dalam Library 2020: 92.

17 Ken Worpole membahas kemitraan perpustakaan, dan implikasinya terhadap desain di dalamnya di bukunya Contemporary Library Architecture: A Planning and Design Guide (New York: Routledge, 2013). Buku ini menawarkan pandangan yang menyeluruh terhadap peran publik yang dilakukan perpustakaan, dan bagaimana ini mempengaruhi perencanaan dan desain perpustakaan.

18 Kristin Fontichiaro in Library 2020: 8.

19 Lihat Bill Ptacek in Library 2020: 119.

20 Kutipan ini dari artikel saya yang lebih awal di Places, “Marginalia: Little Libraries in the Urban Margins.” Dalam proyek digitalisasi massal seperti Google Books, seperti yang dijelaskan oleh Elisabeth Jones, “karya yang masih dalam hak cipta namun tidak dicetak dan karya status hak cipta dan / atau kepemilikan yang tidak pasti” akan jatuh di antara celah-celahnya” (dalam Library 2020: 17).

21 Saya mempersembahkan satu bab dalam The New Downtown Library untuk menjelaskan apa yang membuat satu perpustakaan “kontekstual” — dan saya juga membahas bagaimana istilah ini bisa begitu membuat terpeleset.

22 Kalimat ini diubah setelah publikasi untuk mencatat beberapa motif penerapan sistem penyimpanan dan pengambilan bukuBot; Penyimpanannya yang ringkas memungkinkan perpustakaan untuk mengintegrasikan kembali beberapa koleksi yang sebelumnya disimpan di luar lokasi. Perpustakaan juga telah mengembangkan sistem katalog Virtual Browse, yang bertujuan untuk mempromosikan penemuan maya yang tidak mungkin dilakukan di tumpukan fisik.

23 Menurut sebuah survei perpustakaan berbasis web pada akhir tahun 2013, 41 persen responden memberikan ruang bagi makers atau kegiatan berkaitan di perpustakaan mereka, dan 36 persen berencana untuk menciptakan ruang semacam makerspace dalam waktu dekat. Sebagian besar makerspace, 51 persen, berada di perpustakaan umum; 36 persen berada di perpustakaan akademik; dan 9 persen berada di perpustakaan sekolah. Di antara teknologi yang paling populer atau proses teknologi yang didukung di ruang kerja tersebut adalah workstation computer (67 persen), printer 3D (46 persen), pengeditan foto (45 persen), pengeditan video (43 persen), pemrograman komputer / perangkat lunak (39 persen). 33 persen menampung rekaman musik digital; 31 persen mengakomodasi pemodelan 3D, dan 30 persen menampilkan pengoprekan papan sirkuit Arduino dan Raspberry Pi (Gary Price, “Results From ‘Makerspaces in Libraries’ Study Released,” Library Journal (December 16, 2013). See also James Mitchell, “Beyond the Maker Space,” Library Journal (May 27, 2014).

24 Anne Balsamo, “Videos and Frameworks for ‘Tinkering’ in a Digital Age,” Spotlight on Digital Media and Learning (January 30, 2009).

25  Kalimat ini diubah setelah dipublikasikan untuk dicatat bahwa Apple Technology Showcase dinamai sebagai mantan anggota fakultas NCSU Dr. J. Lawrence Apple dan istrinya, Ella Apple; Dalam email ke penulis, direktur perpustakaan Carolyn Argentati menulis bahwa referensi terhadap korporasi Apple itu disengaja sebagai gurauan.

26 Emily Badger, “Why Libraries Should Be the Next Great Start-Up Incubators,” Atlantic Cities (February 19, 2003).

27 Stephen Abram in Library 2020: 46; Courtney Greene in Library 2020: 51.

28 Lihat tulisan saya “Resonant Texts: Sounds of the Contemporary American Public Library,” The Senses & Society 2:3 (Fall 2007): 277-302.

29 Lihat David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (New York: Oxford University Press, 2005).

30 Zadie Smith, “The North West London Blues,” New York Review of Books Blog (June 2, 2012).


This article was first published in English by Shannon Mattern, “Library as Infrastructure,” Places Journal, June 2014. https://doi.org/10.22269/140609.
The article was translated into Indonesian and published in C2O library & collabtive website with permission from the author and the Places Journal. Some of the pictures have been changed due to copyright reason. Translator: Nadia Maya Ardiani. We’d like to thank Shannon Mattern, Nancy Levinson and the editors of Places Journal, as well as Andrew Moon for their generosity and kind help.

Email | Website | More by »

An independent library and a coworking community space. Aims to create a shared, nurturing space, along with the tools and resources for humans (and non-humans) for learning, working, and connecting with diverse communities and surrounding environment—for emancipatory, sustainable future. More info, visit: https://c2o-library.net/about/ or email info@c2o-library.net

Leave a Reply