Reportase: Surabaya Illustrated Travel

 Apa yang lebih meriah daripada malam yang penuh teman? Kami sudah menunggu lama untuk pameran ini. Terhitung sejak berakhirnya residensi Ajeng di surabaya, kami terus beranjak ke pekerjaan satu dan yang lain. Hifatlobrain menggarap video Vaastu, anak-anak c2o mengonsep platform Ayorek! -sebuah portal komunitas kreatif Surabaya- yang akan diluncurkan akhir Minggu ini, dan Ajeng kembali berkutat pada web …

Reportase: Travel Writing Workshop

“Sampeyan jadi dateng mas?” tanya saya, dua minggu sebelum acara. Memastikan ketetapan hati Yudasmoro untuk sowan ke Surabaya berbagi ilmu menulis perjalanan.
“Pokoknya ada sop kikil, saya pasti datang! Ilmu saya gratis, Yos,” kata Yudasmoro singkat. Hati saya lega.

Sampai detik ini belum pernah ada pelatihan penulisan perjalanan (travel writing) di Surabaya. Jadi ini memang yang pertama. Tak heran jika pesertanya membludak. Awalnya kami hanya menarget 20 orang peserta saja, mengingat ruangan dalam c2o Library yang terbatas. Tapi memang rasa ingin tahu tak mudah dibendung. Pendaftarnya membengkak jadi 35 orang. Sebagian besar dari Surabaya, sisanya dari Jember, Malang, Solo dan Jogja.

Kesungguhan mereka tak kuasa kami tolak. Apalagi melahirkan generasi baru penulis perjalanan sesuai dengan visi Hifatlobrain, yaitu “documenting Indonesia”. Negeri ini butuh lebih banyak travel writer yang bisa mengulas budaya dan alam Indonesia yang begitu kaya.

Yudasmoro sendiri adalah penulis jempolan yang artikelnya banyak menghiasi majalah wisata dan inflight magazine di Indonesia. Kami, para pengurus Hifatlobrain, sudah lama menjadi penggemar tulisan-tulisan Yudasmoro. Tak jarang kami mengkajinya, mendedah tulisannya, dan kagum, karena pria satu ini begitu jenial menyisipkan guyonan sarkastik dalam artikel yang ditulis.

Para peserta berkumpul di c2o Library jam delapan pagi. Kami menyiapkan brownies dan air putih sebagai pengganjal perut bagi yang belum sarapan. Yudasmoro sendiri terlihat prima dalam setelan kemeja kasual, sambil menunggu peserta lain, ia sibuk mempersiapkan slide dan mengatur proyektor.

Materi pertama yang disampaikan adalah perihal Life of Travel Writer. Sebetulnya ini adalah materi yang disiapkan untuk mengakhiri workshop, tapi Yudasmoro malah menceritakannya di depan. Dengan menarik, ia bercerita tentang kehidupan penulis perjalanan, ia bercerita tentang pengalamannya sendiri. “Travel writer itu harus bisa kerja di bawah tekanan. Saya sering dikontak editor untuk mengirim foto saat tengah malam. Atau tiba-tiba mendapat writers block menjelang deadline,” kata Yudasmoro.

…..

Reportase: Diskusi bersama editor National Geographic Indonesia

Sebuah permintaan mendadak disampaikan oleh Purwo Subagiyo, seorang digital strategist National Geographic Indonesia dalam persinggahannya di Surabaya. “Bisa nggak disiapkan tempat di C2O untuk ngobrol santai dengan mas Yoan?”

Yoan adalah panggilan akrab dari Mahandis Yoanata, seorang pecinta sejarah yang juga seorang editor di majalah National Geographic Indonesia. Di hari yang sama, ia dan fotografer Feri Latief membagi pengalamannya dalam melakukan pelputan untuk NGI di kampus ITS Surabaya. Malamnya ia bertandang ke C2O untuk berbagi cerita mengenai kota lama di Surabaya.

“Saya sudah menyusuri beberapa kantor lama di Surabaya, kebanyakan bagunannya masih dalam kondisi baik. Surabaya ini menurut saya memiliki kota lama yang paling bagus dibandingkan Jakarta, Bandung, atau Semarang,” kata Yoan.

Lantas kisah-kisah tentang bangunan lawas pun mengalir lancar dari mulutnya. “Kalian tahu bangunan bekas kantor pajak di daerah Jembatan Merah yang dahulu dibangun oleh Berlage?” tanya Yoan kepada peserta diskusi kecil ini. Lantas ia bercerita tentang patung singa yang ada di depan gedung tersebut dan menghubungkannya dengan simbol singa milik Santo Markus yang menjadi lambang Venesia. “Bisa jadi, dulu Berlage melihat Surabaya sebagai Venesia dari timur, karena begitu banyak sungai dan kanal yang melintas kota,” kata Yoan.

Ia juga menjelaskan dengan detail tentang makna kaca patri yang ada di dalamnya. “Lambang Firaun dan tujuh bulir padi di kanan kiri itu bisa jadi merujuk pada mitos kuno tentang masa panen dan paceklik selama tujuh tahun yang melanda Mesir kuno. Semacam pesan untuk memanfaatkan pajak sebelum datang musibah di kemudian hari,” kata Yoan.

Pria yang berasal dari Jogja ini juga bercerita tentang lambang Syria kuno yang menghiasi setiap brankas yang ada di kantor-kantor milik Belanda. “Saya ini selalu memperhitungkan detail dan mencatatnya,” kata Yoan.

Diskusi tentang sejarah dan budaya kuno berlangsung seru. Berbagai tanya jawab juga dilontarkan oleh peserta yang tidak banyak itu. Lukman Simbah bertanya tentang kebijakan tata kota kolonial yang disambung oleh Bucu, seorang mahasiswa Planologi ITS. “Belanda dulu mendesain sebuah kota dengan mempertimbangkan apa yang akan terjadi di masa depan,” kata Bucu.

Yoan juga merasa senang dengan keberadaan c2o di Surabaya. “Cari tempat sharing kayak gini di Jakarta sudah jarang, dulu ada dua di Depok, tapi entah sekarang…” kata Yoan.

Reportase: DIY #7 Digital Media Design

Mendefinisikan desain di era digital seperti saat ini ternyata tidak begitu mudah, ada banyak persilangan dan koneksi yang terjadi antar disiplin sehingga memunculkan domain dan bentuk baru dalam berkesenian. Bentuk-bentuk desain konvensional dapat berubah sebagian atau malah menemukan evolusinya yang sama sekali baru.

Dalam diskusi saya memang tidak melontarkan pertanyaan klise “Apakah digital media menurut menambah daftar kebingungan dari setiap peserta diskusi yang hadir saat Anda?” karena saya yakin jawaban dari setiap panelis akan berbeda dan yang terjadi hanyalah itu. Maka saya mengarahkan diskusi tentang digital media ini pada isu kekinian yang masih bisa dielaborasi untuk menelurkan gagasan baru. Salah satunya adalah isu tentang posisi Surabaya dalam peta desain Nasional.

Reportase: DIY #2 Design Business & Management

Diskusi kedua dalam rangkaian acara Design It Yourself (DIY 2011) yang diselenggarakan pada tanggal 8 Oktober 2011 ini berlangsung hangat dan meriah. Para pembicara terlihat antusias dalam membedah bersama mengenai praktik dan implementasi dari manajemen desain. Diskusi menjadi lebih menarik karena latar pembicara yang beragam, ada yang berasal dari agensi, ada yang berbasis komunitas, ada juga yang berlatar belakang sebagai seorang lonesome freelancer.
Tapi dari semua pembicara memiliki benang merah yang sama, bahwa manajemen terhadap proses desain itu sangat penting. Namun yang membedakan antara satu pembicara dengan pembicara lainnya adalah pelaksanaan manajerial yang tergantung pada jenis usaha yang dijalankan. Maritjee misalnya, ia memilki jam kerja rutin setiap harinya untuk memudahkan produksi tas hasil rancangannya yang dilakukan oleh para pekerja. Sedangkan Bayu, managing director dari graphichapter, mengatakan bahwa alur manajerial di bironya tidak hierarkis (top-down management), melainkan setara. “Saya nggak ingin mematikan adanya potensi ide baru dari para desainer. Selain itu kami membagi dua pola kerja, satu bagian konsep (dikerjakan oleh para senior desainer) dan satu lagi bagian eksekusi (terkadang dikerjakan oleh para junior desainer, biasanya outsourcing mahasiswa desain)”
Untuk jam kerja, GraphiChapter menerapkan jam kerja biasa seperti layaknya kantor lain, tapi ini tidak berjalan kaku. “Seringkali desainer datang setelah Dhuhur atau sore, biasanya yang datang sore ini mereka yang ingin bermalam di kantor. Aturan main kami fleksibel, asalkan finish by deadline. Jadi misalnya ada waktu seminggu untuk bikin dummy, ya sudah terserah desainer mau mengerjakan kapan saja, asalkan selesai pada waktunya, biasanya H-1 sudah diserahkan,” kata Bayu. Sedangkan Nitchii menerapkan standar waktu yang berbeda. Ia mengerjakan berbagai proyek ilustrasinya di malam hari. “Soalnya aku kan masih kerja di agensi ya, jadi kalo sore pulang kerja, malamnya aku kerjain ilustrasi. Di sini passionku. Dalam waktu dekat bisnis ilustrasi dan craft ini mau aku tekuni secara full-time, sedangkan kerja di agensi jadi sampingan…” kata Nitchii.
Komunitas menjadi bagian penting yang menyokong proses kreatif para desainer. Semua pembicara sepakat akan hal tersebut, termasuk Nitchii dan Maritjee yang tergabung dalam serikat desainer wanita di Surabaya yang bernama BRAngerous. “Komunitas kreatif ini yang bikin kita terus berkarya. Sering kita tukar pikiran atau gagasan meski hanya lewat milis saja,” kata Maritjee. Arghubi, dari Aiola dan Global appleworks mengatakan bahwa menjaga keberlangsungan sebuah komunitas juga bukan hal yang mudah. “Pasti jatun bangun, ada yang datang ada yang pergi. Tapi berbagai kolaborasi kreatif membuat kita bisa terus berdiri sampai hari ini,” kata Ghubi yang turut membangun Global appleworks sejak 2004.
Sharing menarik tentang keberadaan komunitas juga disampaikan oleh MADCahyo, seorang sesepuh di deMaya, desainer muda Surabaya, sebuah komunitas untuk para desainer (muda?) yang beberapa kali menggelar acara kreatif di Surabaya, termasuk Surabaya Design Week di tahun 2008. “Komunitas itu seperti rumah, tapi tanpa sekat, tanpa pintu, dan tanpa tembok. Siapapun boleh keluar masuk dan berkontribusi. Anggota deMaya datang dari mana saja, mulai kelasnya profesor hingga mahasiswa, dari freelancer hingga pemerintah kota. Jadi ini merupakan ladang untuk memperluas pergaulan dan saling bersilaturahmi antar insan kreatif,” kata MADCahyo. Pernyataan sesepuh deMaya ini langsung ditanggapi oleh Bayu GraphiChapter,”Sebagai salah satu anggota deMaya, saya juga dapat relasi dengan pemerintah kota dari milis ini. Jadi ya bisa jadi dengan bergabung di komunitas kreatif, selain memperluas pergaulan kita juga bisa menjaring klien baru yang potensial. Komunitas yang kuat dan sustainable seharusnya bisa hidup dan menghidupi anggota komunitas itu sendiri,” kata Bayu.
Namun berurusan dengan pemerintah sendiri masih menjadi domain yang agaknya rawan bagi para desainer. “Mereka itu masih belum punya regulasi yang jelas untuk menentukan tender-tender desain. Konon proyek bagi para desainer masuknya di sub multimedia, tapi proyek multimedia isinya hanya pengadaan komputer di sekolah-sekolah,” kata Bayu.
“Pemerintah itu kadang labil deh, dulu film Surabaya Grammar kami pernah dikoreksi habis-habisan karena banyak kata-kata pisuhan yang vulgar, eh saat kami mengeluarkan CuloBoyo Juniol, malah kami ditawari tender untuk pendidikan animasi bagi sekolah dasar di Jawa Timur. Bingung deh, apa sih maunya pemerintah ini?” kata Vinka, dari Gathotkaca Studio. Kondisi pemerintah kurang wawasan tampaknya menjadi penyebab lesunya atmosfer kreatif di Surabaya. Jadi, konsepsi “managing the design strategy” yang harus dilakukan dalam wilayah besar itu masih belum ada wujudnya di Surabaya. Meski diklaim sebagai kota yang memiliki ciri khas, namun tidak ada visi yang jelas dari para pelaku kreatif di Surabaya, semua berjalan sendiri-sendiri.
“Saya memiliki manajemen berupa: membagi proyek desain menjadi dua; profitable dan non-profitable. Untuk yang profitable saya bagi dua; governmental project atau non-govermental. Nah saat mengerjakan proyek pemerintah (governmental project) maka harus disiapkan tiga platform mental; putih, hitam atau abu-abu. Bekerja dengan pemerintah itu menurut saya kebanyakan wilayahnya abu-abu,” kata Ghubi.
Sedangkan usul menarik datang dai Jeri Kusuma, seorang desainer freelance, yang sering mengerjakan proyek kreatif untuk pemerintah, “Masih ada banyak celah yang bisa dimasuki oleh para desainer. Pemerintah kota Surabaya ini butuh banyak sekali masukan kreatif untuk menyelesaikan permasalahan kota. Saya pernah mengusulkan beberapa ide dan dari sekian ide itu banyak yang diterima. Tapi bekerja dengan pemerintah memang tricky, apalagi untuk proses pembayaran. Saran saya, pakailah kalender kerja pemerintah. Masukkanlah ide sebelum anggaran kerja baru dibuat,” kata Jeri.
Peran pemerintah dalam mendukung iklim kreatif memang masih dibutuhkan. “Seperti kami para penggiat film, sangat sedikit sekali ruang umum di Surabaya yang bisa kita manfaatkan untuk screening film. Padahal untuk menyewa Balai Pemuda, misalnya, itu butuh uang yang tidak sedikit. Padahal para penonton masuk gratis. Jadinya ya kita membiayai proyek kreatif dari hasil kerja reguler dan penjualan merchandise yang tentu saja hasilnya tidak seberapa,” kata Vinka.
“Saya pernah mengurus ijin merek di pemerintah, tapi sepertinya ribet sekali, jadi ya sampai sekarang saya belum mengurus lagi merek saya,” kata Maritjee. “Saya juga masih nyaman dengan proyek-proyek bukan pemerintah,” kata Nitchii. Dua desainer wanita ini justru punya pandangan menarik tentang strategi marketing. “Kami lebih suka menggunakan media internet yang borderless. Karya kami lebih mudah mendapat apresiasi di luar negeri. Setelahnya, saat banyak orang Indonesia yang sudah aware, baru kami pasarkan produk kami untuk orang Indonesia,” kata Maritjee dan diamini Nitchii. Proyek idealis dengan skala kecil ini tampaknya masih menjadi pilihan yang menarik bagi para single fighter freelancer seperti mereka berdua. “Bahkan proyek kolaborasi gratisan menurut saya jauh lebih menarik, tapi suka pusing juga kalo ada orang luar negeri pesan craft saya, terus saya harus mengurus biaya kirim yang jauh lebih mahal dari biaya produksi craft itu sendiri,” kata Nitchii.
Sedangkan Bayu yang harus menghidupi banyak desainer di bawah kendalinya justru punya pemikiran lain. “Dulu awalnya saya berpikir untuk mencari klien sebanyak-banyaknya. Sampai banting harga di depan klien demi mendapatkan efek word of mouth yang bombastis. Tapi nyatanya itu nggak sustainable. Daripada mengurus banyak klien, sebetulnya lebih baik mengurus sedikit klien tapi benar-benar loyal. Menurut pengalaman saya di GraphiChapter, mengurus tiga klien saja dengan proses desain yang benar, dengan manajemen yang bernar, dan dengan bayaran yang benar pula, kita sudah bisa hidup di Surabaya. Bahkan bisa juga kasih bonus gaji ke para desainer saya. Tapi ya harus itu, semua dikerjakan dengan benar,” kata Bayu. []

Reportase: Tattoo People

“Dari pemutaran yang ada di dua kota sebelumnya (Jakarta & Bandung), di Surabaya ini yang paling rame…” kata Durga setelah acara pemutaran dan diskusi Mentawai Tattoo Revival berakhir. Acara screening yang digagas Hifatlobrain Travel Institute dan C2O Library ini memang menyedot banyak pengunjung yang terdiri dari berbagai latar belakang. Sekitar 100 orang memadati halaman belakang perpustakaan sejak pukul lima sore.

Salah satunya adalah Iman Kurniadi, seorang movie addict yang tinggal di Surabaya. Ia datang bersama kawannya. Ada pula Zani Marjana, seorang penggiat di milis Indobackpacker yang datang dengan membawa sumbangan takjil berupa cake klappertaart yang lezat. Suwun om! Hehehe.Sebelum berbuka memang ada semacam tausiyah singkat dari kyai Rahung yang menceritakan latar belakang pembuatan film dokumenter Merajah Mentawai ini. “Waktu itu saya nggak ada rencana apa-apa, nggak ada script juga. Saya hanya ingin mengabadikan kegiatan Durga di Mentawai, karena menurut saya idenya sangat luar biasa,” kata Rahung.

Sejak akhir dasawarsa 90, Durga meninggalkan Jogja untuk mendalami kehidupan sebagai seorang disk jockey dan underground artist di Berlin. Seni merajah tubuh bukan hal asing bagi Durga, ia sudah berkenalan dengan mesin dan tinta sejak menjadi mahasiswa ISI dan “terlibat” dengan komunitas punk generasi awal di Jogja. Pada 2005, dengan semangat petualangannya, Durga kembali meninggalkan Indonesia menuju Los Angeles, di kota ini Durga mendapatkan inspirasi dari Sua Sulu Ape di Black Wave Studio Tattoo untuk belajar kembali tentang tato tradisi Nusantara. Durga mengamati, sebagai maestro tato tribal, Sua Sulu Ape sering mengunjungi Borneo, Samoa dan Tahiti untuk mendalami tato tradisi yang kini populer kembali.

Berbekal pengetahuan yang minim tentang tato Mentawai, Durga mengajak Rahung untuk bergabung. Catatan antropologis seorang peneliti Belanda, Reimar Schefold, dijadikan acuan awal bagi ekspedisi ini. Bantuan datang kemudian dari Universitas Andalas di mana salah satu mahasiswa jurusan Antropologi ada yang berasal dari Mentawai. Mahasiswa inilah yang menjadi penunjuk jalan utama bagi perjalanan Durga dan Rahung.

Durga menjelaskan bahwa budaya tato Mentawai, salah satu budaya rajah paling tua di dunia, sangat terakit erat dengan sistem kepercayaan suku Mentawai, Arat Sabulungan. “Jadi setiap tato memiliki arti dan proses inisiasinya sendiri. Ia menjadi tanda yang disepakati secara umum, menunjukkan status dan personalitas pemakainya,” kata Durga.

Sayang, hari ini tato Mentawai tidak lagi banyak ditemui. “Kita sulit menemukannya di Pagai, namun masih cukup banyak di Sipora…” kata Durga. Terma cukup banyak ini sendiri tidak benar-benar menggambarkan kata ‘cukup banyak’, tato di Sipora pun hanya bisa ditemui pada orang-orang tua dan sikerei (dukun Mentawai) yang kulitnya sudah penuh keriput. “Anak muda Mentawai sudah malu dan menganggap budaya tato itu ketinggalan zaman, primitif” kata Durga. Pola pikir itu dibentuk dari sistem pendidikan modern yang masuk seiring dengan datangnya misionaris dan lembaga bernama negara.