Peserta (menurut urutan alfabet): Anitha Silvia, Ari Kurniawan, Ary Amhir, Devy, Kathleen, Randy
Klab Baca Harry Potter (selanjutnya disingkat HP) di mulai setelah Devy -peserta terakhir diskusi- datang. Sebelumnya peserta lain, duo Ari/y , Randy dan Kat menunggu dimulainya diskusi dengan membaca tipis-tipis, bergosip, sembari menyaksikan film terakhir HP 7 dilayar televisi C2O melalui pemutar yang cakram video digitalnya sempat macet dua kali itu. Malam itu cuaca sangat gerah, dengan tingkat kelembapan udara cukup tinggi. Ditemani seduhan teh hangat , beberapa potong kueh kering…… -kudapan ala inggris, saya dan Randy memilih mengambil teh kemasan botol dari lemari pendingin- dan tak lupa guyonan-guyonan kering, peserta diskusi kemudian siap masuk kedalam dunia diskusi Harry Potter yang (harapanya) menyihir… Alohomora!
Karena Kat, Ari K dan Anitha belum menyelesaikan buku ketujuh mereka (mereka akhirnya membaca sinopsis singkat ceritanya dari internet), alih-alih fokus ke buku ketujuh, diskusi secara alami lebih membahas dunia Harry Potter secara keseluruhan. Duduk hampir separuh melingkar, masing-masing peserta mulai berbagi pengalaman awal mereka membaca Harry Potter (yaya.. menyingkat teksnya menjadi HP atau herpot ternyata cukup terlihat menjengkelkan secara visual). Kathleen awalnya cenderung menghindari membaca Harry Potter karena ekspos yang berlebihan dan reputasinya yang sangat popular. Dia tidak sendirian, banyak teman saya yang juga mengambil sikap begitu. Secara popularitas di kalangan anak SMA waktu itu, membawa buku Harry Potter mungkin hampir seperti sering ditentengnya buku seri Chicken Soup. Saya sendiri merasa bisa melihat potensi Harry Potter dibalik semua “kemilau” itu dari kulit buku serta ilustrasinya yang menarik, dan terbukti masih menawan (paling tidak menurut saya untuk segmen remaja dan anak-anak) bertahun setelah terbit lebih dari satu dekade.
Seperti halnya Kat, Randy juga pada awalnya menghindari rekomendasi teman-teman dan kakaknya yang juga suka membaca, hingga akhirnya ketika sedang nganggur dan iseng membaca, perlahan tapi pasti bibit adiksi mulai muncul dan menguat. Gejalanya terlihat ketika dia mulai rebutan membaca buku itu dengan kakaknya, dan memuncak ketika esoknya dia harus ujian, Randy memilih untuk melahap habis buku Harry Potter dalam satu malam. Saya jadi teringat teori tokoh radikal realis yang juga cukup mempengaruhi Obama di masa kuliahnya; semua gerakan revolusioner harus di awali sikap pasif sebelum berbalik ke sikap patuh, tanpa melawan, dan sepenuhnya mendukung oleh masyarakat pendukungnya. Tipis-tipis laah.Randy pada akhirnya mengaku kesukaannya pada kisah-kisah yang berlatar belakang dunia fantasi bisa jadi berakar pada kebutuhan untuk menyegarkan diri dari rutinitas sehari-hari.
Devy yang mengaku bandel dan tidak suka membaca semasa SMA juga belum membaca Harry Potter kala itu. Dorongan membaca muncul ketika masuk ke kuliah sastra dan menonton filmnya di Bioskop. Sama seperti Randy, Devy mengaku terkesima dengan cara JK menciptakan dunia sihir yang menawan dan menciptakan detil tulisan yang membuat pembaca bisa masuk dan “melihat” petualangan Harry dalam benak mereka. Sebegitu canggihnya visualisasi yang terbayang di pikiran hingga Devy merasa penggambaran ceritanya di dalam film tidak mampu menyaingi kemegahan dari pembacaan bukunya. Kat menambahkan bahwa banyaknya dialog yang dirangkai menjadi sangat catchy dan kelebatan pikiran dan fantasi tokoh-tokohnya semakin menambah efek asyik membacanya. Faktor-faktor yang seingat saya juga di sebut Budi Darma sebagai syarat pembentuk novel yang baik.
Mbak Ary Amhir yang paling jaim di antara peserta klabaca punya opini yang cukup personal soal popularitas Harry Potter. Bahwa Harry Potter adalah fantasi semua orang, pelarian imajinasi ,rasa kekecewaan hidup, pelampiasan rasa frustasi, dan harapan-harapan tersembunyi mereka. Apa yang tidak dapat dicapai dalam dunia nyata dapat terwujud dalam dunia sihir. “JK Rowling sendiri menulis Harry Potter ketika dalam masa penderitaan… waktu itu dia berada dalam titik terendah hidupnya” imbuh mbak Ary. Menurutnya ketika itu Rowling baru bercerai dan anaknya masih bayi. Ketika dia kecewa dia melarikan kekecewaannya dalam kehidupannya yang lain, termanifestasi misalnya dalam kebahagiaan dan penderitaan Harry atau karakter lainnya, hingga ke konsep dementor. Pesan personal yang tersamar itu kemudian beresonansi kuat terhadap pembacanya.
Lebih dalam soal Rowling, mbak Ary memuji ketekunannya dalam studi literatur tentang mitologi Irlandia dan sejarah Inggris kuno yang dia gali lalu disusun dan dihubungkan dengan fantasinya sendiri. Sehingga tiap tokoh-tokohnya memiliki sejarah yang kuat. Kat menambahkan cerita tentang beberapa fans hardcore Harry Potter yang berusaha memvisualkan pohon silsilah keluarga atapun peta Hogwarts maupun Hogsmeade, dan ternyata semuanya bisa sesuai deskripsi dari buku.
Ari Kurniawan belia membaca Harry Potter pertama ketika SMA di Magetan meminjam dari mbaknya yang baru pulang dari Surabaya. Mengaku sebagai penggemar cerita dongeng, Ari dengan mudah tersihir oleh kisah petualangan dan perkembangan karakter didalamnya yang semakin kompleks dan semuanya memiliki peran penting. Dan sebelum kami terjerumus membandingkan buku ke tujuh Harry Potter dengan 7 season sinetron Tersanjung, munculah kesepakatan untuk sedikit memainkan games. Kami berhompimpah untuk beradu cepat menyebutkan semua istilah,nama, mantra, benda,alamat, atau apapun yang berkaitan dengan dunia Hary Potter sesuai dengan hasil abjad yang keluar.
Dua-tiga kali hompimpah, berkat ingatan kami yang payah.. tidak banyak yang bisa disebutkan.. permainan hampir membosankan. Fyuuh.. Hingga akhirnya jari-jemari kami mengarah ke huruf P, jackpot! Percy! Padma Patil! Pervet Drive! Phoenix! Pronks! Potter! Polly juice! Patronus! Pensive! Saking bersemangatnya kami memutuskan melanjutkan 2 putaran hompimpah.. dan rupanya puncak permainan cuman terjadi sekali. Kami kemudian menyadari bahwa banyak istilah dan nama yang berawalan huruf P, begitupula denganhuruf H. Kat merasa bahwa itu adalah hidden branding ala Rowling, asumsi yang menarik.
Pembicaraan kembali berfokus pada detil-detil dalam dunia Harry Potter yang disukai dan menempel dalam ingatan kami. Beberapa melihat kesamaan fitur dengan Doraemon (kantong ajaib, pintu kemana saja). Portkey, Quiditch, Jaringan Bubuk Flo, disappearate, dan terutama pensive, dianggep sebagai konsep yang menarik. Meskipun fantasi semua elemen dunia sihir dipikirkan secara serius implementasinya. Mulai dari jaringan transportasi, kurikulum sekolah, sistem olahraga Quiditch, sampai ke lagu mars sekolah. Bahkan Rowling sampai mengeluarkan spin-off berupa buku daftar hewan sihir dan buku peraturan Quiditch dengan desain yang lucu. Mbak Ary setuju dengan statement bahwa Harry Potter adalah buku dongeng terbaik sepanjang masa karena dia menawarkan pendekatan yang baru. Mbak Ary membandingkannya dengan Septimus Heap yang juga berseting dunia fantasi namun tetap tidak mampu mengalahkan detil JK Rowling.
Menurut saya salah satu kelebihan seri Harry Potter yang menonjol adalah kecanggihan struktur ceritanya secara keseluruhan. Bagaimana peran, karakter, dan kejadian bisa bergeser di setiap seri, bagaimana kejadian kecil di seri awal bisa berdampak besar di seri akhir. Kat menambahkan kredit untuk peran editor yang cukup jago untuk mengarahkan dan membimbing Rowling. Ari K merasa kagum dengan bagaimana Rowling merangkai cerita dan semua aspek kecilnya menjadi menjadi satu kesatuan bangunan cerita yang kuat dalam tujuh seri. Meskipun menurut Kat beberapa pembaca serius ada yang menemukan ketidaksesuaian dan lubang minor. Menurut mbak Ari memang begitulah kecenderungan orang merangkai cerita. Diawal memang merancang sedikit konsep dan setingnya, ketika alurnya mulai meluas, penulis harus lebih memikirkan dengan detil dan membuat peta ceritanya secara keseluruhan. Sedikit mirip dengan buku Mushashi, hanya karakternya tidak sebanyak Harry Potter. Menurut saya kesadaran penulisan dalam gambaran besar dalam garis waktu cerita yang panjang mulai banyak ditemukan di cerita populer sekarang. Entah itu cerita manga Jepang sampai serial televisi barat.
Kembali ke detil ! Kekaguman Devy pada wujud Patronus yang beraneka ragam yang menarik, sama menariknya dengan konsep Patronus itu sendiri. Sebagai sistem pertahanan, mantra Expexto Patronum hanya bekerja dengan cara mengingat kenangan yang paling membahagiakan. Laaknya terapi psikologis, Mbak Ary membayangkan bahwa itu yang dilakukan Rowling untuk menaikkan semangat hidupnya ketika dia sedang menderita. Beralih ke momen-momen yang memorable..Devy memilih perjalanan ke Hogsmeade sebagai favoritnya (menjelaskan dia sebagai siswa yang haus liburan), Ari memilih perjalanan ke Hogwarts (menjelaskan dia anak pesantren),Kat memilih hari pertama Harry di Hogwarts menyusup dengan Invisible Cloak ke perpustakaan (menjelaskan dia owner perpustakaan), Mbak Ary memilih petualangan Harry dan Ron melawan dedalu raksasa (menjelaskan dia seorang traveler sableng), Randy menyukai adegan Ketika Snape menyerahkan ingatan terakhirnya kepada Harry menjelang kematiannya (menjelaskan kalau dia..melankolis?), saya memilih momen ketika perjalanan berkemah ke Piala Dunia Quiditch (begitulah.. pilihan yang cemerlang).
Dalam pembacaan karakter, Snape paling banyak mendapat simpati kami. Menurut Yuli dibalik sikapnya yang keras terhadap Harry, dia memiliki kasih sayang yang besar terhadapnya. “Wajah Rambo hati Rinto, romantis” kata mbak Ary, “Setia sampai mati dengan Lilly” tambah Kat,”Paling ngetwis..kasih tak sampai” sengit Ari, “Karakter yang paling kompleks” puji Randy. Snape adalah karakter yang membuat kita menebak-nebak pemikiran dan keberpihakannya hingga akhir serial. Sebagai pemain teater, kami semua setuju bahwa Alan Rickman yang memerankan Severus Snape adalah kasting yang paling sempurna diantara karakter lain di versi filmnya. Dalam sebuah sumber saya pernah membaca bahwa Rowling pernah berkata kepada Rickman bahwa dualitas emosi yang dialami Snape terhadap Harry karena sebagai anak James, Harry adalah manifestasi pria pilihan Lilly alih-alih dirinya, dan akhirnya dia bisa benar-benar mengerti akan pilihan itu melalui Harry. Menurut Randy hal itu bisa saja terjadi setelah Snape mengetahui kualitas lain Harry sebagai anak yang setia pada teman-temanya, penuh integritas, dan berbagai kualitas positif lainnya, selain ekspos yang berlebihan akan sosok Harry sebagai yang terpilih. Ditengah diskusi tentang Snape.. Anitha Silvia (selanjutnya kita panggil Tinta) datang bergabung, jam lambur kantornya baru saja usai rupanya. Tinta bercerita bahwa mulai membaca Harry Potter di kelas dua SMA. Saat itu dia ingat buku itu paling banyak di gilir di kelasnya meskipun pemilik bukunya cuma satu. Dan meskipun mengaku gampang lupa dan tidak begitu ingat akan detil-detilnya, Tinta merasa bahwa Harry Potter adalah salah satu novel yang sangat disukainya.
Kami kemudian membahas adanya fenomena perbandingan yang tidak relevan dan janggal antara Harry Potter dengan Lord Of The Rings. Menurut Kat buku seperti Narnia dan Golden Compass mungkin lebih tepat dijadikan sebagai pembanding. Tinta sendiri mengingat bahwa dulu dikalangan temannya yang membaca The Lord Of The Rings, membaca Harry Potter dianggap sebagai selera yang kekanakan. Menariknya di Amerika Serikat Harry Potter beredar dalam dua versi kover. Versi ilustrasi untuk anak-anak yang juga dipake untuk versi Indonesianya, sementara yang versi dewasa lebih simpel, gelap dan menggunakan pendekatan fotografi. Yang menarik bisa dipelajari dari kover Amerika versi anak-anak adalah pemakaian skema warnanya cukup mewakili isi bukunya. Buku 1,2 dan 3 yang moodnya lebih ke petualangan anak-anak ala kisah detektif yang harus memecahkan puzzle yang bertebaran, skema warna yang digunakan cenderung berwarna-warni. Sementara memasuki buku ke 4 yang mulai gelap hingga akhir, skema warna yang digunakan cenderung selaras dan monokrom.
Kembali ke karakter favorit, Tinta membuat pilihan yang tidak populer diantara dengan memilih Hary sebagai favoritnya. Dia merasa lebih dekat dengan karakter yang sengsara, namun berusaha untuk terus meningkatkan diri sembari dibantu dengan keberuntungan. Sejujurnya saya merasa pilihan Tinta itu karena dia cukup merasa terwakili personalitynya dalam karakter Harry. Randy memilih Ron versi buku yang meskipun menurut Kat sering disorot sebagai karakter tanggung karena sering di bawah bayang-bayang superioritas kakak-kakaknya dan popularitas Harry, kadang-kadang dia sering mengajukan celetukan dan gurauan yang pintar dan menohok. Ari memilih Hagrid karena dia karakter yang murni baik dan tanpa motif apapun (sontak kami langsung mengasosiasikan sifat itu dengan kecenderungan karakter Ari). Devi menganggap semua karakter menarik dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sementara Kat yang menyukai Dumbledore mendeskripsikannya sebagai karakter pemimpin yang pintar, bijaksana, namun sangat tertutup dan tidak suka menonjolkan diri (wahahaha kami sepakat setuju ini self reflecting banget). Sementara saya dengan yakin merasa karakter pilihan saya pasti juga favorit semua orang, dan memang terbukti semua mengakui ketengilan duo Fred dan Goerge memang mempesona. Siapa yang tidak merasa tergugah ketika membaca momen saat Fred & George menimbulkan kekacauan dengan petasan mereka sebelum meninggalkan Hogwarts. Kami sepakat itu momen keren yang nendang banget.
Ketika peserta Klabaca ditawari opsi untuk memperpanjang atau merubah akhir cerita Harry Potter, bermunculan permintaan ajaib untuk menghidupkan kembali tokoh-tokoh yang meninggal. Devy ingin Snape dihidupkan kembali, Kat pengen Dumbledore hidup lagi. Ari berangan-angan mantra penghilang ingatan menghapus keterikatan keturunan Harry dengan dunia sihir. Sementara Tinta memiliki fantasi seru tentang Harry dan teman-temanya yang menghabiskan liburan musim panas yang panjang di Asia, -termasuk Indonesia- dimana mereka akan berinteraksi dengan makhluk-makhluk sihir/gaib ala Indonesia. Aneh dan lucu idenya.
Satu lagi kepiawaian Rowling menurut saya adalah kemampuannya mencapai keseimbangan menulis cerita fantasi anak yang menyenangkan tanpa terjebak menjadi terlalu dangkal dan tetap kuat dalam alur dan penokohan. Di akhir cerita Rowling cukup berani mematikan karakter-karakter favorit yang dicintai semua orang seperti, Sirius, Lupin, Dumbledore, dan bahkan Fred. “Tokoh-tokoh yang menyebalkan seperti Percy malah tetep hidup ” cetus Kat. Dan kesemua karakter itu turut mengalami perkembangan seiring plot ceritanya yang semakin suram dan gelap.
Di akhir diskusi masing-masing peserta menyampaikan nilai-nilai dari buku Harry Potter yang menginspirasi mereka. Tinta merasa mendapatkan dorongan untuk menjadi berani, karena semua petualangan dan perlawanan Harry dimulai dengan keberanian terhadap apapun, bahkan itu sesimpel keberanian untuk berlari menembus tembok peron 9 3/4. “Berani dan rela berkorban!..tidak mementingkan diri sendiri..” Mbak Ary menambahkan. Belajar dari karakter Snape, Devy mencoba untuk tidak menilai orang dari impresi awal dan tampilan luarnya. Yuli yang sehari-hari bertugas di garda depan C2O mengaku menjadi bersemangat membaca buku lain semenjak membaca Harry Potter. Ari Kurniawan belajar tentang nilai-nilai persahabatan (template banget). Kat merasa banyak pesan tentang toleransi juga yang dimasukkan. Banyak isu dalam tatanan sosial dunia sihir yang membahas misalnya soal kesetaraan darah murni dengan muggle, werewolf, dan hak-hak peri rumah. Kat menambahkan meskipun Harry dijagokan, namun semua keberhasilan disana merupakan upaya kerja tim yang sangat kompleks. Pesan terakhir yang dipercaya Randy adalah menjadi baik adalah faktor bagaimana kita memilih untuk menjadi baik, bahkan hingga di saat-saat tersulit. Simpulan yang baik untuk menutup diskusi Randy. Mischief Managed!