Ritus Modernisasi: Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia
Penulis: James L. Peacock
Penerbit: Desantara, 2005
Diterjemahkan dari Rites of Modernization: Symbolic and social aspects of Indonesian proletarian drama
University of Chicago Press, 1968
Di tahun 1962-1963, James L. Peacock melakukan penelitian mengenai ludruk di Jawa Timur, terutama di Surabaya, yang kemudian diterbitkan sebagai buku Rites of Modernization: Symbolic & Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama (1968), dan baru diterbitkan versi bahasa Indonesianya di tahun 2002 oleh penerbit Desantara. Buku yang menjadi salah satu rujukan utama mengenai seni pertunjukan Jawa Timur ini mengandaikan pertunjukan ludruk sebagai suatu “ritus modernisasi”, sebuah konsep yang dikembangkan dari “Ritus Peralihan”-nya Arnold van Gennep (1960).
Menurut Peacock, ludruk membantu orang-orang menetapkan gerak peralihan mereka dari satu macam situasi ke situasi yang lain, dalam hal ini dari tradisional (seperti desa) ke modern (kota, pabrik). Gerak peralihan dari situasi-situasi tradisional ke situasi-situasi modern ini memiliki beberapa bentuk, bisa terjadi dalam: (1) kehidupan sehari-hari, (2) sekali seumur hidup, (3) ruang fisik (seperti perpindahan tempat), dan (4) pemikiran. Ludruk mencakup semua tipe peralihan tersebut, dan, menurut Peacock, “membantu semua yang terlibat di dalamnya dalam gerak peralihan semacam ini untuk memahami gerak-gerak peralihan tersebut, dan sekaligus memahami posisi mereka dalam gerak peralihan tersebut.”
Peacock mengelaborasikan tiga cara bagaimana ludruk membantu proses ritus transisi ini berlangsung:
1. Pertunjukan ludruk sebagai klasifikasi simbolik.
Ludruk membantu para partisipannya (baik pemain maupun penonton) untuk memahami gerak-gerak modernisasi dalam kerangka “klasifikasi simbolik” yang bermakna dan tegas.
Di sini, Peacock menggunakan dua skema klasifikasi. Pertama adalah skema kosmologi, yang membedakan sifat-sifat dan perilaku alus dan kasar. Ini misalnya membedakan antara bahasa Jawa kromo dengan ngoko, pertunjukan wayang dengan ludruk, ksatria yang halus dengan raksasa, gaya bicara yang halus terukur seperti biasanya diasosikan dengan orang Jawa Tengah dengan cablak nyerocos orang Jawa Timur.
Kedua adalah skema ideologi, yang membedakan modern, maju, progresif, dengan sikap kuno (konservatif) terhadap proses modernisasi. Misalnya, antara menonton bioskop dengan menonton wayang, mengenakan jeans dengan mengenakan sarung, menggunakan bahasa Indonesia (atau Inggris) dengan menggunakan bahasa daerah.
Skema alus-kasar maju-kuno ini terekspresikan dalam parikan-parikan, kidungan, cerita, percakapan dan tarian-tarian dalam ludruk. Namun di saat penelitian Peacock di tahun 1960an pun, skema maju-kuno ini sudah menggeser skema alus-kasar.
2. Pertunjukan ludruk sebagai konsep tindakan sosial.
Ludruk mendorong para partisipannya untuk menghayati secara langsung modus-modus tindakan sosial yang ada dalam proses modernisasi. Pertunjukan ludruk menghadirkan tindakan sosial dalam setiap pertunjukannya dengan “mengajak para partisipannya untuk mengidentikkan diri dengan para pemain yang sedang menjalankan tindakan-tindakan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu,” seolah-olah mereka mengalaminya sendiri hal-hal dan situasi-situasi yang sulit dicapai dalam kehidupan nyata. Ludruk kemudian juga mengarahkan para partisipan “untuk lebih menyukai peran-peran, situasi-situasi, tujuan-tujuan, atau cara-cara tertentu jika memang kehidupan nyata menyediakan pilihan-pilihan, peran, situasi dan sebagainya yang bisa dipilih oleh seseorang”, dan cara-cara yang diciptakan oleh ludruk ini “semakin menjadi tipe yang kongruen dengan proses modernisasi” (Peacock 1968: 8).
3. Pertunjukan ludruk sebagai bentuk pertunjukan
Ludruk melibatkan para partisipannya memasuki bentuk-bentuk estetika yang membentuk pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan terdalamnya dengan cara-cara yang bisa menstimulasi proses modernisasi. Menurut Peacock, bentuk pertunjukan ludruk yang cenderung tersusun secara linear, bersifat inovatif, kontinyu, dan terbangun menuju klimaks hingga akhir tujuan, mengajak partisipannya untuk terbawa dalam alur cerita secara emosional dan cenderung lebih populer. Sementara bentuk pertunjukan yang bersifat siklus (memutar), terpatah-patah, dengan bagian akhir yang tidak menunjukkan keberhasilan cenderung kurang populer.
Peacock menggunakan tiga kerangka di atas untuk melihat bagaimana pertunjukan ludruk mendorong proses modernisasi masyarakat Jawa (Timur). Ini berkaitan dengan situasi di Jawa Timur di mana solidaritas dan ritus kebersamaan serta penekanan pada tata krama Jawa yang halus mengalami penurunan, sementara mobilitas sosial, nilai-nilai penting organisasi-organisasi dan simbolisme kepemudaan, dan pernikahan berdasarkan cinta mengalami peningkatan. Ludruk mendorong kecenderungan-kecendrungan ini semua dengan jalan membantu para partisipannya agar merasa nyaman dengan semua kecenderungan baru tersebut, memahami kecenderungan-kecenderungan tersebut, dan barangkali yang paling penting, menghargai proses psikologis yang berliku-liku yang dialami oleh anak-anak mereka untuk menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan tersebut” (Peacock 1968: 11).
Struktur Pementasan Ludruk
Berbeda dengan seni pertunjukan Barat, seni pertunjukan Asia Tenggara mempunyai struktur yang telah terbangun sebelumnya. Jadi, ada pencopotan dan penataan ulang kembali dari bagian-bagian standar menjadi kombinasi yang berbeda-beda. Setiap pertunjukan ludruk merupakan sekumpulan contoh dari genre ngremo, dagelan, selingan, dan cerita tertentu. Unsur-unsur intra yang menjadi bagian dalam setiap ngremo, dagelan, cerita, atau selingan lebih saling terkait jika dibandingkan dengan hubungan inter antara ngremo, dagelan, cerita, dan selingan itu sendiri.
Sebagai contoh, setiap dagelan terdiri dari sebuah kidungan, monolog, dialog, dan kisah yang pendek dan lucu. Namun pilihan tarian ngremo, dagelan, selingan dan cerita itu bervariasi dari satu pertunjukan ke pertunjukan lain, dan isinya pun bebas dari isi elemen-elemen lainnya. Tiap kombinasi tertentu ini kemudian menjadi sebuah “pertunjukan”, dan semua kombinasi pertunjukan adalah pengelompokan kembali dari elemen-elemen dasar yang sama, layaknya pola dalam sebuah kaleidoskop. Tidak ada pola yang persis sama sepenuhnya, tapi juga tidak ada yang sepenuhnya berbeda.
Kedua, adalah perhatian yang berselang-seling. Walaupun pertunjukan ludruk secara keseluruhan maupun dalam bagian-bagian tertentu menampilkan sebuah struktur klimaks yang formal (dari musik, maupun gerak), secara umum para partisipan ludruk tidak terlalu tenggelam dalam klimaks formal secara serius dan penuh konsentrasi. Sambil menonton, pemain maupun penonton bercakap-cakap dengan orang di sampingnya, dan tidak terlalu memperhatikan adegan berikutnya (meskipun ini tidak berarti penonton tidak melakukan empati).
Ketiga, keberadaan dagelan yang khas. Dalam ludruk, adegan-adegan tragis biasanya berlangsung lucu, dan “semua tokoh cerita ludruk memiliki sifat yang agak lucu, apapun posisi sosialnya”. Tidak ada tokoh penjahat yang sangat serius, misalnya. Sementara pemain dagelan, merupakan tokoh yang oleh para penonton sangat diidentikkan sebagai “salah satu dari kami.” Pemain dagelan membelotkan norma-norma, mereduksi segala yang tinggi menjadi sesuatu yang rendah, yang kosmopolitan menjadi udik, alus menjadi kasar. Misalnya, awalnya dia berbicara dengan bahasa Indonesia yang serius, halus, kemudian tiba-tiba membelot menjadi bahasa Suroboyo yang “kasar”. Atau, dia berpura-pura menjadi polisi padahal sebenarnya dia pencuri, menjadi orang kaya padahal sebenarnya miskin. “Secara kompulsif, dengan memperlihatkan wataknya yang rendahan, pemain dagelan menjadi tak bisa dikalahkan karena tak ada orang yang bisa mereduksikan dirinya lebih rendah daripada dirinya sendiri.
Keempat, kaitan ludruk dengan ibu, istri, dan para waria. Pola matrifokal yang kuat dalam masyarakat Jawa tercerminkan pula dalam ludruk. Ada beberapa tipe perempuan yang kerap muncul dalam ludruk, yaitu: 1) ibu pahlawan, 2) istri setengah baya yang cerewet nyerocos dengan kecepatan sangat tinggi, biasanya selalu berpasangan dengan suami yang selalu mengalah, meski kadang-kadang suaminya yang mengalah pun bisa tahu-tahu menimpali balik, 3) istri yang jahat, dan 4) nyonya muda yang cantik, tipe idaman para laki-laki di kampung. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, semua tokoh perempuan biasanya diperankan oleh laki-laki atau waria, meskipun akhir-akhir ini ada juga yang diperankan oleh perempuan[1].
Tipe Kisah-kisah Ludruk (sebagai Tindakan Sosial)
Ada beberapa plot yang populer di kalangan ludruk di Surabaya di tahun 1963. Peacock membahas sepuluh di antaranya, yaitu:
Perbandingan antara plot-T dan plot-M, diadatasi dari Peacock (1994: 16), dengan koreksi versi terbalik yang dicantumkan dalam bukunya (1968: 120).
Ludruk saat ini: masihkah sebagai ritus modernisasi?
Untuk melengkapi siklus dan sejarahnya, mungkin suatu saat saya bisa menelusuri ludruk dan lingkungan sosialnya melalui tiga fase: era tigapuluhan, enampuluhan, dan sembilanpuluhan. Di era tigapuluhan, periode kolonial, di bawah bayang-bayang gedung-gedung kolonial Belanda, kehidupan orang biasa terlihat dalam koleksi lagu ludruk saat itu. Di era enampuluhan, periode revolusi (dan masa muda dan penelitian lapangan pertama saya). Di era sembilanpuluhan, dengan berkembang pesatnya Surabaya (dan saya memasuki pertengahan baya: saya kembali lagi bersama putri saya beberapa tahun lalu, dia berusia sama seperti istri saya saat itu ketika kami pertama kali ke Surabaya, tapi ketika saya membawanya ke Taman Hiburan Rakyat, teater itu telah dirubah untuk dibuat menjadi pusat perbelanjaan).
James L. Peacock, dalam wawancara dengan Héléne Bouvier (1994: 15)
Kajian Peacock Ritus Modernisasi di atas dibuat berdasarkan pada penelitian lapangannya dalam rentang tahun 1962 dan 1963, saat Partai Komunis Indonesia mencapai puncak kejayaannya sebagai partai komunis terbesar di Asia di luar Cina. Ludruk merupakan salah satu kesenian rakyat yang erat hubungannya dengan Lekra. Di Surabaya saat itu, 26 dari 27 distrik pusat ludruk berada di bawah kontrol PKI. Namun menyusul jatuhnya PKI di tahun 1965, ludruk mengalami nasib yang mirip dengan “kesenian rakyat” lainnya[2] yang diasosiasikan dengan PKI atau Lekra. Beberapa pemain ludruk dibunuh atau dipenjara, dan grup-grup ludruk yang eksis dibubarkan. Grup-grup baru kemudian dibentuk di bawah pengawasan dan kontrol militer.
Selain itu, berkembangnya berbagai bentuk hiburan dan tontonan lainnya seperti televisi, internet, dan lain-lain membuat ludruk dan fungsi ritus modernisasinya makin terdesak. Di bukunya Peacock (1968) mencatat ada enam rombongan ludruk, berganti-ganti bermain di lima teater komersial yang ada yaitu PBRI, Banguredja, teater Taman Hiburan Rakyat, Pasar Sore dan Wonokromo.
Saat ini, di Surabaya hanya ada satu grup ludruk, yaitu Irama Budaya yang didirikan di tahun 1989 (Lathif 2009). Irama Budaya tahun lalu baru saja berpindah dari lokasi mereka di Wonokromo ke THR. Selain Irama Budaya, kelompok ludruk lainnya biasanya berasal dari luar kota. Salah satu yang terkenal adalah Karya Budaya dari Mojokerto pimpinan Cak Edy Karya dan kelompok-kelompok ludruk tobong dari Jawa Timur yang terkadang mengadakan pentas di Surabaya.
Kebanyakan partisipan ludruk, mulai dari aktor, sutradara, manajer, rombongan, penulis cerita, penonton, adalah orang Jawa, terutama “masyarakat Jawa kelas bawah yang abangan”. Kebanyakan santri menganggap ludruk sebagai hiburan yang haram karena melanggar ketentuan Islam dengan keberadaan pemain waria. Peacock mengatakan bahwa dia tidak pernah berjumpa dengan seorang aktor ataupun penonton ludruk yang memiliki pekerjaan yang bisa menempatkannya ke dalam strata kelas atas, meskipun ada beberapa di antaranya memiliki pekerjaan pedagang kelas “menengah”. Hampir semua partisipan ludruk harus bekerja di bidang lain selain bermain ludruk karena penghasilan dari bermain ludruk tidak mencukupi. Selain itu, tulisnya, tidak ada aktor (atau sutradara) ludruk yang lulus SMP.
Ini tampaknya sedikit berbeda sekarang. Ludruk Karya Budaya dari Mojokerto, yang berdiri di tahun 1969, dipimpin oleh H. Drs. Eko Edy Susanto, M. Si, atau lebih dikenal dengan Cak Edy Karya. Beliau juga menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (Abdullah 2011). Berdasarkan informasi beliau tahun lalu saat saya menonton ludruk, salah satu pemain ludruk sedang menyelesaikan kuliah S1 jurusan antropologi di Universitas Airlangga.
Brandon dalam bukunya Theatres in Southeast Asia (1967: 154-167) menjabarkan bagaimana negara-negara Asia Tenggara memang cenderung sulit melakukan sistemasi proses transmisi pengetahuan, yang pada akhirnya juga menyulitkan proses regenerasi pewaris aktif (active bearers). Tidak ada ‘biro standardisasi’, dan pewarisan pengetahuan kebanyakan dilakukan secara lisan, dari generasi ke generasi. Meskipun kita mempunyai banyak teks keramat, teks ini hanya terbatas pada segelintir orang tertentu saja. Kebanyakan bentuk teater, tidak mempunyai teks panduan, dan pentas dilakukan dengan mengikuti wewaton (dasar pertunjukan), paugeran (aturan pertunjukan) dan pakem (bakuan pertunjukan) yang biasanya harus dipelajari secara personal melalui proses pembelajaran yang lama dengan para pewaris-pewaris aktif.
Para pemimpin kelompok teater biasanya membuat sendiri ‘buku panduan’ masing-masing (jika mereka membuatnya), dari potongan dialog, skenario, lagu, puisi terkenal, dan potongan-potongan materi lainnya. Ini berbeda dengan praktik Barat yang banyak menekankan pada naskah drama sebagai basis produksi drama. Meskipun ada pengajar-pengajar terkenal yang memiliki buku panduan-panduan yang bagus, kebanyakan pelaku dalam teater-teater kecil mempelajari secara lisan melalui proses yang lama. Kalaupun ada usaha membuat publikasi mengenai budaya lokal, bisanya ini kemudian terbatas pada kalangan akademisi (kalau tidak orang asing), bukan pada pelaku teaternya sendiri atau masyarakat lokal.
Sejujurnya, saya sendiri menjadi tertarik dengan ludruk gara-gara membaca buku ini. Sebelumnya, meskipun saya lahir dan besar di Surabaya, saya hanya sekedar tahu namanya saja, tidak tahu menontonnya di mana. Membaca buku yang ditulis dan diterjemahkan dengan baik ini, setidaknya bisa mengisi banyak informasi sebelum kita berkesempatan menonton ludruk.
Catatan: tulisan ini saya adaptasi dari tugas kuliah saya. Versi aslinya jauh lebih panjang, jadi mungkin membosankan, dan sedikit patchy. Tapi jika penasaran, bisa diunduh di sini.
Foto oleh Erlin Goentoro (http://chimpchomp.us), dari pertunjukan ludruk Karya Budaya, 17 Oktober 2010. Lengkapnya bisa dilihat di: https://picasaweb.google.com/egoentoro/Ludruk17102010#
[2] Antara lain ronggeng (lihat Tohari 2003) dan reog (Kadir 2007: 91-103).