Hutang, uang, dan kehidupan

Tape goreng, keripik jagung, teh, dan aroma kopi Blitar menemani pembicaraan selepas sore di C2O. Berawal dari bedah buku, diskusi tersebut menjadi pembahasan sistem kredit global. Foto: Anitha Silvia

Pembahasan dimulai dari sebuah ulasan buku Debt: the first 5,000 years karya David Graeber. Bintang C. Putra, seorang mahasiswa desain produk dari ITS, dan penggagas Orange House Studio, tak sengaja menemukan buku ini di Periplus di tengah pencariannya memahami situasi ekonomi saat ini. Merasa bahwa pembahasan dalam buku ini sangat relevan dengan situasi zaman sekarang, maka diadakanlah acara diskusi ini, menghadirkan pula Bayu Sugita, mahasiswa antropologi Unair. Diskusi itu rupanya mengumpulkan orang-orang dari beragam profesi yang tertarik pada minat yang sama. Seorang musisi, pustakawan, traveller, investor, dosen, pelaku UKM, hingga sukarelawan guru bahasa Inggris dari Peace Corps, Amerika, duduk bersama mengobrolkan krisis kredit, dan persepsi kita selama ini terhadap uang dan hutang. Apakah nilai dari kredit itu? Bagaimana dunia ini dikendalikan oleh jaringan kredit?

Tak seperti pelajaran ekonomi yang diajarkan di sekolah, pengenalan manusia akan uang sebenarnya dimulai dari kredit, kemudian beralih ke alat tukar uang, hingga sistem barter. Sistem penukaran barang dengan nilai yang sama tersebut sebenarnya diperuntukkan untuk transaksi antar musuh, atau antar orang asing, dengan siapa kita tidak berniat untuk menjalin relasi.

Untuk kelompok rakyat yang saling percaya, mereka menggunakan sistem pemberian ‘take and give’, mirip kredit, antar orang-orang yang saling mengenal. Pemberian ini berfungsi menjadi penjalinan hubungan sosial—siapa yang memberi akan menerima sesuatu sebagai pembalasan. Ketika kita memberi “bowo” pada pernikahan teman, teman kita akan mencatat jumlah bowo tersebut, dan akan membalas membawa hadiah yang seimbang di saat lain. Ketika kita kehabisan gula, kita meminta pada tetangga, dan kemudian kita membagi kopi kita ketika ia berkunjung. Mungkin karena itu juga, ada gurauan bahwa orang yang tidak berhutang, akan kesepian—dengan tidak berhutang, dia tidak menjalin hubungan sosial.

Pembahas malam itu, Bintang C. Putra dan Bayu Sugita. Foto: Anitha Silvia

Dari sistem kredit sederhana, dunia akhirnya mengadopsi dua sistem ekonomi utama. Pertama adalah gold standard system. Terkait dengan kredit, sistem ini mengharuskan bank, sebagai penyalur kredit, memastikan adanya uang sebelum memberikan kredit kepada nasabah. Bila tidak ada persediaan uang di bank maka bank tidak bisa menyalurkan kredit. Sistem ini berjalan selama beberapa waktu hingga pemerintahan Presiden Nixon (1913-1994). Ia mengganti gold standard system menjadi Fiat.

Dengan sistem FIAT, kredit untuk nasabah semakin dipermudah. Bank tidak perlu memastikan adanya simpanan dana, kredit bisa diberikan agar sirkulasi keuangan tetap berjalan. Setiap kali bank memberikan kredit, bank mengasumsikan selalu ada dana. Dari sinilah uang imajiner muncul. Untuk setiap kredit yang keluar, bank memberikan riba yang semakin lama semakin tinggi. Salah seorang peserta diskusi kemudian memberikan contoh kasus nyata. Seorang temannya, penyalur kredit, memberikan pinjaman Rp 18 juta untuk usaha. Pada akhirnya, si peminjam tidak bisa mengembalikan pinjaman primer tersebut hingga total uang yang harus dibayarkan sebesar Rp 200 juta!

Kemudahan akan kredit membuat orang-orang tidak lagi fokus pada kebutuhan, dan kapasitas membayar kembali. Mengutip kata Daniel M. Rosyid (dosen dari ITS) , ekonomi kita bukan lagi ekonomi kebutuhan melainkan ekonomi keinginan. Konsumsi tersebut membuat masyarakat semakin bergantung pada kredit. Jika dulu kita harus memegang fisik uang untuk membayar konsumsi, kini uang tengah digantikan dengan benda lain seperti kartu kredit. Kita tidak lagi melihat uang, kita hanya melihat deretan angka digital, entah di buku bank maupun layar. Ketergantungan ini bisa berakibat fatal, seperti yang terjadi pada Amerika tahun 2008 silam. Pada akhirnya uang yang sebenarnya merupakan alat tukar, menjadi komoditas itu sendiri—masyarakat bukan lagi berusaha membeli barang dengan uang, melainkan membeli uang dengan uang.

Kredit tidak lagi menjadi masalah mikro tetapi juga masalah makro. Negara-negara mengandalkan kredit untuk membangun infrastruktur, mulai dari negara-negara dunia ketiga yang tengah mengembangkan diri, hingga negara-negara maju—Amerika adalah negara dengan jumlah hutang terbesar di dunia. Nah, permasalahannya di sini adalah relasi kekuasaan dan kekerasan yang tidak seimbang: hutang-hutang negara ketiga dipermasalahkan dan wajib dibayar, sebagai suatu obligasi hukum. Tapi tidak ada pembahasan mengenai hutang negara-negara maju. Di sini, setidaknya asumsi netralitas  “hutang harus dibayar” itu perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan relasi kekuasaan yang berlaku. “Bantuan” dalam bentuk hutang dapat dengan mudah menjadi pengikat yang menghancurkan.

Kemudian, satu pertanyaan lagi adalah, bila semua negara memiliki hutang, ke manakah mereka membayarkan hutang tersebut? Kekuasaan kredit ada di tangan bank—tapi siapa yang meregulasi dan menguasai bank ini? Tidak ada yang tahu. Sistem FIAT membuat bank memegang kendali penuh atas uang, termasuk atas uang imajiner yang dianggap beredar di tengah masyarakat. Bank-bank sentral dan lembaga keuangan seperti IMF, mampu mengatur sirkulasi keuangan dunia, tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan manapun.

Pemahaman akan masalah bermuara pada pencarian solusi. Berbagai solusi dilontarkan oleh peserta diskusi, baik yang ditulis David Graeber maupun gagasan lokal yang tengah berkembang di masyarakat. Solusi pertama muncul dari adanya kongsi-kongsi atau pemilik modal yang mampu memberikan kredit. Berbeda dengan bank, kelompok ini memberikan bunga rendah atau bahkan tanpa bunga sekalipun. Resiko solusi ini pun tinggi; kemungkinan peminjam pailit pasti ada. Alternatif berikutnya muncul dari Matt Borden, sukarelawan Peace Corps. Ia mengatakan ada beberapa daerah lokal di Amerika yang memiliki mata uang mereka sendiri agar terhindar dari ketergantungan terhadap dolar. Namun daerah tersebut pun mengalami kesulitan karena mereka tetap harus menggunakan dolar untuk bertransaksi dengan daerah atau negara lain. Hal serupa dapat kita lihat pula pada masyarakat Samin di Jawa, yang awalnya menolak menggunakan mata uang luar, tapi sekarang pun mulai terdesak karena ada keperluan berinteraksi dengan masyarakat luar.

Bayu menguraikan bagaimana beberapa daerah di Jawa Timur—dan banyak daerah lainnya—masih membudayakan jimpitan atau sambatan. Uang urunan bersama digunakan untuk membangun wilayah tempat mereka tinggal atau untuk kegiatan sosial. Namun sistem seperti ini rasa-rasanya tak bisa membantu memenuhi kebutuhan tersier masing-masing warga.

Seniman musik Slamet A. Sjukur berusaha menyimpulkan diskusi selama dua jam tersebut. “Dari tadi kita berusaha menemukan solusi, tapi sebenarnya setiap solusi selalu menimbulkan masalah baru,” ujarnya yang disambut gelak tawa peserta diskusi. Akhirnya dicapai sebuah pemahaman bahwa tidak ada solusi yang betul-betul sempurna untuk mengatasi sistem tersebut, tapi yang penting adalah kita dapat menyikapi secara kritis berbagai solusi-solusi tersebut. Inilah guna diadakannya diskusi-diskusi seperti ini—untuk memperkaya pemahaman kita mengenai berbagai situasi di sekitar kita, dan kaitannya dengan situasi yang lebih besar. Sebuah kalimat logis keluar dari pembahas buku Debt: “Manusialah yang harus mengatur ekonomi, bukan diatur oleh ekonomi,” tandas Bintang.

Email | Website | More by »

Research assistant di Lia Associates, memiliki visi untuk menjadi penulis budaya, memahami kultur lokal dan membaginya dalam tulisan.

Leave a Reply