Pameran Claynialism Tahun Tanah
☞ 16 Januari – 6 Februari 2016
Pembukaan: Sabtu, 16 Januari 2016, pk. 18.30
C2O library & collabtive, Jl. Dr. Cipto 22, Surabaya
Seni dan desain sebagai negosiasi antara fiksi, mimpi, cita-cita, realita, dan kehidupan sehari-hari
Hal-hal yang rasanya kurang masuk akal berikut ini adalah premis dasar kekaryaan Alghorie: Membuat fiksi menjadi nyata, mengaburkan batas antara spekulasi dan negosiasi, mengacaukan jarak antara realita dan utopia. Sementara pada waktu yang bersamaan banyak orang masih kesulitan membedakan apakah JaF ini kolektif seniman atau semacam LSM berisi aktivis, Pak Camat Jatiwangi sekarang ini (baru menjabat selama tiga bulan) menyikapi Jatiwangi art Factory sebagai konsultan resmi kecamatan untuk pengembangan wilayah. Saya pikir ini sangat lucu. Bahkan jauh lebih lucu daripada komedi gelap kehidupan ala lagu pop masa kini yang kalimatnya rumit-rumit, macam: ‘Aku ingin kau merasa kamu mengerti aku mengerti kamu…’ atau ‘Duhai korban keganasan peliknya kehidupan urban’…
Dalam kajian desain terkini, teori kritis kerap digunakan sebagai landasan perancangan. Praktik perancangan macam ini menggunakan fiksi dan spekulasi untuk menantang konsep dan peran obyek dalam kehidupan sehari-hari. Kritik terkini terhadap praktik sejenis menyebutnya sebagai ‘skenario distopia’. Logo ke-16 desa dan juga turunannya untuk kemasan produk buatan penduduk setempat bukan sekadar fiksi atau spekulasi Alghorie. Kesemua rancangan grafis ini telah diserahkan kepada aparat desa—dengan sepengetahuan pihak kecamatan—dan juga kepada para penduduk yang membuat usaha tertentu di setiap desa. Sebagian dari mereka telah benar-benar menggunakannya.
Didukung oleh:
C2O Library, Jatiwangi art Factory, JaF Production, Jebor Meghan Karya, Jebor Rai Karya, Kecamatan Jatiwangi dan ke-16 desanya, Atelier NL, Baltan Laboratories, Age of Wonderland, Lastand (Made in Indonesia), Hyperallergix (Surabaya), Julian Abraham ‘Togar’ (Medan)
#Claynialism aimed to use the humble and readily available clay found in the soil of his home town to realize nutritious and delicious food products. Together with designer Lonny van Ryswick and artist Masha Ru, Arie experimented with various types of edible clay and classified them according to their taste and material qualities. The goal was to explore clay as both a cooking ingredient and a material that can be used to make objects that can be eaten instead of being discarded. They made tea cup. You can pour liquid inside it and when you’re done, you simply eat the clay cup. The project also aimed to give the clay some dignity. By making us eat something we associate with dirt, the artist invites us to (re)connect with our soils.” — Régine Debatty (We Make Money Not Art)
Pameran ini merupakan bagian dari rangkaian perhelatan, peristiwa, residensi, pameran, diskusi, dan program yang dikandung oleh kurator Grace Samboh bersama kolektif Jatiwangi art Factory. Telah dipamerkan di Dutch Design Week 2015. Jangan lewatkan debut pamerannya, jumpa seniman dan kuratornya di Surabaya.