Sinema Intensif mempersembahkan
Sepanjang Jalan Film Pendek Indonesia
Kamis, 23 Maret 2017
C2O Library & collabtive
Jl. Dr. Cipto No.22 Surabaya
HTM di pintu masuk: Rp. 10.000/sesi
Pemutaran perdana di tahun 2017 ini merupakan perayaan atas Bulan Film Nasional dengan suguhan program retrospeksi perjalanan film pendek di Indonesia, merujuk pada tahun produksi, kecenderungan tema dan bentuk, dsb. Tentu tidak semua film pendek Indonesia akan disajikan, namun sejumlah film yang akan diputar dirasa cukup merepresentasikan berbagai corak pada tiap konteks waktu tertentu.
Sesi 1 (masa produksi setelah tahun 2000): pk. 15.00 – 17.30
Pigura (Darti & Yasin, 2010)
Indonesia Bukan Negara Islam (Jason Iskandar, 2009)
Ketok ( Tintin Wulia, 2003)
El Meler (Denis Adishwara, 2002)
Sesi 2 (masa produksi sebelum tahun 2000): pk. 18.30 – 21.00
Happy Ending (Harry Suharyadi, 1995)
Sonata Kampung Bata (Riri Riza, 1992)
Lelaki Tua (Handrata R Saputra, 1991)
Tiket bisa didapatkan on the spot seharga IDR 10K/sesi
Narahubung:
Dewi 081 335 117 732
Informasi film
Sesi 1 (masa produksi setelah 2000)
Pigura (2010)
Dir. Darti & Yasin
Film ini dibuat oleh Darti dan Yasin, yang pada saat itu masih duduk di bangku SMP Negeri 4 Satu Atap Karangmoncol Purbalingga. Bercerita tentang seorang siswi SMP yang sangat rindu terhadap ayahnya yang bekerja sebagai TKI di luar negeri, film ini, baik dalam hal cerita pun cara tutur, terasa sangat jujur. Pigura menjadi semacam penanda bahwa film, lebih khusus film pendek, sebagai medium bercerita kini telah akrab dengan banyak kalangan, yang kemudian memunculkan ciri sinematik tersendiri. Jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang cenderung eksklusif. Film Pigura pernah mendapatkan penghargaan sebagai Film Fiksi Pendek Indonesia Terbaik Kategori Pelajar di Festival Film Solo 2011 dan Penghargaan Khusus di FFI 2010.
Indonesia Bukan Negara Islam (2009)
Dir. Jason Iskandar
Film dokumenter yang berisi kolase foto-foto hitam-putih ini dibuat oleh Jason Iskandar sewaktu Ia masih duduk di bangku SMA. Bercerita tentang dua orang siswa Muslim yang bersekolah di sekolah Katholik. Mereka berpendapat tentang Indonesia dan Islam sebagai agama mayoritas. Di tengah ramainya isu tentang intoleransi dalam hal beragama, menonton film ini menjadi sentilan tersendiri melalui sajian sudut pandang yang cukup di luar dugaan. Film Indonesia Bukan Negara Islam pernah meraih penghargaan sebagai Film Dokumenter Terbaik di Festival Film Pendek Pelajar 2009 dan Film Dokumenter Terbaik Kategori Pelajar di Festival Film Dokumenter 2009.
Ketok (2003)
Dir. Tintin Wulia
Tintin Wulia adalah pembuat film kelahiran Denpasar, 1972, yang kemudian tertarik masuk ke dalam wilayah seni visual dan mengolah sebentuk narasi ke dalam bentuk visual yang eksperimental. Di antara pembuat film pendek generasi 2000-an, Tintin Wulia adalah salah seorang yang percaya bahwa film pendek adalah sebuah karya yang perlu ditekuni dengan sungguh-sungguh secara tersendiri, dan bukan sebagai jalan masuk atau batu loncatan untuk membuat film panjang. Dalam film Ketok, Tintin memanfaatkan rekaman wawancara bersama dua orang keluarganya dalam bentuk audio sebagai bahan utama narasi dalam film. Suasana horor mencekam yang muncul, selain sebagai bentuk dramatisasi yang mengecoh, juga seeolah memang sengaja hadir sebagai bentuk permainan atas rezim tertentu di masa lalu.
El Meler (2002)
Dir. Dennis Adhiswara
Film ini merupakan karya awal Dennis Adhiswara, yang pertama kali terkenal di kalangan anak-anak sekolah yang gemar membuat film pendek di akhir dekade 1990-an berkat perannya di film Sudah Sore, Sebentar Lagi Jam 5, Cepat Datang! (1998)—film pemenang festival film independen yang diselenggarakan oleh Yayasan Konfiden—dan selanjutnya terkenal sebagai Mamet di film Ada Apa dengan Cinta. El Meler merupakan sebuah penanda penting dari generasi pembuat film Indonesia yang pada awal 2000-an sedang dilanda semangat gerilya dan termakan kampanye “membuat film itu gampang” semata untuk demitologisasi situasi perfilman Indonesia yang ketika itu memang sedang “vakum”.
Sesi 2 (masa produksi sebelum 2000)
Happy Ending (1995)
Dir. Harry Suharyadi
Film pendek pertama Harry Suharyadi yang jeli memainkan metafor akan penggunaan media terhadap perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Film ini mengangkat nama Harry Suharyadi di berbagai festival film pendek internasional termasuk di Toronto, Singapore, Palm Springs, Tampere dan menerima piala sebagai The Outstanding Short Film dari Busan International Film Festival, yang pertama di Korea Selatan Festival Film Internasional tahun 1996.
Sonata Kampung Bata (1992)
Dir. Riri Riza
Sonata Kampung Bata adalah proyek film perdana dari Riri Riza setamatnya dari IKJ. Film pendek ini merespon “Pembangunan” ala Orde Baru yang bopeng. Pembangunan dan angkuhnya cita-cita untuk mengejar modernitas adalah komedi putar ; ia berputar, bergerak, tapi tak beranjak. Film ini menerima penghargaan juara tiga pada tahun 1994 di festival film eksperimental kelas dunia ; Oberhausen, Jerman.
Lelaki Tua (1991)
Dir. Hanny R. Saputra
Sebelum Hanny R. Saputra terkenal sebagai sutradara dari film populer macam Virgin : Ketika Keperawanan Dipertanyakan (2004), dan Heart (2006), ia menggarap film eksperimental. Salah satu film eksperimental Hanny yang menjadi perhatian di awal bangkitnya film pendek di Indonesia adalah Lelaki Tua. Ia juga sempat membuat film dokumenter tentang HB Jassin, seorang sastrawan terkemuka di Indonesia.