Novel pertama Okky Madasari ini menggunakan entrok, atau pakaian dalam (bra, kutang) yang banyak dikenakan perempuan jaman dulu, sebagai pintu masuk untuk menggambarkan berbagai kerumitan yang membelit kita, terutama perempuan. Tokoh utamanya adalah ibu dan anak perempuannya. Ibunya, Sumarni, masih melakukan pemujaan leluhur, membuat sesajen— kepercayaan yang biasa disebut animisme sinkretisme; ia tumbuh besar di lingkungan keluarga miskin di mana ibunya bekerja sebagai pengupas singkong—yang dibayar hanya dengan sekarung singkong (duh!). Terpesona melihat perempuan sebayanya tampil menarik ketika menggunakan entrok, Sumarni bekerja keras untuk bisa membelinya, dari mengupas singkong hingga kuli angkut, hingga akhirnya menjadi rentenir yang kaya.
Namun kerjanya ini juga mengundang berbagai cemooh dan omongan miring terhadapnya sebagai “lintah darat”, disertai kecurigaan-kecurigaan seperti: sesajennya mungkin persekutuan dengan makhluk halus, jangan-jangan ia memelihara tuyul, dan sebagainya. Sementara anaknya, Rahayu, tumbuh sebagai perempuan yang melalui pendidikan formal lebih tinggi, dan taat dalam menjalankan ibadah agamanya. Pertentangan dan perbedaan generasi pun terjadi.
Cocok dibaca selagi mudik dan bersiap menghadapi realita di rumah—yang mungkin jauh berbeda dari harapan hasil pendidikan dan pengalaman yang kita lalui di luar.
Entrok (Okky Madasari, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010)
Tersedia di perpustakaan C2O. Diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai The Year of the Voiceless.