“Pada akhir September 1961, Mohammad Natsir berjongkok di lereng bukit di pedalaman Sumatra ditemani oleh kurang dari sepuluh pengikut. Pria yang satu dasawarsa sebelumnya pernah menjabat sebagai perdana menteri Indonesia dan ketua partai politik terbesar [Masyumi] ini tahu bahwa semua pilihannya telah habis sekarang. Dia baru saja mengetahui bahwa teman lamanya, Dahlan Djambek, komandan militer terakhir yang sebelumnya terus melindunginya, telah tewas — ditembak pada tanggal 13 September di sebuah desa saat dia bersiap untuk ditangkap oleh pasukan pemerintah. . . . Bagaimana ceritanya seseorang yang pada tahun 1940-an dan 1950-an dianggap sebagai salah satu pemikir dan politisi Muslim paling berwawasan luas dan pro-Barat, empat puluh tahun kemudian dilihat sebagai tokoh konservatif pemimpin faksi Islam yang paling kaku dan sempit?”
Ini adalah pembuka Audrey Kahin untuk biografi Natsir yang cukup singkat, seru dan padat. Buku ini menggambarkan perjalanan hidup seorang tokoh revolusi yang penuh paradoks, kontradiksi, tapi juga ketulusan—dalam upayanya menyelaraskan kepercayaannya yang mendalam terhadap Islam, serta terhadap kemerdekaan nasional dan demokrasi. Biografi yang mememberi terabasan sudut pandang personal untuk mempelajari kompleksitas sejarah politik Indonesia yang jauh dari hitam putih. Sangat berguna untuk memberi dimensi sejarah dalam melihat dan memahami situasi sekarang.
Audrey Kahin, Islam, Nationalism and Democracy: A Political Biography of Mohammad Natsir (Singapore: NUS Press, 2012)
Tersedia di perpustakaan C2O, dapat dipinjam setelah menjadi anggota. Dapat juga dibeli dari NUS Press, Singapura.