Catatan dari C2O: Artikel ini ditulis sebagai materi pemutaran & diskusi film Hannah Arendt: Banalitas Kejahatan, yang akan dilangsungkan di C2O pada hari Sabtu, 14 Juni 14.00 – 18.30. Jika berminat bergabung, silakan mendaftar di sini. Simak juga rekomendasi bacaan & tontonan lainnya dari C2O untuk menemani diskusi
Pada sebuah malam di pengujung musim gugur, sekelompok anggota Mossad menciduk seorang laki-laki di Buenos Aires, Argentina. Para anggota intel menyorongkan laki-laki itu begitu saja ke dalam bak truk. Rafael Eitan, petinggi Mossad yang kelak menjadi politisi berpengaruh di Israel, adalah arsitek penangkapan pada malam 11 Mei 1960 yang dingin itu.
Orang yang diciduk malam itu bukan laki-laki paruh baya biasa yang pulang dari pulperia untuk sekadar beli minuman penghangat badan, tetapi ia adalah Adolf Eichmann, perwira Nazi Biro IV-B-4 divisi Gestapo yang bertanggung jawab penuh atas deportasi orang-orang Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi yang tersebar di wilayah kekuasaan Nazi. Setelah ditangkap di Argentina, Eichmann bakal dihadapkan ke muka pengadilan di Yerusalem.
Warta penangkapan dan rencana persidangan Eichmann sampai kepada Hannah Arendt, penyintas holocaust sekaligus filsuf politik termasyhur di abad keduapuluh. Arendt lantas menggunakan reputasinya dengan melayangkan permintaan kepada William Shawn, kepala redaksi The New Yorker, untuk meliput persidangan Eichmann. Permintaan Arendt disetujui Shawn, dan ia terbang dari New York menuju Yerusalem untuk meliput persidangan Eichmann mulai 11 April 1961 sampai 14 Agustus 1961. Kesempatan meliput proses persidangan Eichmann ini yang nantinya dituangkan Arendt dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil sekaligus menjadi jangkar cerita film biopik Hannah Arendt (2012) garapan Margarethe von Trotta.

Eichmann in Jerusalem (1963) agaknya mendapat respon yang berbeda dibanding karya Arendt yang lain seperti The Origin of Totalitarianism (1951), The Human Conditions (1958), On Revolution (1963), serta On Violence (1970). Jika karya-karyanya yang lain dianggap memiliki kontribusi yang sangat besar, terutama dalam perspektif filsafat Barat—terkait dengan konsep fenomenologi, kekuasaan, kondisi fundamental manusia, kebebasan kolektif, dan gerakan sosial politik—maka Eichmann in Jerusalem dianggap terlalu kontroversial karena memicu perdebatan sengit, terutama di kalangan Yahudi. Sebabnya adalah bagaimana mungkin sosok penyintas yang pernah ditahan di kamp konsentrasi seperti Arendt bersimpati terhadap petinggi Nazi macam Eichmann, sementara di saat yang sama ia justru melayangkan kritik tajam kepada beberapa pemimpin Yahudi selama holocaust.
Tuduhan simpati Arendt kepada Eichmann dinisbatkan pada konsep “banalitas kejahatan” (banality of evil), yaitu situasi ketika pelaku tindak kejahatan tidak menyadari dirinya sebagai “yang-jahat”. Kejahatan itu dianggap si pelaku sebagai aktivitas yang “wajar-wajar” saja. Si pelaku kejahatan tidak memiliki pikiran jahat apalagi kejam, tapi hanya mengikuti sistem atau tugas tertentu yang menyebabkan ia aktif terlibat pada sebuah kejahatan brutal yang bahkan tidak bisa dinalar.
Memintal prasangka lewat persidangan Eichmann
Bagi sisa-sisa kekuatan arus utama pasca Perang Dunia seperti Amerika, Uni Soviet, Britania Raya, dan Prancis, hal ihwal Nazi Jerman dianggap sudah tuntas dengan diselenggarakannya Sidang Nürnberg (20 November 1945 – 1 Oktober 1946). Sidang Nürnberg bertujuan untuk mengumpulkan bukti-bukti tak terbantahkan atas agresi militer, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Nazi, serta menghukum dan mengadili pejabat-pejabat penting maupun rendahan Nazi.
Pasca berakhirnya Perang Dunia II, isu soal holocaust memudar seiring dengan meningkatnya tensi Perang Dingin. Israel sendirian memburu orang-orang Nazi yang masih lolos dari Sidang Nürnberg dan seenaknya melanjutkan hidup. Ditangkapnya Eichmann, yang dilanjutkan dengan persidangan terbuka, hingga pengumuman eksekusinya, adalah semacam peringatan sekaligus “pelajaran bagi seluruh dunia” akan peristiwa holocaust yang lamat-lamat mulai dilupakan.

Arendt yang berangkat ke Yerusalem untuk meliput langsung persidangan Eichmann sama sekali tak menyangka bahwa wajah laki-laki yang melakukan kejahatan brutal terhadap kemanusiaan selama Perang Dunia itu tampak seperti manusia layu pada umumnya; wajahnya sayu, garis matanya turun, bibir yang nyaris mengatup rapat tiap waktu, dan dagunya melorot malu-malu. Bahasa sehari-hari yang ia gunakan payah dan kaku. Tak ada satu pun penanda yang mengesankan kejahatan di wajahnya.
Sementara di pengadilan, terutama jaksa-jaksa penuntut menggambarkan Eichmann sebagai seorang maniak keji dan biadab dengan perangai kejam yang dipenuhi kebencian kepada Yahudi. Pada titik ini, Arendt menganggap persidangan Eichmann hanya sebatas “show trial” untuk mendemonisasi individu, “orang-orang biasa” yang semata mengikuti sistem dan peraturan belaka. Tanpa ada upaya untuk menelisik galatnya sebuah sistem atau ideologi yang membuat “orang-orang biasa” itu menjelma menjadi mesin pembunuh yang meminjam wajah manusia.


“Kecuali ketekunannya yang luar biasa dalam mencari keuntungan pribadi (untuk naik jabatan), dia tidak punya motif sama sekali. Dan ketekunan ini sama sekali bukan tindakan kriminal; dia pasti tidak pernah punya niatan untuk membunuh atasannya guna mewarisi jabatannya. Dia hanya, tidak pernah menyadari apa yang sedang dia lakukan,” catat Arendt.
Arendt menebali argumennya lewat kenyataan bahwa Eichmann adalah seorang perwira militer, yang mana dalam konteks kemiliteran, sikap patuh adalah keutamaan. Sebagai perwira militer yang baik, Eichmann hanyalah orang yang patuh dan normatif. Dalam laporan pandangan mata Arendt, Eichmann sebatas orang yang betul-betul tidak menyadari dampak kepatuhannya telah menjelma menjadi kejahatan yang begitu keji. “Eichmann bukanlah Iago dan bukan pula Macbeth—bukan penjahat yang melakukan kejahatan karena sifat jahatnya,” tegas Arendt.

Satu-satunya penyokong kejahatan Eichmann, menurut Arendt, adalah ketidakmampuannya untuk berpikir. Dengan tidak berpikir, Eichmann luput bahwa tindakannya hanya akan membawanya ke dalam lubang kengerian tak terpermanai akibat kejahatan demi kejahatan yang tak pernah ia sadari. Untuk menjadi penjahat yang melakukan kejahatan tiada banding hanya dibutuhkan ketidakmampuan untuk berpikir.
Hagiografi atas “diri-yang-berpikir”


Berpijak pada perjalanan dan kesaksian Arendt dalam sebuah “illegal grand trial” (Heinrich Blücher, suami Hannah Arendt menyebut proses pengadilan Eichmann sedari awal sudah cacat hukum), baik Eichmann in Jerusalem maupun film Hannah Arendt (Margarethe von Trotta, 2012) menjadi jembatan kita untuk mengetahui hubungan yang pelik nan rumit antara peristiwa holocaust, pelaku, penyintas, serta sudut pandang orang-orang Eropa-Amerika atas peristiwa tersebut. Periode ini pula yang menuntun kita dalam menelaah bagaimana Hannah Arendt menyulih kesan-kesannya atas Eichmann serta proses peradilannya menjadi sebuah karya yang sering dianggit oleh para sarjana dan intelektual.
Terbitnya Eichmann in Jerusalem pada 1963 memantik kontroversi sengit, sehingga keberadaannya tak lagi hanya sebatas sebuah karya yang perlu dibaca, dipahami, dan didiskusikan; tapi lebih kepada sesuatu yang harus dicerca atau dibela. Ketika sutradara Jerman, Margarethe von Trotta, mencoba membuat biopik Hannah Arendt yang fokus pada periode kesaksiannya dalam persidangan Eichmann dan proses penulisan Eichmann in Jerusalem, tampak seperti upaya yang kesekian kalinya, terutama dari pihak Jerman—yang kerap merasa paling bertanggung jawab atas periode gelap dalam sejarah umat manusia itu—untuk menjernihkan hiperbola dan syak wasangka atas Hannah Arendt beserta karyanya.



Upaya itu sepertinya berhasil dengan menyertakan catatan dan kritik di mana-mana. Barbara Sukowa memerankan Hannah Arendt dengan penuh intensitas. Von Trotta juga konsisten pada titik pijak argumen Arendt bahwa kejahatan pada masyarakat modern pasca Perang Dunia bukan lahir dari kegagalan untuk berbuat baik, tapi lebih disebabkan ketidakmampuan dalam berpikir; bahwa kejahatan paling mengerikan dalam sejarah manusia dilakukan bukan oleh sosiopat, tetapi oleh seorang culun yang tidak mampu berpikir. Inilah yang dimaksud Arendt dengan diktumnya yang terkenal dan sering disalahpahami: banality of evil, banalitas kejahatan—kejahatan yang “wajar dan biasa saja”.
Berpikir adalah atribut mendasar bagi manusia, yang oleh karenanya kita, sebagai manusia, pantas menyandang nama yang disematkan kepada satu-satunya sub famili hominid yang betah bertahan di dunia yang melelahkan ini—Homo sapiens yang berarti manusia yang berpikir. Sebagai atribut yang tak hanya melekat, tetapi sudah menubuh, berpikir sama derajatnya dengan berbicara. Berpikir, menurut Arendt, pada titik tertentu juga mestinya sama dengan aktivitas yang lain, yang juga sama banalnya.
Dalam kasus Eichmann, bisakah dengan berpikir, menyelamatkan manusia dari kecerobohan yang menuntunnya kepada tindak kejahatan. Bisakah, tanya Arendt, dengan berpikir, menghindarkan manusia dari keterlibatan kejahatan yang diatur secara sistematis melalui kerja-kerja administratif yang terstruktur dan birokratis seperti genosida terhadap enam juta orang Yahudi?
Arendt sampai pada titik di mana ia yakin bahwa dengan berpikir, hanya berpikir, yang memiliki potensi untuk mengingatkan atas martabat kita sebagai manusia, dan mampu membebaskan dari perbudakan yang membelenggu kita.

Arendt teringat pada Martin Heidegger, abang-abangannya dulu, yang pernah menyatakan bahwa berpikir adalah jalan sunyi yang mesti ditempuh. Dan von Trotta berhasil mengisolasi aktivitas “khusus” ini dengan gamblang, berceceran di sekujur durasi film. Ia berhasil membuat Arendt tampak terpisah dengan dunia sekitarnya, dan menepi dalam kesunyiannya sendiri. Seperti dalam pembuka film atau saat di ruang pers, ketika Arendt menyaksikan saksi demi saksi bersaksi tentang kengerian holocaust melalui footage rekaman persidangan yang sebenarnya. Arendt terpaku dalam empati yang dingin, tanpa berlinang air mata. Sementara di luar sidang ia menjumpai orang-orang Israel asyik mendengarkan siaran radio, hanyut oleh kisah-kisah emosional yang seperti dituduhkan Arendt, tidak ada hubungannya dengan upaya menegakkan keadilan dan hukuman kepada pria yang ada di dalam pengadilan (Eichmann). Arendt seperti berada pada ruang liminal, dan ia memilih tetap berada di ruang ambang batas yang tidak semua orang bisa memasukinya; ruang untuk berpikir.
Saking banyaknya adegan “berpikir” dalam film, Richard Brody, kritikus film The New Yorker—media yang sama yang menerbitkan laporan Arendt di persidangan Eichmann—berseloroh bahwa Hannah Arendt-nya von Trotta terkesan seperti soft-core philosophical porn. Mungkin, ini juga yang menjadi penyangga kritik atas pemikiran Arendt, bahwa Arendt masih terpaku pada analisis moral dan psikologis yang menitikberatkan pentingnya menumbuhkan agensi dan kapasitas berpikir kritis. Tetapi di saat yang sama ia gagap menganalisis bagaimana “banalitas kejahatan” adalah bagian, jika bukan babak lanjutan, dari sistem kapitalisme yang terus menerus menggandakan dirinya sendiri, terutama dalam kaitannya dengan imperialisme Eropa dan Amerika.

Selanjutnya kita tahu, bagaimana pada masa-masa yang akan datang, holocaust dipelintir sebagai dalih kesepakatan untuk mendukung Zionisme. Segala perlawanan terhadapnya dibungkam sebagai serangan anti-Semitisme. Israel serupa gergasi yang dilimpahi landasan moral maupun sumber daya material nyaris tanpa batas untuk bertindak semaunya. Meskipun luapan massa “diri-yang-berpikir” saling menyusul serupa gelombang yang tak henti membawa arus perlawanan terhadap penjajahan dan penjarahan tanah Palestina.
Kita coba menganggit apa yang Arendt nyatakan; bagaimana jika manusia sudah memiliki ruang untuk berpikir, berdialog dengan hati nurani, apakah tiba-tiba mampu terbebas dari belenggu sistem yang memperbudak? Bayangkan juga jika yang dilawan adalah sebuah sistem batil dan institusi pandir yang terus menggilas tanpa peduli dan justru menggonggong sekenanya soal “solusi dua negara”?
Leave a Reply