Dibagi dalam sembilan bab, dalam novel ini pembaca diajak memasuki pikiran seorang anak sembilan tahun yang tidak kita ketahui namanya. Anak kesembilan dari sebelas bersaudara, dia dan keluarganya tinggal di Rumah Kecil di desa Pomáz, Hongaria. Dulu mereka tinggal Vila Bom—disebut seperti itu karena pernah dihanguskan bom Perang Dunia II—di Debrecen.
Ayahnya bekas tentara yang keras dan kaku. Untuk memenuhi kebutuhan, selain bekerja di direktorat kereta api—yang gajinya dipotong karena dia pernah di tentara, ia juga membuat bisnis kecil benda-benda rohani Katolik seperti rosario, salib, dan foto-foto orang kudus. Anak-anaknya dikerahkan membantu pekerjaannya. Sementara ibunya berasal dari Transylvania, seseorang yang religius, bercita-cita menjadi pianis dan mencintai sastra: ia dekat dengan pengurus gereja, mengikuti koran mingguan Katolik Manusia Baru, mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi putra altar, paduan suara, mengikuti kelas teologi, dan sebagainya. Ibunya juga bekerja paruh waktu sebagai pemain organ gereja.
Aku anak kesembilan.
Miskin, banyak anak, Katolik, di era berkuasanya Partai Komunis Hongaria pada akhir tahun 1960an, itulah gambaran singkat keadaan keluarga Anak Kesembilan. Anak-anak ini—dalam satu hal atau lainnya—mempunyai berbagai kelainan seperti cacat bicara, sering sakit kepala, dan sebagainya. (Dikatakan, hanya Kaus yang tampak cukup “sehat” untuk dijual ke keluarga kaya dengan harga sembilan ratus forint, lainnya tidak). Setelah memenangkan kompetisi Rumah untuk Keluarga Besar yang diiklankan di koran Manusia Baru, mereka membangun dan menanti-nantikan kepindahan mereka ke Rumah Besar.
Anak Kesembilan sangat mencintai angka; bahkan, ia hafal jadwal kereta api luar kepala. “Entah kenapa aku membutuhkan angka-angka itu dalam kepalaku, persis seperti kakakku yang membutuhkan kaus kaki.” (Kakaknya, Kaus, memenuhi lacinya dengan koleksi kaus kakinya.) Dia suka kelayapan—ke stasiun, melihat-lihat, dan hampir semua toko di desa itu pernah ia masuki. Ia memperhatikan kue-kue, daging, aksesoris dan perabotan rumah tetangga, termasuk juga perilakunya. Karena bongsor, ia sering disangka lebih tua dari umurnya, karenanya kerap mendapatkan alkohol gratis di kedai-kedai. Dia juga sering bermimpi aneh (atau jangan-jangan ingatannya terlalu kuat untuk melupakan mimpinya?).
Terpujilah buah tubuhmu /
Pada bab delapan, pembaca tiba-tiba dikejutkan dengan kalimat pembuka “terpujilah buah tubuhmu neraka keparat.” Kalimat dari doa Katolik Salam Maria ini—minus “neraka keparat” tentunya—tiba-tiba hadir (dan muncul tiga kali dalam racauan Anak Kesembilan), disusul kalimat-kalimat tanpat titik, untuk menunjukkan kegalauan Anak Kesembilan sehabis mencuri:
Terpujilah buah tubuhmu neraka keparat / aku sedang di perjalanan / bu vera bicara padaku, aku mematuhi orang lain juga, aku cuma berharap mereka tak membuatku bicara / …
Agama Katolik dalam The Ninth di satu sisi tampak memberi kesempatan bertahan hidup: mingguan Manusia Baru, pekerjaan sebagai putra altar, penjualan benda-benda rohani, dan pinjaman untuk Rumah Besar. Namun tak urung agama juga terus mendera dengan segala batasan-batasan dan ketakutan akan dosa. Saya sedikit teringat pada novel-novel Irlandia: karya-karya Joyce (terutama Portrait), O’Brien, O’Neill, bahkan McCourt.
Hongaria dan kita?
Membaca The Ninth saya juga sedikit teringat pada Garden, Ashes, cerita masa kecil Danilo Kis yang tumbuh di Budapest. Eduard Scham, ayah Kis, juga bekerja di direktorat kereta api. Cita-cita megalomanianya adalah membuat Panduan Perjalanan Bis, Kapal, Kereta dan Pesawat internasional. Jika deskripsi Kis dalam Garden, Ashes sangat detil, lirikal dan puitis dengan banyak perenungan, Ferenc Barnás melalui The Ninth menampilkan tutur observasi yang datar namun menggelitik indra kita: wangi Bu Vera gurunya, bau saudara-saudaranya dan beda suara napas, kulit yang menggantung saat jempolnya hampir putus. Dengan pengutaraan yang sederhana dan bersahaja, visual dan aroma terasa evokatif terbayang oleh pembaca. Anak Kesembilan tampak sekedar melaporkan deskripsi observasinya, tidak menghakimi. Tapi dari kata-kata apa adanya itu, justru terasa kemarahan, keresahan di sekitarnya.
Penerjermahan dan penerbitan The Ninth memakan waktu lama dan proses yang ketat. Dalam peluncurannya di Rumah Buku, dan LIP Yogyakarta, diceritakan bagaimana mereka memilih nama-nama yang disesuaikan dengan Bahasa Indonesia, seperti Neni yang keibuan, Teeter menjadi Jungkit, Socks, Kaus. Begitu juga dengan bab kedelapan. Sedikit mengejutkan awalnya, tapi sebentar saja sepertinya pembaca dapat tenggelam dalam racauan Anak Kesembilan.
Sastra Hongaria (dan Eropa Timur) pada umumnya, dari sebatas yang pernah saya baca, sering mempunyai karakteristik kelam, detil, sunyi, sekaligus intim menusuk. Menurut Anwar Holid, editor buku ini, di Indonesia sudah pernah diterbitkan empat novel dari Hongaria. Semoga The Ninth mendorong lebih banyak penerbitan novel-novel Hongaria (dan Eropa Timur) dalam Bahasa Indonesia.
Judul: The Ninth (Anak Kesembilan)
Pengarang: Ferenc Barnás, 2009
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2010
No. panggil: F BAR Nin
Awalnya terbit di Hongaria pada 2006 dengan judul A Kilencedik
Alih bahasa dari bahasa Inggris: Saphira Zoelfikar
Penyelaras pada naskah asli: Katalin Böszörményi Nagy
Penyunting naskah: Anwar Holid
Desain sampul: Ariani Darmawan
Foto sampul: (c) Paulo Costa
ini buku jelek,
saya nyesel beli buku ini
sampul nya doang serem
saya berharap ada kisah anak kecil bunuh sekeluarganya
sampe capek baca g ada kisah yg menarik
*sayang sekali memang, saya menyerah membaca pada bab” awal