Orang Bajo: Suku Pengembara Laut adalah hasil dari penelitian etnografis dan kisah pengalaman François-Robert Zacot, seorang etnolog Prancis yang menghabiskan bertahun-tahun mempelajari cara hidup suku Bajo—dulunya suku pengembara laut yang senang menyendiri, menghindar dan terkungkung, muncul dan menghilang di berbagai pesisir dengan cara mereka sendiri—dengan lokasi terpencil di Sulawesi Utara meskipun mereka tersebar di berbagai pelosok nusantara.
Orang Bajo sendiri tidak menyebut diri mereka Bajo, tapi menggunakan istilah sama, sementara orang lain (bukan Bajo) disebut bagai, diikuti nama suku yang bersangkutan, misalnya: bagai Gorontalo, bagai Prancis. Kriteria pembedaan Bajo dengan bagai didasarkan pada bagai tikka ma dara (“datang dari darat, hidup di darat”), sementara orang-orang laut adalah sama.
Karena model kehidupan sosial suku Bajo yang berbeda dari model kehidupan sosial yang biasa kita kenal, Pak Mister—sebutan penduduk sekitar untuk menyebut Zacot—menggunakan gaya penceritaan yang personal: dengan perspektif orang pertama “aku” dan memadukannya dengan deskripsi etnografis. Kesulitan penelitian, seperti keluh-kesah perbedaan kebudayaan, tempat tinggal dan kehidupan sehari-hari dengan segala keterbatasannya, problema tak terduga seperti pemilu dan kepala desa, keresahan-keresahan metodologi dan etika, bertumpang tindih dalam karya ini dan menjadi bagian dari etnografi masyarakat Bajo.
Buku ini dibagi menjadi dua bagian berdasarkan pengalaman Zacot dengan suku Bajo di dua desa: Pulau Nain (di utara Manado) dan desa Torosiaje (Gorontalo), meskipun Zacot dalam buku ini jauh lebih banyak mendiskusikan desa Torosiaje. Walaupun pada hakikatnya mereka tinggal di tengah-tengah lingkungan dunia air, cara hidup mereka sedikit berbeda, dan di Torosiaje air tawar jauh lebih terbatas. Torosiaje sebenarnya dulu hanyalah salah satu tempat singgah mereka untuk menjual ikan dan kulit penyu, yang mereka sebut sebagai Toro (tanjung) si Haji. Mereka dulunya tersebar di Tilamuta (dekat Gorontalo) dan Mutong.
Dalam buku ini kita mendapatkan cerita-cerita mengenai adat istiadat, kepercayaan, dan kehidupan masyarakat Bajo. Dalam bab Ikiko: Sejarah Orang Bajo, kita membaca dongeng mengenai sejarah orang-orang Bajo—saudara kembar Si Baba Lompo dan Si Baba Caddi—yang diusir mengembara oleh ibunya karena memecahkan sebuah teko. Cerita ini masih terus mengalir dalam kehidupan masyarakat Bajo, dan Ikiko adalah satu-satunya acuan sejarah Bajo dalam khazanah dongeng-dongeng Bajo yang terbatas. Adakah hubungan antara meninggalnya saudara sulung, Si Baba Lompo, di laut, dengan penenggelaman ari-ari (tamuni) ke laut yang dianggap sebagai saudara sulung, yang menjaga dan berhubungan terus dengan si bayi (adiknya)? Bagaimana dengan teko yang terus digunakan dalam ritual-ritual mereka?
Ada begitu banyak cerita-cerita menarik dalam buku ini, seperti kepercayaan terhadap setan-setan (darat dan laut), guna-guna yang begitu kompleks, dan permainan-permainan yang terpaksa dilakukan untuk menyesuaikan dengan agama Islam. Zacot juga menceritakan individu-individu karib dalam perjumpaannya: Mbo Me, soko guru masyarakat Bajo dan pelaku upacara bagang (untuk melindungi perahu); Nunu, seorang gadis yang hidup sebagai laki-laki dan kekaburan hubungannya dengan dia sebagai seorang kulit putih dari negara lain; Satin, lelaki yang sangat halus, spontan dan jujur; Grace si kaki tiga. Ada kesetiawakanan, kepekaan yang bersanding dengan individualisme untuk tidak berlindung di balik kelompoknya ataupun memperkaya diri. Tak ada kewajiban berdasarkan hubungan persaudaraan atau urutan tingkatan, sehingga pilihan, bentuk, saat pemberian atau pertukaran (informasi, makanan, jasa dll.) sukar ditebak dan tak dapat ditentukan. Hubungan-hubungan sepele, campur aduk tanpa kesepakatan, merupakan hakikat kehidupan desa. Jarang sekali seseorang meninggalkan yang lain tanpa menjalin suatu hubungan, suatu ikatan.
Aku merasa aneh. Keinginanku untuk menggambarkan “kenyataan yang terpendam” ini, yang merupakan masa lampauku dan masa lampau orang Bajo, disertai dengan suatu perasaan bingung: suatu perasaan tak berhak. Aku seolah-olah berada di ambang pintu hal yang suci ini, di pinggir pamali. Hal seakan-akan itu termasuk di dalam hal-hal “yang tak boleh dibicarakan.”
Dengan tekun dan penuh renungan, Zacot menumpahkan pengalamannya dalam suatu karya yang sangat manusiawi, personal, bahkan puitis dan menghanyutkan: pergulatan-pergulatan dalam diri, pertanyaan-pertanyaan yang akan selamanya terbawa dalam dirinya, dan (tak bisa dihindari) romantisisme tropis. Ada cukup banyak foto dalam buku ini; saya sedikit menyayangkan ketiadaan indeks ataupun glossary istilah, tapi memang tak ayal buku ini harus dibaca dalam keseluruhannya. Kami rekomendasikan juga untuk membaca buku Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX oleh Adrian B. Lapian.
Orang Bajo: Suku Pengembara Laut
Pengalaman Seorang Antropolog
Judul asli: Peuple Nomade De La Mer – Les Badjos D’indonésie
Pengarang: François-Robert Zacot
Penerbit: KPG, 2008 [2002]
No. panggil: 305.89922 ZAC Ora
Wah baca resensi ini jadi ingat kesan membaca novel Romo Mangun yang ‘Ikan Hiu, Ido, Homa’.
Bener, jadi pingin miber kesono.
Eh di C2O malah belum ada tuh… Tentang apa ceritanya ya?
Ngomong2, aku baru baca di koran tadi pagi, Garin Nugroho akan bikin film tentang orang-orang Bajo…
ini memang buku bagus, sayang kurang diapresiasi pembaca indonesia
Iyah, waktu itu sampe dibanting harga karena tidak laku. Di satu sisi senang harganya murah tapi miris juga sih membayangkan buku sebagus ini tidak laku… :\
Nah tapi ngga tau lagi tuh gimana jadinya setelah film tentang Bajo selesai…