Toraja adalah nama umum yang digunakan untuk merujuk pada satu suku bangsa yang mendiami dataran tinggi di Sulawesi Selatan dan Tengah. Kata “Toraja” sebenarnya berasal dari bahasa Bugis, “To-ri-aja”, di mana to berarti orang sementara aja berati dataran tinggi atau atas, atau bisa juga raja. Dalam bahasa Toraja, raja berarti luar biasa atau tampak megah, dan tentu saja kita juga bisa melihat artinya dalam bahasa Indonesia.
Di kalangan masyarakat Toraja masih dapat dilihat sebuah sistem tukar-menukar yang mencolok, terutama dalam upacara kematian mereka. Dalam sistem pertukaran ini, kerbau—seperti di banyak tempat di Indonesia Timur—mengambil tempat sebagai pusat. Ada berbagai jenis kerbau yang dipertukarkan dengan jenis tedong bonga (kerbau tutul lokal) dihargai tertinggi. Kerbau diadu dan dipotong-potong; dagingnya dibagi-bagikan sementara darahnya bebas ditampa dengan bambu oleh siapapun, untuk kemudian dimasak. Tanduk-tanduk kerbau diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan, untuk kemudian di-“pajang” di tiang depan rumah mereka. Dalam film ini, kerbau diikat di tonggak dan dipenggal. Sekarang, kata Pak Hadi, kerbau dipegang tanduknya, dan dipenggal oleh pimpinan upacara dengan ilmu.
Jika tidak mampu memberi kerbau, bisa juga memberi babi, yang kemudian ditusuk jantungnya dan dipanggang. Ada juga yang memberi tuak yang dibuat dari kelapa dan gula aren dan dimasukkan dalam bambu panjang, disebut “ballo”.
Menurut Pak Hadi, walaupun hewan-hewan ini banyak dijumpai di Toraja, orang-orang Toraja umumnya dalam kesehariannya tidak mengkonsumsi daging kerbau atau babi. Daging kerbau atau babi segar jarang dijual di pasar, tapi dijual sebagai dendeng—sisa-sisa dari upacara—yang direndam sebelum dimasak. Kalaupun ada daging segar, ayam dan telur, umumnya dikonsumsi oleh orang-orang luar kota.
Film pendek ini, yang dibuat di tahun 1921, merekam upacara kematian seorang puang, dengan lokasi Rante-Pao. Berbeda dengan upacara kematian aluk to dolo sekarang, baju-baju yang dikenakan tidak terlalu seragam, tapi nyanyian dan tarian ma’badong tetap dilakukan. Jenazah bisa disimpan selama 1-6 bulan sebelum akhirnya dimakamkan, sementara upacara kematian sendiri bisa berlangsung berhari-hari.
Barisan kerbau berada di depan prosesi, diikuti oleh sekelompok penari perang dan pembawa gong. Tau-tau, patung kecil yang mewakili almarhum, dibopong di belakang, dengan peti mati berbentuk bagian atas tongkonan, ditandu di belakang. Terlihat berbagai pusaka seperti keris digantung di rumah tandu, tapi pusaka-pusaka ini tidak dikuburkan. Di belakangnya, keluarga almarhum berbaris di bawah kain panjang yang menyambung ke peti mati.
Di makam goa liang di bukit Lemo, ada tingkatan-tingkatan tersendiri, dan ditata berdasarkan garis keturunan yang terus digunakan dari generasi ke generasi. Di sini kita bisa melihat tau-tau berjejer. Tau-tau, yang berarti “orang kecil”, diukir dari kayu pohon nangka dan dianggap mewakili almarhum. Setelah pemakaman, ada pula ritual-ritual di mana keluarga menjenguk kuburan untuk membersihkan dan memperbaiki tau-tau, atau mengganti bajunya. Kerap dianggap sebagai emblem identitas Toraja secara umum (dan bukannya identitas personal kaum elitnya), banyak patung tau-tau dicuri dari situs kuburan oleh pelancong ataupun kolektor, untuk kemudian dengan misterius muncul di museum-museum luar dengan harga ribuan dollar.
Upacara kematian yang sangat megah, tentunya memberi beban besar kepada keluarga. Hukum adat mewajibkan saling menyumbang antar kerabat, yang berarti pula hutang piutang hak serta kewajiban, dan salah satu akibatnya adalah pengikat kekerabatan yang berkelanjutan. Kematian di sini merupakan suatu fenomena yang bersifat kolektif, suatu kejadian yang menyangkut dan mengerahkan seluruh masyarakat, tidak hanya kerabat dekat. Asia Tenggara pada umumnya dan Kepulauan Nusantara Barat pada khususnya, sesungguhnya merupakan laboratorium mekanisme keuangan yang luar biasa, di mana evolusi konsep nilai dapat kita pelajari. Sistem tukar-menukar di kalangan masyarakat Toraja ini adalah salah satu keanekaragaman system alat tukar yang sangat menonjol, menurut taraf perkembangan sosio-ekonomi yang dicapai. Peran kerbau sebagai pusat juga mengingatkan kita pada sistem pecus Romawi (yang menurut kata Prancis pécuniaire berarti “yang mengenai uang”).
Tulisan ini dibuat sebagai catatan pemutaran film di atas yang dilangsungkan pada hari Sabtu, 18 September 2010, 17.30 di Perpustakaan C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264. Terimakasih kepada Hadipurnomo atas kesediaannya memutar dan memberi bahan diskusi film ini. Film diputar sebagai bagian program pemutaran film “Ragam Budaya & Sejarah Indonesia: Asmat & Toraja”, tiap Sabtu 17.30, selama bulan September 2010.
wogh keren! aku pengen nonton :)
Sabtu ini akan diputar lagi, Pak Wow, jam 17.30, tapi tanpa diskusi. Datang aja!
pengin juga melihat karena mama’ku orang tator dan kita generasi kedua (tinggal dijawa)blum pernah mnginjakan kaki ksana..
aku mau filmnya dong
tp aku di bandung
gimana dong cara liatnya
apa ada yg di upload di youtube?
Maaf, film ini milik fasilitator kami, Pak Hadipurnomo, dan tidak tersedia di YouTube. Terima kasih.
ooohhhh….klo ini sih zya pux kasetx….