Revolt in Paradise

Selama bulan November 2010, C2O bekerja sama dengan komunitas Surabaya Tempo Dulu, menampilkan ulasan-ulasan buku yang berkaitan dengan sejarah Surabaya, dengan tujuan “Membaca Kota Surabaya”: memperkenalkan dan membangkitkan semangat untuk menggali dan mengenal lebih jauh kota kita. Buku-buku yang ditampilkan ini tersedia di C2O–nantikan ulasan-ulasannya! Jangan lupa bergabung dengan komunitas Surabaya Tempo Dulu, di mana Anda bisa menikmati berbagai cerita mengenai sejarah Surabaya dengan kemasan yang renyah dan menarik. Mari, kenali sejarahmu!


Revolt in Paradise adalah buku autobiografi roman K’tut Tantri yang bernama (asli?) Muriel Pearson, perempuan Amerika keturunan Skotlandia, yang menceritakan pengalaman romantis-heroiknya di Indonesia selama tahun 1932 sampai dengan 1947.  Pertama kali diterbitkan di tahun 1960 dalam bahasa Inggris, buku ini telah diterjermahkan dalam bahasa Jerman, Prancis, Norwegia, Swedia, Polandia, Finlandia, Denmark, Jepang, Kanton, dan tentunya, Indonesia, sebagai Revolusi di Nusa Damai.

Dibagi menjadi tiga bagian, di bagian pertama kita membaca bagaimana dia tiba di Bali, berkenalan dengan keluarga kerajaan, dan mengelola satu hotel di bagian selatan Bali (yang kerap dikunjungi berbagai tokoh, Walter Spies salah satunya).  Bagian kedua menceritakan bagaimana dia ditawan Jepang di Surabaya. Sementara bagian ketiga, menceritakan pengalamannya setelah kemerdekaan bersama pejuang-pejuang Indonesia.  Bahkan, dikatakan bahwa dia membantu Bung Tomo menyiarkan propaganda Indonesia dalam bahasa Inggris melalui Radio Pemberontakan, yang memberi dia sebutan ‘Surabaya Sue’ (meskipun dia punya sederetan nama sebutan lainnya!).

Revolt in Paradise (Revolusi di Nusa Damai), edisi baru diterbitkan Gramedia, 2006. No. Panggil: F TAN Rev

Dari tulisannya ini, kita membaca perubahan Oranje Hotel setelah pendudukan Jepang, di mana segala-galanya menjadi kumal dan tak terawat, dan berbagai perilaku Jepang, mulai dari siksaan hingga belas kasihan.  Untuk meninggalkan tempat persembunyian, Tantri harus memasang ban lengan merah putih, meskipun itu pun sempat membuatnya diinterogasi dengan hunusan pisau dapur di lehernya oleh pejuang yang tidak mengenalinya.  Kita juga membaca deskripsi menawan mengenai Bung Tomo sebagai laki-laki tampan, bertubuh kecil dan mahir berpidato—jelas berbeda dengan deskripsi Idrus!  Tentara Inggris diceritakan banyak terdiri dari pasukan-pasukan Gurkha, dan diselundupi tentara Belanda yang menghitamkan kulit mereka.  Tantri juga sempat diculik Barisan Baju Hitam untuk siaran yang pusatnya di belakang Tretes.

Tantri menggambarkan pengalamannya dengan sangat heroik: bagaimana dia meninggalkan Amerika setelah terpaku melihat film Bali, the Last Paradise di Hollywood Boulevard (!!), untuk seorang diri menuju Bali demi mencari petualangan, dan bagaimana di tengah-tengah penderitaannya, dia selalu membela dan memperjuangkan hak-hak Indonesia, entah sebagai mata-mata, tahanan perang, korban siksaan, propagandis dan pejuang revolusi.  Kita juga bisa membaca pertemuan-pertemuannya dengan tokoh-tokoh penting seperti Bung Tomo, Bung Karno—yang ditulis mengatakan K’tut “telah berjuang sekuat tenaga untuk membantu kita berjuang demi kemerdekaan”, Ali Sastromijoyo, Amir Syarifuddin, dan Syahrir.

Heboh dan melodramatik, kebenaran isi otobiografi roman ini memang banyak diperdebatkan dan sering dianggap tak lebih dari sekedar fantasi roman. Meskipun buku ini menikmati penjualan laris dan distribusi yang luas di berbagai negara, dan boleh dibilang salah satu buku populer paling terkenal mengenai Indonesia di tahun 1960an, figur K’tut Tantri–yang katanya lebih dikenal dengan sebutan Manx saat dia di Bali–kerap tidak dianggap dalam sejarah resmi revolusi Indonesia, baik versi Indonesia maupun luar.  Pada kenyataannya, memang banyak kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam buku ini jika dicocokkan dengan berbagai sumber sejarah, termasuk dari narasumber-narasumber Angkatan ’45.  Selain itu, figurnya yang digambarkan begitu idealis dan heroik dalam buku sering dibantah sebagai perempuan eksentrik pretensius, egois, bohemian, atau bahkan pengkhianat dan pembohong.  Tapi tidak dapat dibantah bahwa dia banyak terlibat dalam perjuangan gerilya Indonesia, terutama sebagai penyiar propaganda dalam bahasa Inggris, sebagaimana tertulis dalam pengantar edisi pertama bahasa Indonesia yang ditulis oleh Bung Karno sendiri.

Kata pengantar di edisi I Revolusi di Nusa Damai. Sumber foto: http://buku-lawas.blogspot.com/2010/05/buku-lawas.html

Setiap bentuk sejarah mungkin hanyalah satu versi dari masa lalu, dan ketika kita membicarakan masa lalu, “kebenaran” absolut akan selalu dipertanyakan.  Meskipun dapat dikatakan K’tut Tantri menggunakan—atau bahkan membelokkan?—sejarah untuk mendefinisikan identitas dan masa lalunya, buku ini tetap mememberi kita gambaran sejarah yang berharga sebagai contoh sejarah “alternatif”.  Sejarah manakah yang tidak dibelokkan?  Pada kenyataannya, sebagaimana disebutkan Tantri di sini, berbagai buku sejarah karangan penulis Amerika, Belanda dan Inggris mengenai revolusi Indonesia pun banyak yang tidak menyebutkan kisah pemboman kota Surabaya.

Revolt in Paradise memang adalah sebuah roman, otobiografi yang sangat diromantisir, dengan segala bahan plotnya: perempuan idealis melarikan dan menenggelamkan diri dalam eksotisme erotisme Bali, hubungan romantisnya dengan seorang pangeran Bali didikan Barat, perang, siksaan, intrik spionase, perjuangan revolusi, hingga kembali ke Amerika dengan ingatan mengenai ‘Surabaya Sue’.  Materi siap jadi untuk film Hollywood, dan memang, film otobiografinya pernah digarap, tapi tidak pernah diproduksi.  Membaca buku ini, selain memberi kita satu versi sejarah dari seorang perempuan Amerika yang terlibat dalam sejarah Indonesia, juga akan mendorong kita untuk mengevaluasi dan menerima masalah romantisisme dan “distorsi” yang kerap ditemukan dalam penulisan otobiografi sejarah.

Tersedia baik dalam bahasa Inggris maupun Indonesia di C2O.

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply