21 Februari 2012. H-1 saya baru mengajak Rendy—founder Kami-Arsitek-Jengki (KAJ)—untuk bergabung dalam klub pejalan kaki c2o library : Manic Street Walkers. Awalnya trip keempat ini adalah respon dari ajakan TV ONE untuk meliput Manic Street Walkers. Syukurnya trip ini berakhir bahagia, maklum udah keburu pesimis kalau berhubungan dengan media besar.
Sebelumnya, saya dan Carlos merencanakan rute, kami setuju dengan berjalan kaki di sekitar c2o library yaitu pemukiman yang sudah ada sejak era kolonial. Kami berharap bisa menikmati rumah-rumah tua bergaya kolonial yang lumayan banyak masih terawat di sekitar c2o library, ide selanjutnya adalah mengajak kawan-kawan KAJ untuk menjelaskan rumah yang berasitektur jengki yang memang ada di daerah Darmo.
Kami berkumpul jam 4 sore di c2o library, ternyata banyak yang sudah datang mau ikutan jalan kaki, saya jadi tambah semangat. Rendy berhalangan hadir, tapi para anggota KAJ—terbentuk pertengahan tahun 2011 oleh sekumpulan mahasiswa Arsitektur ITS yang menyukai arsitektur jengki dan arsitektur nusantara—datang dengan memakai kaos berwarna merah dengan logo dan tulisan “Kami-Arsitek-Jengki”. Wah, jadi tambah penasaran dengan arsitektur jengki. Saya dan Fandi berdiskusi mengenai rute, diputuskan untuk berjalan kaki menuju dua rumah berasitektur jengki yang berada di Jalan Untung Suropati no 52 dan Jalan Dr Soetomo no 73. Ok, Manic Street Walkers #4 beranggotakan Mirna, Idha, Danto, Carlos, dan KAJ (Fandi, Kiky, Gaby, Faisal, Adit, Firdi, Agrha). Tim TV ONE menyusul datang setengah jam kemudian, dan perjalanan pun dimulai!
Hanya berjalan kaki dua blok, kami berhenti di gerobak es legen, gerobak dengan design yang menarik, seorang bapak tua menjual es legen—minuman fermentasi dari buah siwalan—dan gorengan. Para anggota Manic Street Walkers dan kru TV ONE menyerbu dan melahap jajanan. Kami lanjut berjalan menuju Jalan Untung Surapati tapi kami harus berjalan memutar karena jalan di portal berkaitan dengan hadirnya rumah dinas konsulat Amerika Serikat (AS). Sebelum melangkah masuk ke Jalan Untung Suropati, saya sudah menebak kami akan dihalangi oleh petugas keamanan, dan itu terjadi!
Posisi rumah beraksitektur jengki tepat berada di sebelah rumah dinas konsulat AS. Kami sudah diamati dari semenjak masuk ke jalan ini, apalagi setelah melewati rumah dinas tersebut, tambahan lagi banyak dari kami membawa kamera! Meskipun mendapatkan pengawasan dari petugas keamanan, Fandi dan Faisal memberikan penjelasan singkat mengenai arsitektur jengki—gaya arsitektur modern khas Indonesia yang muncul pada awal kemerdekaan (tahun 1950an-1960an) sebagai salah satu bentuk gerakan anti-kolonialisme. Rumah yang kami lihat bertingkat dengan atap melengkung yang menarik nan aneh seperti bangunan yang belum selesai. Khas lainnya adalah tembok yang bertekstur, benar-benar menarik!
Sayang sekali, kami tidak nyaman berlama-lama di depan rumah tersebut karena petugas keamanan mulai “mengganggu” hak kami untuk menggunakan jalan sebagai ruang publik. Padahal kami sama sekali tidak mengamati rumah dinas konsulat AS, menyebalkan! Kami melenggang pergi meninggalkan petugas keamanan, lanjut berjalan menuju Taman Persahabatan Indonesia-Korea.
Nah, saat menyebrang menuju taman, oleh pihak TV ONE kami diminta menyebrang saat kendaraan bermotor menguasai jalan. Yah, maklum harus dibuat dramatis bagaimana susahnya menyebrang tidak di zebra cross. Kami beristirahat sejenak di taman ini lalu lanjut berjalan kaki menuju rumah seorang jenderal yang katanya anak-anak KAJ bisa dikunjungi karena cucu pemilik rumah juga kuliah di Arsitektur ITS.
Kami tiba di depan rumah beraksitektur jengki yang tidak terlalu terlihat dari luar karena tertutup pepohonan, dan sang empunya rumah yaitu Nyonya Soebandi langsung menyambut kami dengan ramah, beliau mempersilahkan kami untuk masuk ke rumahnya, asjik! Berdasarkan penuturan sang istri, Jendral Soebandi adalah kepala pertama resimen Madiun, dan mengalirlah kisah-kisah perjuangan beliau. Nyonya Soebandi mengibaratkan istri tentara bagaikan kotak peluru, setia menemani sang suami ditempatkan dimana saja, wah romantisnya. Sementara Nyonya Soebandi yang saat ini berusia 84 tahun tapi masih terlihat bugar dan kuat berdiri lama menceritakan kisah-kisahnya, saya menikmati keindahan interior rumah ini, arsitektur yang menarik dengan gaya lengkungan dan gaya patahan.
Kawan-kawan KAJ menambahkan bahwa arsitektur jengki adalah suatu seni pemberontakan, berontak terhadap arsitektur kolonial, berdasarkan semangat pemberontakan tersebutlah yang mengilhami KAJ sebagai sekumpulan generasi muda yang menjunjung arsitektur nusantara.
Setelah puas menikmati rumah Sang Jendral, kami kembali ke Taman Persahabatan Indonesia-Korea untuk melakukan sesi wawancara dengan TV ONE, tak disangka Zaldy, Nafis, dan Billy menyusul datang, sayang mereka ketinggalan bagian-bagian yang seru! Setelah foto bersama di taman, kami kembali ke c2o library. Trip ini hanya memakan waktu satu setengah jam tapi banyak kejutan yang kami dapatkan. Sekali lagi terimakasih kepada KAJ atas kolaborasinya dengan Manic Street Walkers.
Teks dan foto oleh Anitha Silvia.
good…..goood…..goooood….
wah seneng ya…jadi inget dulu masih culun kuliah suka jalan2 begitu juga….tapi kami di jateng (semarang)….itu lho gaya rumah2 di daerah candi, gaya kolonial…..
tapi aku suka banget jengki tuh….gabung donk…mau….
wah mungkin nanti manic street walkers bisa berjalan kaki di Semarang..
setahu saya banyak rumah berasitektur jengki di Semarang dan Solo
bisa minta email?
anithasilvia@gmail.com