Budaya Bebas

Buku Budaya Bebas: Bagaimana Media Besar Memakai Teknologi dan Hukum untuk Membatasi Budaya dan Mengontrol Kreativitas adalah terjemahan bahasa Indonesia dari buku Free Culture: How Big Media Uses Technology and the Law to Lock Down Culture and Control Creativity karya Lawrence Lessig. Versi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh  KUNCI Cultural Studies Center, sebagai bagian dari agenda kerja “Konvergensi Media dan Teknologi di Indonesia: Sebuah Perspektif Kultural” di tahun 2009-2011.

Buku ini diterbitkan karena melihat meskipun pembahasan dan kajian mengenai Media Baru (dan budaya digital) telah banyak beredar di Internet dan dapat diunduh gratis dan legal dari Internet, tapi informasi mengenai budaya digital masih belum terlalu merebak di Indonesia.

Dibagi menjadi 14 bab, dengan pendahuluan, kesimpulan, dan kata akhir, buku ini dengan meyakinkan mengajak kita untuk mempertimbangkan ulang, apa itu yang kita sebut sebagai “pembajakan”, dan apa itu “property”, dengan memberi berbagai ilustrasi kasus yang menarik. Ditunjukkan bagaimana jika kita melihat pembajakan sebagai penggunaan pemilikikan kreatif orang lain tanpa ijin, maka semua sektor penting “media besar”, seperti film, rekaman, radio dan TV, lahir dalam bentuk bajakan pengertian tersebut. Yang mengenaskan kemudian adalah, para generasi pembajak ini kemudian memiliki modal besar untuk melarang pihak lain “membajak” apa yang sebenarnya dia sendiri juga “bajak”.

Lalu, apa perlunya kita di Indonesia memahami Budaya Bebas dan Creative Commons? Bukankah kita di Indonesia—dan berbagai negara “berkembang” lainnya— (katanya) tidak terlalu mempedulikan hak cipta? Bajakan piranti lunak dan film tersebar luas dan dapat kita beli di pusat-pusat perbelanjaan, fotokopi buku-buku teks impor mengisi rak perpustakaan, gambar-gambar dan teks di Internet seringkali kita gunakan, dan kita mengunduh berbagai mp3 dari Internet.

Sebelumnya, mari kita perjelas dahulu bahwa Creative Commons tidak bertentangan dengan Copyright. Ini seringkali disalahpahami. Creative Commons tidak bertentangan ataupun bersaingan dengan hak cipta. Creative Commons justru berusaha melengkapi hak cipta dengan membangun lapisan-lapisan yang masuk akal, murah, mudah dimengerti dan digunakan, di atas ekstrem-ekstrem “seluruh hak cipta dilindungi (all rights reserved)” yang kaku dan mendominasi. Hak cipta seperti itu mungkin masuk akal jika ditempatkan dalam konteks teknologi pra-digital, tapi dalam konteks teknologi digital saat ini, hak cipta yang kaku justru menjadi membatasi, menghalangi penyebarluasan dan memperlambat inovasi.

Berikutnya, mari coba kita renungkan sejenak, mungkinkah kita terus-terusan tidak mempedulikan hak cipta dan peraturan internasional? Akankah paten berbagai ramuan atau masakan tradisional tidak akan berdampak pada kita? Bagaimana kalau kita susah payah membuat piranti lunak dan memasangnya di Internet dengan gratis, untuk kemudian digunakan oleh orang dari negara lain untuk dipatenkan, dan kita kemudian harus membayar mahal untuk kerja keras kita sendiri?

Pada kenyataannya, hak sebagai pencipta, konsumen, ataupun prosumen tidaklah sesederhana itu, dan sangat berkaitan dengan infrastruktur dan konteks lokal maupun internasional. Buku ini menjelaskan perubahan-perubahan yang tengah terjadi, bagaimana hukum yang semestinya menjaga keseimbangan Pasar, Norma dan Arsitektur, malah condong ke arah ekstrem dengan menekankan budaya izin. Budaya izin yang membutuhkan izin dan mewajibkan segala bentuk kreativitas dikonsultasikan terlebih dahulu kepada pengacara melemahkan kesempatan untuk menciptakan dan mentransformasi. Buku ini akan meyakinkan Anda dengan berbagai contoh kasus menarik yang ia hadirkan.

Versi PDF buku ini, dalam bahasa Inggris maupun Indonesia, menggunakan lisensi Creative Commons BY-NC dan dapat diunduh gratis dari website KUNCI Cultural Studies Center. Teman-teman KUNCI juga pernah datang membedahnya di C2O. Tampaknya, kita juga bisa segera menantikan penerbitan bahasa Indonesia buku-buku menarik lainnya yang berkaitan dengan budaya digital, yakni buku Yochai Benkler The Wealth of Networks dan Marcus Boon In Praise of Copying. Sangat direkomendasikan, bisa membaca versi bahasa Inggrisnya dahulu sambil menanti versi Indonesianya terbit.

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply