Shoving books aside to create community-centered coworking spaces doesn’t sit well with some library loyalists.
Meminggirkan buku untuk menciptakan ruang kerja komunitas tidak selalu disetujui oleh penggemar setia perpustakaan.
Artikel di bawah ini diterjemahkan dari tulisan Anita Hamilton di Fast Company (8 Agustus 2014) sebagai bagian dari seri eksplorasi mengenai peran perpustakaan, commons, ruang khalayak dan kerja.
Jam 9:45 Senin pagi, Jonathan Marino baru saja tiba di kantor tech startup-nya di kawasan Chinatown, Washington DC. Lelaki 30 tahun yang merupakan direktur konten Map Story—teknologi pemetaan dengan tujuan menjadi semacam Wikipedia peta interaktif—menyapa dua kolega magangnya dengan senyum lebar, dan bergabung dengan mereka menyalakan laptop di atas satu meja besar dalam ruangan luas berlapis kaca. Duduk fokus di depan komputer masing-masing, mereka tampak seperti kebanyakan start-up, dengan satu perbedaan: “kantor” mereka hanyalah berupa ruang pertemuan dalam perpustakaan publik Washington DC.
Menampung hampir 784 juta buku cetak, perpustakaan publik Amerika bukan saja merupakan tempat untuk membaca dengan tenang. Dalam satu dasawarsa terakhir, puluhan ruang baca telah dirubah menjadi co-working space atau ruang kerja bersama. Beberapa darinya, termasuk Digital Commons di Washington dan Eureka Loft di Arizona, memberi layanan khusus untuk start-up dengan membantu mereka menemukan sumber pendanaan, menyediakan mentor, dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendorong usaha mereka. Yang lain mengambil pendekatan lebih lepas atau laissez-faire, sesuai untuk pekerja atau seniman individu yang mencari ruang kerja tanpa banyak embel-embel. Secara keseluruhan, menurut kajian Information Policy & Access Center, lebih dari separuh perpustakaan umum di Amerika sekarang menawarkan ruang kerja untuk pekerja lepas freelance atau mobile.
Seiring dengan makin banyaknya pekerja freelance, yang pilihan tempat kerjanya terbatas pada bekerja sendiri di rumah atau menyewa private co-working space seharga $500 per bulan, keberadaan ruang kerja di perpustakaan menjadi sangat berguna. Dilengkapi dengan Internet cepat, 3D printer, ruang pertemuan, papan tulis, dan banyak ruang tenang, bekerja di perpustakaan terasa jauh lebih pas daripada berebut meja dan colokan di kedai kopi yang ramai.
Menyegarkan misi
Meski setiap area coworking perpustakaan punya aura yang berbeda-beda, semuanya diciptakan untuk merespon satu kebutuhan: reinvention. Ketika Benjamin Franklin menyumbangkan 116 buku ke kota kecil Massachusetts untuk menciptakan perpustakaan publik pertama di tahun 1790, akses ke buku—selain buku kitab suci—merupakan sesuatu yang sulit dan mewah. Sekarang di saat ketika kita kebanjiran informasi, online maupun offline, tuntutan untuk satu pusat penyedia materi bacaan menjadi terasa ketinggalan jaman. “Peran buku sedang berubah,” ucap presiden Brooklyn Public Library. “Tidak akan lama sebelum buku menjadi tidak begitu penting bagi orang.”
Presiden New York Public Library lebih blak-blakan: “Buku itu merupakan salah satu sistem penyampaian (delivery system) untuk menyediakan akses informasiyang sudah berusia 500 tahun. Kita bukannya keluar dari usaha perbukuan, tapi sekarang kita menyediakan cara-cara baru untuk mengakses informasi.” Di Amerika, koleksi buku di perpustakaan publik menyusut 2% dari puncaknya 800 juta di tahun 2003, menurut data dari the Institute of Museum and Library Services.
Tapi untuk beberapa orang, meminggirkan buku untuk menciptakan lebih banyak ruang komunal dianggap sebagai penelusupan. “Bukankah buku adalah tulang punggung peradaban?” gugat David Levering-Lewis, penulis biografi yang telah memenangkan penghargaan Pulitzer. David menyatakan bahwa ia menulis enam sampai delapan bukunya menggunakan materi-materi referensi dari New York Public Library (NYPL). Cendekiawan itu juga terlibat sebagai pendakwa dalam salah satu dari tiga tuntutan hukum yang ditujukan kepada NYPL untuk membatalkan rencana menggantikan ruang referensi di perpustakaan pusat Bryant Park yang menampung jutaan materi berharga untuk dibaca di tempat. NYPL berencana menggantinya dengan ruangan baru, dilengkapi dengan koleksi umum yang dapat dipinjam dan tempat-tempat untuk orang-orang mencolok listrik dan bekerja dari laptop atau tablet mereka. (NYPL akhirnya membatalkan rencana kontroversial ini Mei lalu, dengan alasan biaya yang mahal, tapi mereka menjanjikan untuk meningkatkan sekitar 58% ruang publik dengan rencana pembangunan yang lebih sederhana.)
“Sah-sah saja buat perpustakaan untuk memiliki ruang kerja di dalamnya,” komentar Michael White dari kelompk advokasi Citizens Defending Libraries, yang bergabung dalam tuntutan hukum pada NYPL, “tapi mengubah perpustakaan untuk kemudian membuatnya menjadi Starbucks itu sama saja dengan sekedar bikin tiruan dari apa yang sebenarnya sudah ada banyak.“
A Room of Their Own
Ketika kita memasuki lobby cabang perpustakaan Brooklyn di Grand Army Plaza, tidak ada satupun buku yang terlihat. Yang ada: kedai kopi, pameran seni oleh seniman yang sedang residensi di perpustakaan (library’s artist-in-residence), dan area nir-buku Info Commons. Didanai dengan dana privat $3,25 juta dan dana federal $560.000, ruangan ini dibuka di tahun 2013. Rabu sore barusan, di tengah terik suhu udara 32° C, ruangan ini terlihat hampir penuh. Di antara puluhan orang yang duduk di meja-meja di sana, satu perempuan muda sedang melatih dirinya mengetik cepat dengan buku panduan Mavis Beacon Teaches Typing; seorang laki-laki berkuncir mengenakan headphone tebal merancang logo menggunakan Adobe Illustrator; dan seorang laki-laki lain bercelana pendek dan kaos merah muda berselancar online mencari website template di Wix.com. Semuanya mereka lakukan dari workstation perpustakaan berupa komputer Mac berlayar lebar.
Terrence Hamilton, seorang agen real estate berusia 32 tahun, menghabiskan sorenya di Info Commons memperbarui daftar real estate dari laptopnya. Dia bilang dia suka bekerja di sana karena ini membantunya menghindari obrolan atau gosip kantor, dan juga mendorongnya untuk keluar dari rumah di antara janji pertemuan. “It’s inspiring,” katanya. “Saya melihat berbagai orang melakukan berbagai kegiatan di sini, dan ini memotivasi saya.” Untuk Jonathan Marino dari Map Story di DC, bekerja di perpustakaan publik bukan saja merupakan cara untuk menghemat biaya ruang dan overhead kantor; ini juga membantunya menumbuhkan usahanya. Perusahaannya bekerjasama dengan perpustakaan Washington DC untuk mendigitalisasi sekitar 8.000 peta bersejarah di Washington, kemudian mengimpornya ke Map Story. Marino juga dapat menyelenggarakan diskusi focus group informal di dalam perpustakaan di mana dia bisa mendapatkan masukan dari siapapun yang kebetulan singgah ke sana. Dan karena kesuksesan atau kegagalan Map Story pada akhirnya berada pada seberapa baik publik menerimanya, “menanamkan diri dalam ruang publik [yakni perpustakaan],” menurut Marino, merupakan pilihan yang sangat masuk akal.
Bagaimana rasanya bekerja di perpustakaan dibandingkan dengan private coworking spaces? Satu hal yang tampak, latar belakang orang-orang yang datang ke ruang berbayar terlihat tidak begitu beragam. Sekitar satu blok dari Martin Luther King, Jr. Memorial Library di mana Map Story ngantor, sewa meja dan kursi dalam ruang bergaya loft di WeWork dimulai dengan harga $325 per bulan. Mengamati WeWork, saya tak dapat menyangkal merasa bahwa hampir semua orang yang ada di sana tampak muda dan putih. Ini kontras yang sangat jelas berbeda dengan orang-orang beragam etnis di perpustakaan di dekatnya; sekitar separuh berlatar belakang Afrika-Amerika dan berusia lebih tua. Jacqueline Chenault, seorang aktris dan pengembang piranti lunak berusia akhir 20an, mengatakan salah satu alasan dia bergabung dengan WeWork adalah karena potensi berjejaring, networking dengan orang-orang lain yang bekerja di sana. “Kesempatan networking merupakan bagian besar dari coworking space,” katanya—ia menyatakan bahwa beberapa orang yang ia temui di sana juga kemudian menjadi kliennya. “Itu tidak terjadi di perpustakaan.”
“Entrepreneur, wirausaha muda berusia 25 tahun umumnya tidak menganggap perpustakaan sebagai tempat keren untuk nongkrong,” ucap Micha Weinblatt, 31, yang startup-nya Betterific beroperasi dari Digital Commons di perpustakaan DC. Ketika dia cerita ke orang lain bahwa dia bekerja dari perpustakaan, “orang cenderung berkomentar, ‘kamu paling bekerja di ruangan kaku dengan berbagai tumpukan buku dan Wi-Fi lemot.’” Pada kenyataannya, Weinblatt dan timnya melalui hari-harinya dalam satu ruangan luas berjendela lebar di lantai pertama gedung yang dirancang oleh Ludwig Mies van der Rohe.
Kesenjangan persepsi ini mungkin menjadi tantangan terbesar perpustakaan dalam menarik freelancers ke ruang mereka yang makin mengakomodasi. Juga karena beragamnya latar belakang orang—antara lain pengangguran, mahasiswa, pensiunan, freelancer dan entrepreneur—yang mengunjungi perpustakaan, sulit bagi ruang-ruang publik ini untuk menyamai intensitas private coworking space di mana setiap orang membayar lebih mahal untuk akses. Meski saya melihat banyak “pekerja” di perpustakaan Brooklyn dan DC, ada juga banyak, kalau tidak lebih, orang-orang mengecek Facebook, menonton YouTube, leyeh-leyeh atau tidur.
Membiayai biaya operasional
Bagaimana membiayai ruang-ruang baru ini juga merupakan salah satu kekhawatiran utama. Anggaran perpustakaan yang terus dipangkas pemerintah telah menghasilkan jutaan dollar hilang dari anggaran perawatan perpustakaan. Sulit menerima adanya alokasi anggaran yang besar untuk membeli berbagai komputer workstation ketika sesuatu yang mendasar seperti pendingin ruangan di perpustakaan bahkan tidak berjalan dengan baik. Brooklyn terutama bergantung pada private funding untuk membiayai area Info Commons karena dana privat dirasa dapat melakukan renovasi dengan “lebih cepat dan lebih baik,” daripada jika menggunakan dana publik, yang memerlukan penggunaan kontraktor dari pemerintahan kota. Area Info Commons memang menjadi terbangun dengan lebih cepat karena dana privat ini. Namun bangunan perpustakaan bergaya Art Deco di mana Info Commons sendiri berada masih harus menunggu turunnya dana $100 juta untuk memperbaiki kerusakan atap, sistem ventilasi, dan lift.
Perpustakaan yang melayani pekerja harus menjaga keseimbangan antara berupaya menarik pengunjung berorientasi bisnis untuk menyegarkan ruang-ruang bacanya di satu sisi, dan di sisi lain menghindari tampak memberi perlakuan favorit dalam ruangan yang umumnya dianggap sebagai ruang egalitarian. Untuk melakukan ini, mereka mungkin membantu mendanai startup secara tidak langsung dengan menghubungkan mereka ke pendonor privat, atau membantu mengurangi biaya yang dihadapi startup pada umumnya. Misalnya, perpustakaan DC menggunakan federal grant $10.800 untuk mendigitalisasi peta-peta bersejarah, yang kemudian seluruhnya diserahkan dan ditangani oleh Map Story. Di Scottsdale, Arizona, pemenang acara tahunan Gadget and Demo Day, Morgan Coffinger, mengatakan bahwa meski dia tidak mendapatkan hadiah uang tunai, dia mendapatkan 20 pelanggan baru untuk sistem pembuat kompos Jepang rakitannya karena exposure acara tersebut. Dan sejak 2003, perpustakaan publik Brooklyn telah menyelenggarakan kompetisi rencana bisnis tahunan dengan hadiah tunai sampai $15.000, semuanya dibiayai oleh Citibank.
Presiden D.C. Public Library, Richard Reyes-Gavilán, membela peningkatan peran perpustakaan sebagai inkubator bisnis, dengan segala kaitan perpustakaan dengan buku, literasi, dan akses informasi. “Perpustakaan selalu merupakan tempat untuk memperbaiki diri. Kita menyediakan tempat untuk orang agar dapat tumbuh melalui rintangan dalam hidupnya, apakah itu seseorang yang sedang menjalankan usaha sendiri, atau orang yang pertama kali mendapatkan kartu perpustakaan agar mereka dapat lebih memahami pelajaran di kelas.”
President NYPL, Marx, menambahkan, “perpustakaan harus menyediakan akses gratis ke informasi dan ruang untuk terlibat dalam kehidupan pemikiran, to engage in the life of the mind. Apakah berupa ide bisnis baru atau memikirkan novel baru.” It’s a nice idea. Tapi sebagaimana dapat kita lihat dari kasus rencana renovasi NYPL yang digugat dan dibatalkan, berupaya untuk mengakomodasi semua orang dalam ruangan yang terbatas itu juga menimbulkan perdebatan dan pertikaian ruang.