Digital Media Design

DIY Talk #7: Digital Media
Minggu, 23 Oktober 2011, pk. 17.00
Perpustakaan C2O
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(lihat peta di sini: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)
INFO: (031) 77525216 / 0858 5472 5932

Pembicara:
Beny Wicaksono (WAFT)
Hendry Wahana (Motionanthem)
Pinkan Victorien (VJ Poystories)
Eko Ende (Kinetik)
Novi Elisa (VJ Subsidiary)
Arghubi Rachmadia (Public Space)
Phleg (Terbujurkaku)

Moderator:
Ayos Purwoaji (hifatlobrain)

Berpraktik di wilayah disiplin desain yang tergolong muda, para panelis dibawah ini selalu berada dalam tantangan mengolah pesan dan ekspresi mereka dalam bentuk medium yang karakter dan kompleksitasnya berkembang seiring laju percepatan teknologi itu sendiri.

DIY Screening
RIP: A REMIX MANIFESTO
Documentary | Music (2009) | Duration 80 min

Let web activist Brett Gaylor and musician Greg Gillis, better known as Girl Talk, serve as your digital tour guides on a probing investigation into how culture builds upon culture in the information age.

Reportase: DIY #5 Urban Art

Minggu, 16 Oktober 2011. DIY #5 kali ini dimoderatori oleh Obed Bima Wicandra, seorang dosen DKV dari UK Petra, yang telah lama menaruh perhatian terhadap seni urban dan di tahun 2005 bersama kawannya mendirikan Komunitas Tiada Ruang. Bersama Obed, hadir sebagai pembicara kali ini adalah Ryan Rizky sebagai perwakilan Street Art Surabaya; Dinar dan Lury Coco sebagai perwakilan BRAngerous, komunitas seniman perempuan kontemporer Surabaya; X-Go Warhol, dan Redi Murti.

Reportase: DIY #4 Comics

DIY Talk #4: Comics, 15 Oktober 2011, dibuka pk. 17.00 dengan pemutaran film dokumenter “Beautiful Losers” mengenai sekelompok seniman pop, dilanjutkan dengan DIY Talks, di mana para komikus menceritakan konsep mereka mengenai komik, serta proses produksi dan distribusi karya masing-masing. DIY Talk hari ini diisi oleh trio hantu Nusantara (Yudis, Broky, Pak Waw), X-Go dan Kat, dimoderatori oleh Ari Kurniawan dan Andriew Budiman dari Butawarna.

“Banyak dari para desainer sebenarnya sampai sekarang juga adalah penggemar komik. Dari yang hadir di sini, banyak yang memasuki desain juga karena berpikir, mana nih jurusan yang kira-kira bakal bisa banyak menggambarnya,” tutur Andriew membuka diskusi. Para pembicara kemudian diajak untuk memperkenalkan diri masing-masing, kemudian sharing pengalaman, sambatan dan tantangan masing-masing di dunia perkomikan yang sangat beragam.

Yudis, yang bekerja sebagai ilustrator dan storyboard artist di SAM Design, adalah alumnus Unesa angkatan 2003. Wiryadi Dharmawan, yang akrab dipanggil Pak Waw (dari Wawan), mengaku terjerumus dalam komik karena awalnya berlatar belakang animasi, dan kemudian diajak oleh Yudis dan Broky untuk bekerja sama, apalagi karena memang pada dasarnya cinta menggambar. Sementara Broky, yang bernama asli Misbachul Bachtiar, komikus yang mencintai komik.

X-Go berasal dari Bunuh Diri Studio, mengaku sebenarnya dia adalah komikus “gadungan”, yang kurang tertarik membuat komik realis*, dan dia lebih menyukai komik-komik di luar arus utama. Studionya, Bunuh Diri, pun dia sebut sebagai studio gadungan, karena studionya adalah rumahnya sendiri. Kat, mengaku sudah jarang membuat komik, tapi ingin membahas perkembangan komik sehubungan dengan Cergamboree, festival komik Indonesia-Prancis yang tahun depan akan memasuki tahun keempatnya diselenggarakan di Surabaya.

Latar belakang ketertarikan pada komik

X-Go mengaku pertama kali mengenal komik melalui Dragon Ball, dan membuat komik dengan model-model gambar Saint Saiya. Keduanya adalah komik dan animasi yang populer di masa remajanya di tahun 90an. Di tahun 1999, ada ajakan pameran komik dari studio Oret, dan X-Go tertarik mengikutinya. Di hari pembukaannya, dia cukup kaget melihat komik-komik yang dipamerkan ternyata tidak seperti komik konvensional yang selama ini dia kenal. X-Go mengklaim diri bukan komikus, karena dia lebih menyukai membuat komik yang melewati batas komik-komik pada umumnya, yang tidak dijual di toko-toko buku besar, yang mediumnya bisa berpindah-pindah. Dia hanya mengadaptasi art komik itu sendiri pada media lainnya.

Broky pertama kali ngomik sewaktu SMP juga, dengan membaca Kungfu Boy dan lain-lainnya. Menurutnya, meskipun mediumnya apa saja, tapi pada akhirnya komik itu sekuensial, berurutan, terjuktaposisi. Dia mengaku “terjebak” dalam bidang komik karena kuliah di desain grafis di Unesa, dan mulai mengenal komik waktu Pekan Komik Indonesia di Malang tahun 2005. Dia merasa asyik dan sangat menikmatinya, bisa ngomik bareng dan menggambar bareng, bertemu dengan komikus-komikus dari kota lain, dan memang benar, komik tidak terbatas pada medium kertas.

Pak Waw mengaku selalu suka komik, apa saja tipenya. Dia awalnya juga menyukai komik superhero karena komik itu memiliki warna-warna yang mencolok, padahal TV pada zaman kecilnya, masih hitam putih. Apalagi, sosok-sosok dalam komik itu heroik. Selain itu, dia sempat mewarisi komik dari kakeknya. Sayangnya, ibunya tidak menyukai hobinya itu. Pak Waw sempat membeli komik-komik Marvel seharga Rp.500an. Koleksinya itu sayangnya diketemukan ibunya, dan dibakar di depan matanya, karena ibunya berpikir kesenangannya itu merusak pikirannya, “nggarai koen goblok (membuat kamu goblok).”

Kemudian Pak Waw bertemu dengan Yudis dan Broky. Karena sebelumnya juga sudah pernah berkarya dalam berbagai kompilasi, Pak Waw, Yudis dan Broky kemudian ditawari oleh Beng Rahadian, editor penerbit Cendana, untuk membuat komik 101 Hantu Nusantara. Tidak disangka-sangka, komik itu cukup berhasil, Pak Waw diakui sebagai komikus Indonesia, dan dia merasa, komik itu memiliki daya tarik yang berbeda dengan animasi. Latar belakang animasinya juga memberinya fondasi tersendiri dalam berkomik, dan dia merasa komik memberi keasyikan sendiri yang berbeda dari animasi. “Mungkin juga ada dendam pribadi pada ibu saya,” candanya, “Komik saya dulu dibakar, sekarang anaknya jadi komikus, hehehe…”

Yudis bercerita bagaimana di kampus Unesa dulu, dia dan Broky membuat komunitas komik Outline Studio. Perkenalan yang lebih dalam mengenai komik didapatinya ketika kuliah, saat membaca berbagai buku mengenai komik di kampus. Menurutnya, dari komik, ada banyak sekali hal yang bisa kita dapat, dan dari komik juga, kita belajar untuk lebih peka. Dari komik, kita bisa belajar arsitektur, bisa mengenal watak dan sifat orang. Setelah ikut komunitas, ada pertanyaan, setelah itu, apa? Saat itu, profesi komik masih belum dipandang “seseksi” sekarang, dan belum bisa menghidupi. Tapi dari komunitas ini, Yudis merasa bisa mengenal berbagai komikus, bertukar pandang, dan membentuk jaringan—jaringan informasi, jaringan kerja, dll.

Senada dengan teman-teman, dan merujuk pada Scott McCloud, Kat juga memaparkan bahwa komik adalah gambar-gambar berurutan yang bercerita. Sementara kartun, meskipun mengadaptasi banyak bahasa komik, tidak bersifat sekuensial. Dalam sejarahnya, ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk merujuk pada komik, seperti seni sekuensial, novel grafis (biarpun tidak selalu novel dalam artian fiksi), cergam (cerita bergambar), illustories, picture novella, bandee dessinee, dan manga. Istilah-istilah ini muncul juga karena berbagai alasan, antara lain alasan geografi politis untuk identifikasi komik sebagai salah satu bentuk produk kebudayaan yang bisa dibanggakan. Kat sendiri menyukai komik karena dari kecil memang suka membuat cerita dalam dunia sendiri, dan komik memungkinkannya untuk membuat cerita dan dunia sendiri.

Komik meningkatkan literasi

Ada banyak klise-klise buruk dalam perkomikan, seperti misalnya, kecenderungan memandang komik sebagai tidak mendidik, membodohkan dan tidak mumpuni sebagai mata pencaharian. Di Indonesia, kebanyakan profesi komik masih belum bisa dianggap sebagai industri, lebih sebagai pekerjaan sampingan atau minat. Dulu komik memang pernah jaya di tahun 50-60an, di mana komik bisa menjadi mata pencaharian, tapi kemudian mengalami penurunan karena menghadapi persaingan dengan media lainnya.

Padahal sebenarnya, melihat kondisi minat baca di Indonesia, komik bisa menjadi salah satu bahan bacaan yang paling disukai. Lagipula, jika kita lihat, banyak sekali buku-buku ilmu pengetahuan, biografi dll. yang diterjemahkan dari bahasa asing dengan menggunakan format komik. Koran-koran melaporkan kegunaan komik sebagai panduan siaga bencana. Dengan menampilkan bahasa visual dan teks, komik bisa membantu pemahaman pembaca, sekaligus juga menantang komikusnya untuk menginterpretasikan bahan untuk komiknya tersebut.

Lintas Genre & Media

X-Go bercerita bahwa dia malah memandang komik sebagai bagian dari seni urban, dan dia juga tak jarang menorehkan komik di tembok-tembok kota. Komik Indonesia juga tidak lagi terbatas pada komik fiksi, tapi juga ada banyak peluang lainnya seperti komik untuk buku panduan, komik sejarah, komik siaga bencana, dan sebagainya.

Di sini dibahas bagaimana komik, yang diartikan sebagai gambar-gambar serta lambang-lambang lain yang bersandingan dalam turutan tertentu, tidak lagi terbatas pada kertas/buku, tapi sudah menjadi lintas media. Tidak ada batasan mengenai teks, gaya gambar, maupun jenis isi. Kini mulai bermunculan pula berbagai majalah komik online seperti rautan.com, makko.co. Ada adaptasi komik menjadi/dari animasi, novel, toys, aksesoris, patung, kain, bahkan batik.

Perlunya komunitas untuk sosialisasi dan edukasi

Tidak berbeda dengan pegiat kreatif lainnya di Surabaya, seperti yang telah dibahas di DIY Talks sebelum-sebelumnya, komikus-komikus pun mengeluhkan minimnya media dan ruang di Surabaya yang mengakomodasi komunitas, dialog dan kolaborasi. Mentok-mentok paling Balai Pemuda (yang baru saja terbakar) atau CCCL (yang tahun depan akan pindah ke tempat lain). Padahal, keberadaan komunitas dan infrastruktur lainnya yang mewadahi, mendokumentasikan, dan mensosialisasikan kegiatan-kegiatan ini dinilai sangat penting dalam perkembangan komik itu sendiri.

Para peserta menceritakan dengan sedikit nostalgis kenangan-kenangan lama mereka ikut serta dalam pekan komik di Malang, pekan komik nasional, dan berbagai cerita-cerita lain di mana mereka pertama kali bertemu. Mereka bercerita juga bagaimana pada awalnya mereka membuat komik dengan fotokopi. X-Go masih menyukai sistem fotokopi ini, sementara Yudis, Broky dan Pak Waw, meskipun sudah menerbitkan pada jalur penerbit, mengaku juga masih tetap menyukai etos komik komik indie yang memproduksi dan mendistribusikan sendiri.

Selain itu, tampak minimnya perhatian pada dokumentasi dan sejarah, serta pegiat-pegiat yang kurang memperhatikan aspek lain di luar proses produksi. Di sini dibahas juga fungsi dan misi Cergamboree, festival komik tahunan di Surabaya, yang pertama kali diadakan tahun 2008. Memasuki tahun keempatnya tahun depan, ada kemungkinan akan bergeser tanggal karena perubahan agenda dan tempat CCCL.

Acara-acara seperti pameran, menggambar bersama, workshop dan lain-lain memang sudah cukup marak dilakukan di Surabaya. Tapi, jarang sekali pelaku-pelaku komunitas saling berkumpul untuk berdialog dan bertukar informasi, apalagi berkolaborasi. Minimnya perhatian pada dokumentasi juga dinilai cukup akut—acara-acara sering digelar hanya untuk internal lingkaran sendiri, tanpa mempedulikan publikasi atau sosialisasi ke pihak-pihak luar, dalam bentuk blog post, misalnya.

Menurut Pak Waw, jika komik pernah mengalami masa jayanya, berarti komik semestinya bisa mengalami masa jayanya lagi. Tapi kelemahan utama dalam industri komik memang adalah pada manajemennya. Mau tak mau harus diakui, mindset komikus kebanyakan masih “mood-mood-an” dan belum mampu berdisiplin. Jadi kelakuan dan mitos “seniman” ini yang perlu dibenahi. Diperlukan adanya pembagian tugas dan kerjasama yang dibangun melalui pembentukan jaringan.

Terima kasih kepada seluruh peserta dan pengunjung diskusi: Yudis, Broky, Pak Waw, dan X-Go. Semoga diskusi kecil bisa sedikit memperkaya perkembangan kerjasama komik di Surabaya.

Fashion

Sabtu 22 Oktober 2011, pk. 17.00
Perpustakaan C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
Pembicara:
Kanya (VRY)
Marsha (kimilatta)
Ariani Widagdo (Arva School)
Era Hermawan (Tempat Biasa)
Alek Kowalsky (Ore Premium Store, allthethingsivedone)
Felkiza Vinanda (Surabaya Fashion Carnival)
Camomile Nungki (house of laksmi)

Moderator:
Linartha Darwis

DIY Talk hari ke 6 memecahkan rekor jumlah panelis terbanyak serta komplit dari berbagai aspek fashion. Mulai dari perancang fashion, aksesoris, blogger, retailer, dan akademisi, semua panelis disini memiliki passion yang sama terhadap dunia fashion. Simak dialog mereka dalam upaya merangkai infrastruktur fashion di Surabaya

DIY Screening: Bill Cunningham: New York (2010)

A cinematic profile of the noted veteran New York City fashion photographer.Cunningham’s enormous body of work is more reliable than any catwalk as an expression of

Urban Art

Minggu 16 Oktober 2011
Perpustakaan C2O
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(lihat peta di sini: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)
INFO: (031) 77525216 / 0858 5472 5932

17.00-19.30
DIY TALKS Day 5: URBAN ART

Panelist:
BRAngerous
X-Go (Studio Bunuh Diri)
Redi Murti (Nude Face)
Street Art Surabaya

Moderator:
Obed Bima

Di dukung dengan kemudahan teknologi dan komunikasi, bermunculan generasi-generasi baru yang melakukan praktik berkesenian dengan pendekatan yang identik dengan kebutuhan komunal mereka masing-masing. Beroperasi di wilayah kota yang serba dinamis, mereka mewakili gerakan seni yang terus berinovasi.

DIY Screening: Exit Through the Gift Shop
19.30-20.57
Documentary
(2009)
Duration 87 min

The story of how an eccentric French shop keeper and amateur film maker attempted to locate and befriend Banksy, only to have the artist turn the camera back on its owner. The film contains footage of Banksy, Shephard Fairey, Invader and many of the world’s most infamous graffiti artists at work.

Comics

Sabtu, 15 Oktober 2011
Perpustakaan C2O
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(lihat peta di sini: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)
INFO: (031) 77525216 / 0858 5472 5932

17.00-19.30
DIY Talk Day 4: Comics
Panelist:
Broky (outline studio)
X-Go (Studio Bunuh Diri)
Pak Waw (Mantri Animasi)
Kathleen Azali (C2O Library)

Moderator:
Andriew B
Ari Kurniawan

Berusaha membebaskan diri dari pengkategorian gaya gambar yang cenderung membelenggu, masing-masing komikus ini mencoba berkarya dengan pilihan bahasa visual mereka masing-masing. Yang menarik mereka memilih pendekatan yang berbeda dalam proses produksi dan distribusi karya komik mereka.

DIY Screening: Beautiful Loser
19.30-21.00
Documentary
(2009)
Duration 90 min

Reportase: DIY #3 Graphic Design & Branding

Bila berbicara tentang dunia desain grafis di Surabaya, baik itu dalam lingkup bisnis maupun iklim berkarya, tak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki bersama. Dalam usaha perbaikan tersebut, cara berpikir yang mencoba untuk memperbandingkan kondisi di Surabaya dengan Bandung, Jakarta, Jogja dan kota-kota lain di Indonesia, mungkin tidak sepenuhnya perlu dahulu. Surabaya memiliki permasalahan dan sejarah permasalahannya sendiri, yang tentunya berbeda dengan kota-kota lain.

Mencoba untuk mendiskusikan kondisi riil dan potensi-potensi khusus di Surabaya bersama pelaku-pelaku di dunia desain grafis Surabaya bisa menjadi sebuah awalan untuk membawa dunia desain grafis Surabaya lebih terarah dan berkontribusi langsung bukan hanya pada pelaku bisnis, tapi juga masyarakat luas. Acara DIY hari ketiga ini, berusaha menghadirkan desainer-desainer grafis dari berbagai sektor, mulai dari sektor publik, korporasi, komunitas, hingga tipografi dan seni jalanan untuk menjadi pembicara. Mereka adalah Bayu Prasetya (graphichapter), Jimmy Ofisia (MAM), Iko (ikiiko), Obed Bima (DKV Petra), dan Bing Fei (Veith Design)

Para pembicara ini diundang untuk berbagi pengalaman dan juga cara pandangnya tentang dunia desain grafis Surabaya bersama sesama desainer lain, mahasiswa maupun masyarakat awam yang hadir pada malam itu. Permasalahan yang disinggung dan dibahas pada malam itu bisa dibilang sangat luas, tapi tentu saja tetap dengan berusaha berpijak pada isu nyata yang terjadi di Surabaya. Isu-isu mendasar seperti tentang tanggung jawab sosial, meskipun klise, akan selalu perlu untuk menjadi salah satu isu yang diangkat ke permukaan guna dibicarakan, apalagi dalam konteks dan pengalaman desainer lokal Surabaya.

Reportase: DIY #2 Design Business & Management

Diskusi kedua dalam rangkaian acara Design It Yourself (DIY 2011) yang diselenggarakan pada tanggal 8 Oktober 2011 ini berlangsung hangat dan meriah. Para pembicara terlihat antusias dalam membedah bersama mengenai praktik dan implementasi dari manajemen desain. Diskusi menjadi lebih menarik karena latar pembicara yang beragam, ada yang berasal dari agensi, ada yang berbasis komunitas, ada juga yang berlatar belakang sebagai seorang lonesome freelancer.
Tapi dari semua pembicara memiliki benang merah yang sama, bahwa manajemen terhadap proses desain itu sangat penting. Namun yang membedakan antara satu pembicara dengan pembicara lainnya adalah pelaksanaan manajerial yang tergantung pada jenis usaha yang dijalankan. Maritjee misalnya, ia memilki jam kerja rutin setiap harinya untuk memudahkan produksi tas hasil rancangannya yang dilakukan oleh para pekerja. Sedangkan Bayu, managing director dari graphichapter, mengatakan bahwa alur manajerial di bironya tidak hierarkis (top-down management), melainkan setara. “Saya nggak ingin mematikan adanya potensi ide baru dari para desainer. Selain itu kami membagi dua pola kerja, satu bagian konsep (dikerjakan oleh para senior desainer) dan satu lagi bagian eksekusi (terkadang dikerjakan oleh para junior desainer, biasanya outsourcing mahasiswa desain)”
Untuk jam kerja, GraphiChapter menerapkan jam kerja biasa seperti layaknya kantor lain, tapi ini tidak berjalan kaku. “Seringkali desainer datang setelah Dhuhur atau sore, biasanya yang datang sore ini mereka yang ingin bermalam di kantor. Aturan main kami fleksibel, asalkan finish by deadline. Jadi misalnya ada waktu seminggu untuk bikin dummy, ya sudah terserah desainer mau mengerjakan kapan saja, asalkan selesai pada waktunya, biasanya H-1 sudah diserahkan,” kata Bayu. Sedangkan Nitchii menerapkan standar waktu yang berbeda. Ia mengerjakan berbagai proyek ilustrasinya di malam hari. “Soalnya aku kan masih kerja di agensi ya, jadi kalo sore pulang kerja, malamnya aku kerjain ilustrasi. Di sini passionku. Dalam waktu dekat bisnis ilustrasi dan craft ini mau aku tekuni secara full-time, sedangkan kerja di agensi jadi sampingan…” kata Nitchii.
Komunitas menjadi bagian penting yang menyokong proses kreatif para desainer. Semua pembicara sepakat akan hal tersebut, termasuk Nitchii dan Maritjee yang tergabung dalam serikat desainer wanita di Surabaya yang bernama BRAngerous. “Komunitas kreatif ini yang bikin kita terus berkarya. Sering kita tukar pikiran atau gagasan meski hanya lewat milis saja,” kata Maritjee. Arghubi, dari Aiola dan Global appleworks mengatakan bahwa menjaga keberlangsungan sebuah komunitas juga bukan hal yang mudah. “Pasti jatun bangun, ada yang datang ada yang pergi. Tapi berbagai kolaborasi kreatif membuat kita bisa terus berdiri sampai hari ini,” kata Ghubi yang turut membangun Global appleworks sejak 2004.
Sharing menarik tentang keberadaan komunitas juga disampaikan oleh MADCahyo, seorang sesepuh di deMaya, desainer muda Surabaya, sebuah komunitas untuk para desainer (muda?) yang beberapa kali menggelar acara kreatif di Surabaya, termasuk Surabaya Design Week di tahun 2008. “Komunitas itu seperti rumah, tapi tanpa sekat, tanpa pintu, dan tanpa tembok. Siapapun boleh keluar masuk dan berkontribusi. Anggota deMaya datang dari mana saja, mulai kelasnya profesor hingga mahasiswa, dari freelancer hingga pemerintah kota. Jadi ini merupakan ladang untuk memperluas pergaulan dan saling bersilaturahmi antar insan kreatif,” kata MADCahyo. Pernyataan sesepuh deMaya ini langsung ditanggapi oleh Bayu GraphiChapter,”Sebagai salah satu anggota deMaya, saya juga dapat relasi dengan pemerintah kota dari milis ini. Jadi ya bisa jadi dengan bergabung di komunitas kreatif, selain memperluas pergaulan kita juga bisa menjaring klien baru yang potensial. Komunitas yang kuat dan sustainable seharusnya bisa hidup dan menghidupi anggota komunitas itu sendiri,” kata Bayu.
Namun berurusan dengan pemerintah sendiri masih menjadi domain yang agaknya rawan bagi para desainer. “Mereka itu masih belum punya regulasi yang jelas untuk menentukan tender-tender desain. Konon proyek bagi para desainer masuknya di sub multimedia, tapi proyek multimedia isinya hanya pengadaan komputer di sekolah-sekolah,” kata Bayu.
“Pemerintah itu kadang labil deh, dulu film Surabaya Grammar kami pernah dikoreksi habis-habisan karena banyak kata-kata pisuhan yang vulgar, eh saat kami mengeluarkan CuloBoyo Juniol, malah kami ditawari tender untuk pendidikan animasi bagi sekolah dasar di Jawa Timur. Bingung deh, apa sih maunya pemerintah ini?” kata Vinka, dari Gathotkaca Studio. Kondisi pemerintah kurang wawasan tampaknya menjadi penyebab lesunya atmosfer kreatif di Surabaya. Jadi, konsepsi “managing the design strategy” yang harus dilakukan dalam wilayah besar itu masih belum ada wujudnya di Surabaya. Meski diklaim sebagai kota yang memiliki ciri khas, namun tidak ada visi yang jelas dari para pelaku kreatif di Surabaya, semua berjalan sendiri-sendiri.
“Saya memiliki manajemen berupa: membagi proyek desain menjadi dua; profitable dan non-profitable. Untuk yang profitable saya bagi dua; governmental project atau non-govermental. Nah saat mengerjakan proyek pemerintah (governmental project) maka harus disiapkan tiga platform mental; putih, hitam atau abu-abu. Bekerja dengan pemerintah itu menurut saya kebanyakan wilayahnya abu-abu,” kata Ghubi.
Sedangkan usul menarik datang dai Jeri Kusuma, seorang desainer freelance, yang sering mengerjakan proyek kreatif untuk pemerintah, “Masih ada banyak celah yang bisa dimasuki oleh para desainer. Pemerintah kota Surabaya ini butuh banyak sekali masukan kreatif untuk menyelesaikan permasalahan kota. Saya pernah mengusulkan beberapa ide dan dari sekian ide itu banyak yang diterima. Tapi bekerja dengan pemerintah memang tricky, apalagi untuk proses pembayaran. Saran saya, pakailah kalender kerja pemerintah. Masukkanlah ide sebelum anggaran kerja baru dibuat,” kata Jeri.
Peran pemerintah dalam mendukung iklim kreatif memang masih dibutuhkan. “Seperti kami para penggiat film, sangat sedikit sekali ruang umum di Surabaya yang bisa kita manfaatkan untuk screening film. Padahal untuk menyewa Balai Pemuda, misalnya, itu butuh uang yang tidak sedikit. Padahal para penonton masuk gratis. Jadinya ya kita membiayai proyek kreatif dari hasil kerja reguler dan penjualan merchandise yang tentu saja hasilnya tidak seberapa,” kata Vinka.
“Saya pernah mengurus ijin merek di pemerintah, tapi sepertinya ribet sekali, jadi ya sampai sekarang saya belum mengurus lagi merek saya,” kata Maritjee. “Saya juga masih nyaman dengan proyek-proyek bukan pemerintah,” kata Nitchii. Dua desainer wanita ini justru punya pandangan menarik tentang strategi marketing. “Kami lebih suka menggunakan media internet yang borderless. Karya kami lebih mudah mendapat apresiasi di luar negeri. Setelahnya, saat banyak orang Indonesia yang sudah aware, baru kami pasarkan produk kami untuk orang Indonesia,” kata Maritjee dan diamini Nitchii. Proyek idealis dengan skala kecil ini tampaknya masih menjadi pilihan yang menarik bagi para single fighter freelancer seperti mereka berdua. “Bahkan proyek kolaborasi gratisan menurut saya jauh lebih menarik, tapi suka pusing juga kalo ada orang luar negeri pesan craft saya, terus saya harus mengurus biaya kirim yang jauh lebih mahal dari biaya produksi craft itu sendiri,” kata Nitchii.
Sedangkan Bayu yang harus menghidupi banyak desainer di bawah kendalinya justru punya pemikiran lain. “Dulu awalnya saya berpikir untuk mencari klien sebanyak-banyaknya. Sampai banting harga di depan klien demi mendapatkan efek word of mouth yang bombastis. Tapi nyatanya itu nggak sustainable. Daripada mengurus banyak klien, sebetulnya lebih baik mengurus sedikit klien tapi benar-benar loyal. Menurut pengalaman saya di GraphiChapter, mengurus tiga klien saja dengan proses desain yang benar, dengan manajemen yang bernar, dan dengan bayaran yang benar pula, kita sudah bisa hidup di Surabaya. Bahkan bisa juga kasih bonus gaji ke para desainer saya. Tapi ya harus itu, semua dikerjakan dengan benar,” kata Bayu. []

Reportase: DIY #1 Introduction to Design

“Ayah, desain itu apa?” tanya Jasmine. Pertanyaan yang sebelumnya dilontarkan iseng oleh Ayos padanya. Pak Ramok, ayahnya, tertawa kecil dan menjawab, “Kamu duduk di sini saja. Mungkin nanti kamu akan tahu jawabannya.”

“Sembilan tahun yang lalu pertanyaan yang mirip pernah dilontarkan juga pada saya, oleh calon mertua saya. ‘Kerjanya apa?’ Kalau saya jawab ‘desainer’, mereka tahu nggak yah? Bisa-bisa malah memancing pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak. Jadi saya jawablah, ‘Dosen’. Dan selesailah semua permasalahan,” lanjut Pak Ramok, disambut gelak tawa para pengunjung.

***

Minggu sore, 2 Oktober 2011, tikar-tikar telah siap di pelataran belakang C2O. Sambil menunggu acara dimulai, ada yang melihat-lihat atau membaca-baca buku. Di ruang kecil di belakang, ruang yang disulap menjadi think thank lab (alias kantor, gudang, sekaligus kamar kos (??) C2O), presentasi untuk malam itu disiapkan.

Memang, ada banyak pengertian desain, entah sebagai cara berpikir (way of thinking), pemecahan masalah (problem solving), sebagai hasil, sebagai proses, sebagai hanya visual, dan lain-lain. Di Design It Yourself (DIY), desain kami artikan sebagai sesuatu yang sangat mendasari aktifitas manusia—penempatan dan pengelolaan apapun untuk mencapai tujuan yang dinginkan adalah proses desain. “Semua orang mendesain, ketika mereka merancang rangkaian rencana, cara, aksi, apapun, untuk merubah situasi yang ada sekarang, menjadi situasi yang lebih baik atau diinginkan,” papar Andriew Budiman dalam presentasinya mengenai DIY 2011 yang membuka acara malam itu. Desain di sini kami pahami sebagai pemikiran yang integral, apalagi di jaman yang semakin mobile dengan sistem berjejaring, makin diperlukan ruang untuk bertatap muka, berdialog, menyikapi perbedaan dan berkolaborasi.

Maka, di tahun pertama Design It Yourself, kami mengangkat tema Contemporary Local Design Scenes dengan tujuan mengumpulkan, meneliti dan memetakan situasi, kondisi, dan permasalahan-permasalahan dalam desain di Surabaya. Fokus utama memang pada dialog dan diskusi, dengan suasana yang santai dan tentunya tidak kehilangan begejegan khas Suroboyoan.

Graphic & Branding

Minggu 9 Oktober 2011
Perpustakaan C2O
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
INFO: (031) 77525216 / 0858 5472 5932

17.00 – 19.30
DIY Talk Day 3: Graphic & Branding

Pembicara:
Bayu Prasetya (graphichapter)
Jimmy O. (MAM)
Iiko (ikiiko)
Obed Bima (DKV Petra)
Bing Fei (Veith Design)

Moderator:
Andriew Budiman / Ari Kurniawan (Butawarna Design)

Para desainer grafis berikut memiliki spesialisasi masing-masing. Mulai dari desain untuk sektor publik, korporasi, komunitas, hingga tipografi dan seni jalanan. Di hari ketiga DIY Talks, bergabunglah dengan mereka untuk menyatukan perspektif demi mengurai siklus permasalahan desain grafis di Surabaya.

19.30 – 21.00
DIY Screening: Helvetica
Documentary | USA | 80 min | 2007

Film ini diluncurkan bertepatan dengan ulang tahun typeface Helvetica yang ke 50. Sebuah dokumenter tentang tipografi, desain grafis, dan budaya visual global yang akan memberi gambaran bagaimana typeface mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.

Monggo teko, it’s gratis.