Anatomy of a Good Client

ADGI corner presents Handling a Client Series: Anatomy of a Good Client
Jumat, 30 Maret 2012, pk. 18.00
C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264 Indonesia

Obrolan lesehan sante membahas dan berbagi pengalaman soal pengalaman dengan klien, bersama:

Alvin Raditya (Visual Cast)
Bayu Prasetya (Graphichapter)
Raka Bagus (Skawan)
Ramok Lakoro (TheDjangkaroks)

Gratis & terbuka untuk umum.

Info: Ari Kurniawan 0856 337 7898

Mohe Wae Rebo!

Pemutaran & diskusi film arsitektur nusantara: Mohe Wae Rebo!
Bersama Rendy Hendrawan & Arya Wishnu Wardana
Jumat, 16 Desember 2011
Pk. 18.00 – 21.00

Tersedia popcorn dan minuman hangat, courtesy of Hifatlobrain Travel Institute, kru Mohe Wae Rebo dan C2O. Mohon sumbangan kawan-kawan untuk menjaga kelangsungan kegiatan ini ;-)
INFO: info@c2o-library.net
———-
Benarkah dimuseumkan berarti telah punah?
Menjadi pusaka berarti dibiarkan berdebu dan beku dimakan waktu?
Tercatat dalam sejarah berarti harus siap terlupakan dan digantikan oleh hal baru?

*

Seperti ada yang ingin disampaikan oleh alam melalui deretan gunung dan bukit, aliran sungai dan selapis kabut, langit pagi dan malam, juga mata yang memandang ramah sejumlah turis yang kebanyakan bukan berasal dari tanah nusantara.

Mungkin Wae Rebo memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang dengan tulus ingin mencintai alam hingga ke akarnya. Berjam-jam perjalanan jauhnya dari gemerlap lampu kota dan gemercik air mancur bernilai milyaran, memang sangat logis jika hanya segelintir orang Indonesia diantara jutaan yang berjubel memenuhi pulau Jawa yang mampu dan mau menyempatkan waktu mencicipi surga dunia di tengah belantara ini. Alam memberi bayaran yang setimpal. Tak hanya sebentang lukisan hijau berhias kabut melatari rumah adat tua berbentuk kerucut yang bisa dinikmati sambil menyeruput kopi hitam di pagi hari, alam juga menghadiahi taburan bintang yang menjadi tayangan pembuka saat malam, sebelum kepala suku mulai bercerita tentang warisan budaya mereka yang dengan tekun mereka jaga.

Masyarakat Wae Rebo menghargai alam dari lapisan yang paling esensial. Nilai yang alam ajarkan sejak nenek moyang mereka tuangkan dalam keseharian, disimbolisasikan ke dalam Mbaru Niang (rumah adat) dan pola sawah yang mereka buat. Setiap detail perilaku mereka terlihat sederhana, namun merupakan budaya kaya dan tak lekang oleh zaman. Yang pernah rapuh dan hilang, kini tergantikan, dengan dukungan segelintir saudara setanah air mereka yang masih sanggup datang dan peduli.

*

Suatu siang ketika ketujuh Mbaru Niang telah tegak berdiri, siap dihuni, sayup terdengar lagu Indonesia Raya dikumandangkan dengan fasih, tanpa cela. Di ujung atap Mbaru Niang yang kembali sempurna, melambai-lambai bendera kebangsaan Indonesia.

“Seperti melihat nenek moyang lahir kembali dari rumah yang setelah sekian lama hilang, lalu kini bangkit dan berdiri,” kata seseorang dari Wae Rebo. Ah, Wae Rebo tidak boleh mati hanya agar dapat kita buat museumnya dan dinikmati tanpa hati.

Terima kasih, Wae Rebo, pusaka arsitektur nusantara tidak pernah seindah dan sehidup ini.

Mohe Wae Rebo!

Sumber: Ronaldiaz Hartantyo dan Adi Reza Nugroho
Ditulis oleh Rofianisa/Vidour untuk “Bring Waerebo to 21st Century” iPad Application Project

Anak Naga Beranak Naga

Pemutaran & diskusi dokumenter
Anak Naga Beranak Naga: Gambang Kromong, akulturasi budaya Tionghoa Betawi
Minggu, 20 November 2011, pk. 18.00 – 21.00
C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Jalan kecil seberang Konjen Amerika. Lihat peta di: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)

Bersama:
Ariani Darmawan (sutradara)
Moderator: Ardian Purwoseputro

Tidak banyak orang tahu bahwa Gambang Kromong, yang sempat dipopulerkan oleh Lilis Suryani di tahun 60-an dan duet Benyamin S. – Ida Royani di tahun 70-an, adalah sebuah musik akulturatif berbagai etnis di Indonesia yang cikal bakalnya telah dirintis lebih dari dua abad lalu. Irama gambang kromong dengan tata laras Salendro Cina pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa Peranakan sebelum akhirnya mengalami percampuran dengan budaya Jawa, Sunda, hingga Deli, membentuk sebuah musik harmonis yang kini menjadi salah satu ciri khas Betawi.

Selain mengungkapkan sejarah panjang keharmonisan budaya dan musik tersebut lewat gaya tuturnya yang dinamis dan fluid, film ini juga sekilas bercerita tentang kehidupan orang-orang Tionghoa Peranakan sebagai pelaku utama musik Gambang Kromong saat ini.

Berdasarkan kompleksitas musik Gambang Kromong itu sendiri, film ini adalah sebuah catatan humanis, puitis, musikal, hingga komikal tentang musik dan budaya yang terpinggirkan.