My Name is Red

Jika sebuah novel dianalogikan sebagai tempat refreshing, maka ada novel yang memberikan kesenangan berkunjung ke Taman Safari.  Novel yang lebih seru lagi dan lebih trendi bisa dianalogikan sebagai ecotourism yang menawarkan petualangan di alam bebas dengan guide yang menjaga kita dari bahaya selama perjalanan. Dibandingkan dengan kedua jenis novel tadi, My Name is Red adalah sebuah petualangan naik gunung—gunung yang sangat tinggi dan baru pertama kali kita daki. Gunung yang menyimpan keindahan-keindahan selama perjalanan, memberikan pengalaman spiritual, menguji iman dan fisik untuk mencapai puncak dan selamat kembali sampai di rumah. Persiapan, tantangan, kelelahan dan kenikmatannya beda langit dan bumi; tidak semua orang sanggup dan mau menempuhnya. Petualangan yang beresiko dan menjadikan kita ‘lahir baru’.

Sebelum membahas satu persatu tentang tantangan, keindahan,  dan resiko dalam membaca novel ini, saya ingin menceritakan keistimewaan novel ini secara pribadi. Pertama adalah isi novelnya yang akan dibahas nanti dan kedua adalah konstelasi novel berikut penulisnya dalam petualangan sastra saya sejauh ini.  Orhan Pamuk adalah nama yang asing di telinga ketika buku ini saya temukan di meja ‘for sale each item $1’ di sebuah perpustakaan lokal.  Sampul depan mengingatkan lukisan jaman Jenghis Khan tapi ornamennya mengingatkan ornamen di Taj Mahal atau Alhambra. Di sampul belakang blurb ala Twitter yang hanya 140 karakter merebut rasa ingin tahu saya. Blurb itu mengingatkan pengalaman luar biasa setelah membaca novel Umberto Eco The Name of The Rose (1983 English Ed); serasa menemukan penulis sekaliber Eco versi Turki. Komentar-komentar kritikus sastra di sampul belakang dan depan sering membuat saya sangsi, tapi hipotesis sendiri tentang ‘Eco versi Turki’ itu sungguh meyakinkan.  Hanya dengan membaca novel ini, dan membandingkan dugaan semula dengan kenyataan setelah membacanyalah, baru kita dapat membuktikannya.

Novel ini sungguh melelahkan namun berhasil memaksa saya dengan suka rela membaca lembar demi lembar hasil kondensasi pemikiran penulisnya yang kaya dan dalam. Rasa lelahnya sama dengan The Name of The Rose: misteri yang sama-sama menarik, keduanya menggunakan setting abad pertengahan dan mengusung sebuah versi sejarah utuh yang jarang kita baca di arena sastra Indonesia. Di pertengahan buku saya sudah penuh rasa ingin tahu, siapakah Pamuk ini? Saya bertahan sampai buku selesai demi memperoleh sensasi minim bias.  Belakangan setelah buku usai dan seminggu kelelahan seperti pulang dari mendaki gunung, saya buka internet dan menemukan ‘Eco versi Turki’ ini malah telah mendapatkan anugerah Nobel sastra  tahun 2006. Buku ini istimewa karena saya telah menemukan penulis hebat murni dari pengalaman sendiri, bukan karena diberi tahu sebelumnya atau telah membaca somewhere tentang Pamuk dan buku-bukunya, dan memberi saya sebuah sense of accomplishment.

Tantangan

Penggemar novel biasanya mengembangkan keahlian-keahlian dengan makin sering membaca. Salah satu keahlian adalah kemampuan untuk mengantisipasi: dengan bekal pengalaman dan pola-pola dari novel-novel  sebelumnya kita bisa mengantisipasi novel yang sedang kita baca. Biasanya antisipasi ini merupakan sebuah kesinambungan yang mulus. Keahlian antisipasi ini membuat kita bisa menduga dan mengurangi efek kejut dari sebuah novel baru. Inilah yang kita temukan di taman wisata (atau di mall-mall ?) dimana efek kejut dan encounter hal baru hampir tidak ada lagi. Ketika sebuah novel tidak mengingatkan kita pada pola-pola terdahulu, novel itu memberikan sebuah pengalaman baru. Coba kita lihat bab pertama novel  My Name is Red ini yang berjudul ‘I Am A CORPSE’ . Pembaca yang sangsi tentu bertanya-tanya kenapa naratornya sosok jenasah?  Bukan itu saja, nanti di bab berikutnya kita melihat naratornya seekor anjing (bisa dilihat juga sebagai narasi sang juru cerita dikedai kopi), sebuah koin emas dan suara kematian itu sendiri. Kita mungkin punya pengalaman dengan novel bernarator banyak seperti ini, tapi novel ini melangkah lebih jauh lagi baik dalam teknik dan dalam kontennya.

Secara teknik, Pamuk menyusun misterinya berlapis dua. Karakter dalam kisah yang berkaitan langsung dengan misteri diberi dua nama, satu nama asli dan satu lagi nama narrator. Pemberian nama ekstra ini juga menuntut pemikiran  ekstra untuk mengikuti alur besar misteri. Bab berjudul ‘I am your beloved uncle’ masih mudah ditebak, tapi ketika naratornya menyebut dirinya ‘I am called Butterfly’, kita tidak terlalu yakin tokoh yang mana yang sedang bertutur—kita hanya dibekali petunjuk tentang keahlian mereka dari kisah yang mereka utarakan; dalam menggambar kuda misalnya. Teknik ini jelas membuat pembacanya meluangkan memori ekstra dari “komputer” mereka.  Selain misteri utama tentang pembunuhan, konstelasi karakter menjadi misteri lapisan kedua. Pembaca harus merangkum sendiri potongan-potongan misteri ini untuk bisa menikmatinya; inilah yang melelahkan.

Secara konten, novel ini mengusung backdrop besar yang bisa membuat pembaca berkecil hati. Sejarah politik Turki, sejarah seni lukis Islam di Turki, hikayat Turki, tradisi Turki dan semua itu berseting di akhir abad ke-16.  Tantangannya adalah bagaimana kisah negeri asing ini bisa menarik minat kita? Apakah kita sudah puas hanya dengan tahu cerita, plot dan akhirnya? Bahkan pembaca buku kawakan  sekalipun seringkali membatasi cakupan bacaan mereka dengan bacaan yang sesuai dengan selera mereka. Backdrop inilah yang justru (menurut opini saya) menjadi pengalaman terindah di novel ini.

Keindahan

Keindahan apa yang dianalogikan dengan pemandangan yang hanya diperoleh dengan mendaki gunung? Keindahan tulisan yang bagaimana yang berbeda langit dan bumi dengan keindahan artifisial taman iburan?

Mengutip Ian Chambers dalam bukunya Popular Culture, sastra berbeda dengan tulisan popular dalam  hal tuntutan cita-rasa, pengetahuan, dan moment of attention yang berbeda dengan ala kadarnya tuntutan hal-hal tersebut di kehidupan sehari-hari. Kalau tulisan popular memobilisasi cita-rasa tektil yang otomatis, novel Pamuk ini menuntut estetika abstrak yang hanya bisa diperoleh melalui banyak bacaan pendahuluan.

My Name is Red oleh Orhan Pamuk (2001). No. Panggil: F PAM Myn

Ketika membaca berulang-ulang (di berbagai bab) bagaimana para master di novel ini melatih keahlian mereka dalam menggambar kuda pada saat yang sama, kita teringat kisah penyanyi castrato yang hanya diperbolehnya menyanyikan satu lagu selama empat tahun oleh gurunya atau pemain flute yang diminta membunyikan sebuah not yang sama setiap kali session latihan. Ketika master itu menggambar kuda hingga buta dan berhasil menggambar kuda terindah dalam keremangan kebutaannya, kita teringat kisah master kungfu dalam gemblengan latihan mereka di cerita silat Khu Lung.  Di bagian ini saya melihat adegan kisah silat Hina Kelana terjemahan Gan K.L  (di filmkan berjudul Swordman yg dibintangi Jet Li) ketika Lenghou Tiong pergi ke dasar danau untuk mencari jalan membebaskan seorang tawanan berbahaya yang dijaga empat orang jago sepuh kawakan yang memiliki hobi aneh-aneh;  catur, arak, lukisan dan kaligrafi. Benang merah dari dua genre novel ini adalah eksistensi dunia  diluar perhatian kita. Dunia lukisan memiliki sejarah sendiri dan jago-jago yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk lukisan. Dunia ini memiliki filosofi sendiri dan memiliki pengikut yang siap mati demi membela master pujaan mereka.

Ketika membaca bagaimana setiap Sultan melakukan ritual paling penting pertama kali setelah merebut sebuah kerajaan tetangga—membakar perpustakaan istana dan menghapus sejarah kerajaan yang dikalahkan—kita teringat kisah sejarah yang terjadi dimana-mana dan di setiap era. Kita juga melihat betapa pentingnya keberadaan buku, betapa seringkali sejarah tidak bisa diandalkannya kebenarannya.

Ketika para master lukisan itu begitu kuatir dengan datangnya gaya lukisan Italia yang diidentikkan dengan nasrani dan kekafiran, kita teringat sejarah sains ketika pandangan heliosentrik disensor habis oleh gereja dan ancaman ekskomunikasi bagi para penganutnya. Kita juga teringat datangnya teknologi cetak buku yang  merubah bagaimana umat manusia melihat dunia tempat mereka tinggal.

Novel Pamuk  menerbitkan begitu banyak recall pengalaman membaca. Ini membuktikan kekayaan bacaan penulisnya sendiri dan pergulatannya dengan tema-tema besar kemanusiaan. Di antara topik yang asing, misteri yang berlapis, tulisan yang panjang berprosa liris, kita menemukan pemandangan mental yang indah. Memang keindahan tersembunyi dari sebuah celah tebing yang sulit ditempuh tentunya pantas dengan harga yang harus dibayar.

Resiko

Mendaki gunung membawa resiko yang sangat besar. Resiko apa yang dikandung novel ini? Bahkan di bab pertama sang Jenasah telah berkata “My death conceals an appalling conspiracy against our religion, our traditions and the way we see the world.”  Sebuah persoalan serius akan muncul dalam membaca buku ini khususnya bila dikaitkan dengan iman agama, tradisi dan bagaimana kita melihat dunia ini.

Agama merupakan sasaran empuk penulis-penulis yang berani. Kita membaca spekulasi sejarah gereja Katholik di novel-novel Dan Brown, kita membaca reaksi umat muslim ketika buku The Satanic Verses terbit, novel Siddharta oleh Hermann Hesse juga membuat kalangan Buddha gerah dan tidak luput juga novel bestseller George Dawes Green The Juror yang memiliki karakter jahat penganut Tao. Membaca novel-novel ini iman kepercayaan kita dipertaruhkan. Inilah pengalaman spiritual yang kadang membuat kita menjadi pribadi yang berbeda setelah membacanya. Apakah menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk mungkin sulit dijawab tapi goncangan mendasar dalam beragama pasti terjadi. Novel My Name is Red juga mengusung tema besar dalam sejarah praktek agama di Turki pada jaman itu. Bagaimana prasangka penduduknya terhadap penganut agama lain atau sekte lain dalam agama yang sama. Kita melihat bagaimana mereka mentafsirkan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari mereka. Contoh yang paling mengena adalah bab berjudul ‘I am a Dog’ dimana seekor anjing bertutur kata dan meledek pandangan-pandangan orang pada jaman itu tentang kenajisan seekor anjing bahkan dengan sumber argumentasi dari kitab suci itu sendiri.  Novel adalah karya spekulasi yang meskipun kadang didukung fakta sejarah dari riset akademik, tetap hanyalah argumentasi novelisnya dan terbuka untuk disanggah.

Tradisi merupakan goncangan lain yang sulit untuk diterima. Ketika sebuah gaya lukisan baru muncul dan begitu digemari, tradisi lama terancam sampai ke akar-akarnya. Perubahan sungguh pahit apalagi setelah sekian lama pengorbanan materi dan mental dicurahkan demi sebuah tradisi lama yang agung namun harus menerima kenyataan kadaluwarsa. Kita juga melihat bahwa ironi yang sama terjadi di setiap bidang dan di setiap era sejarah umat manusia. Goncangan tradisi ini menjadi titik tolak misteri dalam buku ini; pembunuh merasa memiliki motif yang mulia untuk melakukan kejahatannya. Ketika sebuah kejahatan dapat dirasionalisasi maka sendi-sendi moralitas akan runtuh.

The way we see the world adalah perubahan yang lebih tidak terasa. Hanya mereka yang memiliki wawasan luas, pandangan jauh ke belakang dan kedepan yang bisa mengantisipasi dan menyimpulkan perubahan umat manusia dalam melihat dunia mereka.  Umumnya kita tidak terlalu sadar akan perubahan ini. Sampai kita membaca buku Elizabeth Einstenstein berjudul The Printing Press as an Agent of Change (1979) kita tidak pernah tahu kalau mesin cetak begitu besar berpengaruh dalam sejarah dunia. Sampai kita membaca buku berjudul Orality and Literacy karya Walter J.Ong (1982) mungkin kita tidak pernah tahu bahwa baca-tulis itu sendiri merupakan teknologi yang merubah struktur otak kita menjadi spesies pembaca. Selama sekolah kita tidak pernah belajar hal-hal yang tampak sepele ini. Dari buku dan pelajaran  sains yang mendominasi pelajaran di sekolah dan bacaan popular kita mendapat inspirasi akan luar biasanya  perubahan paradigma dari fisika Aristotelian ke fisika Newton, dari fisika Newton ke fisika Einstein. Perubahan paradigma itu membuat kita sadar pentingnya sains dan teknologi terapannya.  Novel Pamuk ini secara unik dan berhasil telah menyajikan spekulasi meyakinkan tentang pergeseran paradigma (paradigm shifts) di arena sosial. Seperti argumentasi dalam buku Einstenstein dan Ong,  seni lukis juga merupakan teknologi yang ‘merubah struktur otak’ manusia.  Seperti juga sastra lisan-nonlisan, agama dan sains (yang saat ini mendominasi perspektif mayoritas umat manusia masa kini), seni lukis juga merupakan teknologi yang pernah mencengkeram perspektif umat manusia pada masanya. Kesadaran ini membuat pembaca novel ini sadar bahwa paradigma kita dalam melihat dunia ini merupakan hal yang relatif baru dalam skala waktu sejarah umat manusia dan akan terus berubah. Ini merupakan goncangan iman sekular kita.

Novel My Name is Red ini merupakan karya klasik yang bakal menjadi obyek ulasan menarik tak habis-habisnya. Ulasan diatas hanyalah secuil kecil dari kekayaan novelnya sendiri. Satu-satunya jalan untuk membuktikannya adalah membacanya sendiri sebab meskipun kisah bisa diceritakan ulang secara lengkap, pengalaman membaca buku bersifat pribadi—lain satu dengan yang lain dan tidak bisa diwakilkan. Akhir kata, saya harus setuju dengan semua komentar positif para kritikus yang tertulis dalam sampul depan dan belakang buku ini.

Email | Website | More by »

sedang menempuh study S1 double degree jurusan Edukasi dan English and Creative Arts di Universitas Murdoch Perth, Western Australia. Kerap menulis resensi buku dan artikel-artikel sejarah kecil yang menarik di Facebook Surabaya Tempo Dulu.

One Reply to “My Name is Red”

  1. Nice review. And pretty humble, though, as it stresses down the personal experience of reading, which is much different to the experience of reading a review from others.

    If this reviewer wants people to be glued by the desire of reading this book, I don’t know. Yet, it got me willing to do so.

Leave a Reply