This article is translated into Indonesian from Zweers, Louis. “Journey through the Archipelago,” in IIAS the Newsletter no. 52, Winter 2009. Leiden: IIAS, pp. 8-9, for the screening and discussion of Kleur en Glorie Onzer Tropen (Colour and Splendour of the East – 1939), on Saturday, 14 August 2010, 17.30, as part of our screening programme this August 2010, “Ragam Budaya & Sejarah Indonesia” (Indonesia: Histories & Cultural Diversities).
Main photo taken from the film snapshot, Kleur en Glorie Onzer Tropen (Colour and Splendour of the East – 1939).
For more information about the screening, visit: https://c2o-library.net/2010/07/ragam-budaya-sejarah-indonesia/
Email: info@c2o-library.net
Gambar hitam putih perjalanan fotografer dan sutradara film Alphons Hustinx (1900-1972) memberi kita impresi mengenai berbagai perjalanannya melintasi Asia, Afrika, Karibia dan Timur Tengah di tahun 1930an dan 50an. Hustinx mewariskan rol negatif, film, surat-surat dan buku harian, penuh catatan, kepada keluarganya. Melalui dokumen-dokumen dan gambar-gambar egosentrik ini, satu dunia seorang bujangan Limburg dihidupkan kembali. Dalam artikel ini, biografer Hustinx, Louis Zweers, memberi kita cuplikan kunjungan Hustinx ke Hindia Belanda di tahun 1938.
Artikel oleh Louis Zweers. Diterjemahkan oleh kathleen azali.
Hustinx terkenal terutama karena film-film dokumenternya mengenai negara-negara non-barat. Dia mempelajari fotografi dan membuat film secara otodidak—seperti kebanyakan peminat saat itu—dan menjadi fotografer dan pembuat film profesional. Di tahun 1930-an dan 1950-an klien besar seperti Stoomvaart Maatschappij Nederland (Perusahaan Kapal Uap Belanda), KLM, Shell dan BPM membeli gambar-gambarnya, meskipun reputasinya terbatas pada sekelompok kecil ahli dan peminat. Gambar-gambar perjalanan hitam putih Hustinx menunjukkan bahwa dia mempunyai sudut komposisional yang piawai dan ketertarikan besar pada kebudayaan asing.
Di bulan Juli 1938 Alphons Hustinx memulai perjalanan ke Hindia Belanda. Dia menerima tugas dari Stoomvart Maatschappij Nederland (Perusahaan Kapal Uap Belanda) untuk membuat film promosional (berwarna) mengenai perjalanan ke Timur. Dia mengambilnya dengan film 16mm sepanjang 10.000 meter, baik warna maupun hitam putih, dengan durasi total kurang lebih 20 jam. Materi ini kemudian diedit Hustinx, dan menghasilkan film Kleur en Glorie Onzer Tropen (Warna dan Keindahan Timur – 1939). Film ini dimulai dengan perjalanan kapal penumpang mewah Johan van Oldenbarnevelt dan berlanjut dengan perjalanan darat (mobil) melalui Sumatra, Jawa dan Bali. Dengan film ini Stoomvart Maatschappij Nederland ingin mempromosikan pariwisata ke daerah tropis nusantara. Film dengan durasi 2 jam ini, salah satu film berwarna pertama di Belanda, diputar dengan sambutan hangat di Belanda oleh Hustinx sendiri.
Di suatu pagi hari, Hustinx tiba di Tandjong Priok. Gambar-gambar perkotaan (townscape) yang dia ambil untuk Batavia menunjukkan bangunan-bangunan megah milik pemerintah, hotel-hotel terkenal, dan villa-villa indah berdinding putih dengan jalan-jalan yang terawat, mobil-mobil Amerika dan orang-orang putih dengan kemeja tipis. Beberapa bangunan dari Batavia sebelum perang masih dapat kita nikmati hari ini. Tapi atmosfer ala taman kota dan ketenangannya telah hilang selamanya. Dari Bandung Hustinx melakukan berbagai perjalanan menuju gunung volkano di selatan Garut, satu tempat peristirahatan populer. Dalam satu gambar dia berdiri di depan hutan bukit Papandajan di dataran tinggi Preanger. Di atas papan kayu tertulis, “Dilarang merokok di dalam kawah.” Dari atas gunung, dengan ketinggian lebih dari 2600 meter, dia memfokuskan kameranya pada awan-awan asap dan lava mendidih dalam kawah. Hustinx menunjukkan kita lanskap yang tenang dan damai, danau gunung dan volkano di Preanger.
Membeku di Tanah Tropis
Untuk “ngadem” dari panasnya udara tropis, Hustinx tinggal di Grand Hotel di stasiun Tosari, kira-kira 2.000 meter di gunung Tengger di Jawa Timur. Lokasi ini memiliki pemandangan panoramik dan lanskap yang menakjubkan, dengan pegunungan berhutan, jurang yang dalam dan gunung-gunung volkano aktif. Pada hari yang cerah kita dapat melihat dataran dekat Surabaya dan lautan. Selama perjalanannya di Bromo, Hustinx memperkerjakan penduduk Tengger untuk membawa peralatan fotografi dan filmnya. Berbagai foto memuat Hustinx mengenakan baju-baju musim dingin, dikelilingi pemandu dan beberapa kuli yang tak memakai alas kaki tapi mengenakan baju tebal untuk menahan dingin dan angin. Hustinx menulis mengenai perjalanan ini di suatu pagi yang dingin, “Angin bertiup sangat keras. Aku benar-benar membeku. Para kuli juga menggigil kedinginan… akhirnya kami tiba di lautan padang pasir. Rasanya seperti memasuki neraka Dante.” Meskipun ada badai, Hustinx berhasil memotret dan mengambil beberapa film. Dalam satu gambar kita melihat kuli Tengger berdiri di tengah-tengah laut pasir yang luas dan berangin. Betapapun bekunya, tetap saja ini adalah satu gambaran tropis.
Tentu saja, Hustinx juga mengunjungi candi Buddha yang terkenal, Borobudur, dan beberapa candi kuno Hindu di Dieng. Dia menulis dalam buku catatatannya: “Ada beberapa patung Buddha yang sangat indah di sini… Cahayanya bagus dan aku mengambil banyak foto bagus. Cuacanya sangat panas dan terik.” Hustinx dengan teliti mengambil gambar stupa besar di atas kompleks candi, berbagai relief yang menggambarkan kehidupan Buddha dan patung-patung Buddha yang anggun. Yang indah karena kesederhanaan dan kespontanannya adalah potret seorang pemuda Jawa di dekat kepala patung Buddha. Tanpa lelah Hustinx juga memfilm dan memotret candi-candi, gapura-gapura, patung, prosesi dan tarian-tarian di Bali. Sayang sekali, dia baru menyadari bahwa bagian-bagian film yang dia ambil di Bali banyak yang gagal.
Bulan-bulan terakhir perjalanannya di Hindia Belanda dihabiskan di Sumatra. Hustinx tertarik pada kebudayaan dan masyarakat Minangkabau, dengan baju-baju tradisional mereka yang berwarna-warni dan rumah-rumah mereka yang indah dengan atap menguncup dan dekorasi artistik. Dia mengunjungi Fort de Kock (Bukittinggi) dan danau Manindjau dan Singarak di dataran tinggi Padang di Sumatra Barat. Kemudian, di Painan, satu kota pesisir sekitar 30 km selatan Padang, dia menyewa kapal kecil untuk membawanya ke pulau Tjenko. Hustinx: “Pulau kecil yang indah à la Robinson Crusoe, di mana seseorang pastinya berharap dapat menghabiskan seluruh hidupnya di sini.”
Of interest to the western eye
Hustinx memotret hal-hal yang menarik bagi mata Barat (western eye), seperti perempuan-perempuan Minang dengan baju-baju yang indah dari Sumatra Barat dan perempuan-perempuan Batak dari daerah sekitar danau Toba. Di tahun baru 1938 Hustinx memulai perjalanannya kembali ke Eropa dengan kapal dari Pelabuhan Belawan di Medan. Dalam buku catatannya dia menulis: “Lima bulan di Hindia Belanda, rasanya seperti hanya lima minggu. Waktu berlalu seperti mimpi.” Hustinx lebih kurang hidup dalam dunianya sendiri dan hanya melihat keindahan eksotis dari nusanara Indonesia. Dia tidak tertarik memeperhatikan situasi sosial politik Timur. Ini tidak berarti dia mengidealisasi periode kolonial. Gambar dan film perjalanannya memang diproduksi dengan tujuan mempromosikan pariwisata di pasaran Barat.
Fotografer dan filmmaker asal Limburg ini memulai perjalanannya melalui Timur Tengah, Asia Tenggara dan Afrika di tahun 1930an. Dia tidak bekerja untuk agen pers atau biro foto pers tapi pergi atas biaya sendiri atau atas tugas dari perusahaan besar. Dia tinggal di hotel cukup mewah dengan teman-teman bisnis dan diplomat. Di daerah-daerah terpencil Hustinx, seorang Katolik yang taat, tinggal di pusat-pusat misionari. Dia menangkap banyak gambar-gambar tentang kebudayaan dan orang-orang asing dengan sudut estetik, hampir etnografik bahkan. Foto-fotonya bukan hanya sekedar refleksi dari satu dunia asing yang jauh, tapi juga menciptakan kerinduan terhadapnya.
Hustinx kerap menggunakan materi visual saat memberi kuliah di Belanda mengenai negara jauh dan etnis asing. Kuliah-kuliah dengan slide gambar dan film ini umumnya ramai dihadiri, di saat TV masih belum ada. Hustinx yang sopan dikenal populer di antara khalayak publik yang penasaran. Bahkan di saat tahun-tahun perang dia juga sering diminta menjadi pembicara dengan slides dan film-filnya.
Di awal 1960an, saat TV menjadi lebih tersedia di mana-mana, dia berhenti memberi kuliah. Foto-foto dan gambar filmnya menjadi saksi dunia yang telah menghilang.
Louis Zweers, Erasmus University, Rotterdam. Sejarawan seni dan foto Louis Zweers adalah pengarang katalog dan kurator pameran ‘Travels of the Past’. Pamera diadakan di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmushuis Jakarta (Juni-Juli 2009) dan Pusat Kebudayaan Prancis CCCL Surabaya (Agustus 2009) yang terdiri dari seleksi foto-foto perjalanan Alphons Hustinx 1930-1950an.
Katalog: Louis Zweers, Travels of the Past, photographs by Alphons Hustinx, Erasmushuis, Jakarta, 2009 (Bhs. Inggris & Indonesia). Dutch publication: Voorbije Reizen, Foto’s van Alphons Hustinx, Zutphen, Walburg Pers, 2002.
Diterjemahkan dari Zweers, Louis. “Journey through the Archipelago,” dalam IIAS the Newsletter no. 52, Winter 2009. Leiden: IIAS, hal. 8-9.
Catatan: Film Hustinx, Kleur en Glorie Onzer Tropen (Warna dan Keindahan Timur – 1939), akan diputar Sabtu, 14 Agustus 2010, 17.30-selesai, dalam rangka bulan Ragam Budaya & Sejarah Indonesia. Keterangan lebih lanjut, kunjungi: http://c2o-library.net/2010/07/ragam-budaya-sejarah-indonesia/.