Site icon C2O library & collabtive

Reportase: Tattoo People

“Dari pemutaran yang ada di dua kota sebelumnya (Jakarta & Bandung), di Surabaya ini yang paling rame…” kata Durga setelah acara pemutaran dan diskusi Mentawai Tattoo Revival berakhir. Acara screening yang digagas Hifatlobrain Travel Institute dan C2O Library ini memang menyedot banyak pengunjung yang terdiri dari berbagai latar belakang. Sekitar 100 orang memadati halaman belakang perpustakaan sejak pukul lima sore.

[nggallery id=4]

Salah satunya adalah Iman Kurniadi, seorang movie addict yang tinggal di Surabaya. Ia datang bersama kawannya. Ada pula Zani Marjana, seorang penggiat di milis Indobackpacker yang datang dengan membawa sumbangan takjil berupa cake klappertaart yang lezat. Suwun om! Hehehe.Sebelum berbuka memang ada semacam tausiyah singkat dari kyai Rahung yang menceritakan latar belakang pembuatan film dokumenter Merajah Mentawai ini. “Waktu itu saya nggak ada rencana apa-apa, nggak ada script juga. Saya hanya ingin mengabadikan kegiatan Durga di Mentawai, karena menurut saya idenya sangat luar biasa,” kata Rahung.

Rahung Nasution, videomaker
Aman Durga Sipatiti, the tattoo artist
Hatib Abdul Kadir, lecturer in department of anthropology, Brawijaya Univ. His book, titled 'Tattoo' (LKiS 2006), to date remains the most comprehensive introduction to tattoo in Indonesian
Sonny Martien, a Surabaya-based tattoo artist from Irezumi Shadow. A senior member of Surabaya Tattoo Artist Community
Dipta Wahyu Pratomo, photographer from Deteksi Jawa Pos. He has researched tattooing practices among women in Surabaya for his undergraduate thesis.

Sejak akhir dasawarsa 90, Durga meninggalkan Jogja untuk mendalami kehidupan sebagai seorang disk jockey dan underground artist di Berlin. Seni merajah tubuh bukan hal asing bagi Durga, ia sudah berkenalan dengan mesin dan tinta sejak menjadi mahasiswa ISI dan “terlibat” dengan komunitas punk generasi awal di Jogja. Pada 2005, dengan semangat petualangannya, Durga kembali meninggalkan Indonesia menuju Los Angeles, di kota ini Durga mendapatkan inspirasi dari Sua Sulu Ape di Black Wave Studio Tattoo untuk belajar kembali tentang tato tradisi Nusantara. Durga mengamati, sebagai maestro tato tribal, Sua Sulu Ape sering mengunjungi Borneo, Samoa dan Tahiti untuk mendalami tato tradisi yang kini populer kembali.

Berbekal pengetahuan yang minim tentang tato Mentawai, Durga mengajak Rahung untuk bergabung. Catatan antropologis seorang peneliti Belanda, Reimar Schefold, dijadikan acuan awal bagi ekspedisi ini. Bantuan datang kemudian dari Universitas Andalas di mana salah satu mahasiswa jurusan Antropologi ada yang berasal dari Mentawai. Mahasiswa inilah yang menjadi penunjuk jalan utama bagi perjalanan Durga dan Rahung.

Durga menjelaskan bahwa budaya tato Mentawai, salah satu budaya rajah paling tua di dunia, sangat terakit erat dengan sistem kepercayaan suku Mentawai, Arat Sabulungan. “Jadi setiap tato memiliki arti dan proses inisiasinya sendiri. Ia menjadi tanda yang disepakati secara umum, menunjukkan status dan personalitas pemakainya,” kata Durga.

Sayang, hari ini tato Mentawai tidak lagi banyak ditemui. “Kita sulit menemukannya di Pagai, namun masih cukup banyak di Sipora…” kata Durga. Terma cukup banyak ini sendiri tidak benar-benar menggambarkan kata ‘cukup banyak’, tato di Sipora pun hanya bisa ditemui pada orang-orang tua dan sikerei (dukun Mentawai) yang kulitnya sudah penuh keriput. “Anak muda Mentawai sudah malu dan menganggap budaya tato itu ketinggalan zaman, primitif” kata Durga. Pola pikir itu dibentuk dari sistem pendidikan modern yang masuk seiring dengan datangnya misionaris dan lembaga bernama negara.

Padahal tato juga sangat efektif untuk menandai sebuah daerah. “Dahulu, sebelum ada batas daerah berupa bangunan fisik, desain rajah menjadi penanda penduduk dari sebuah daerah di Mentawai. Jadi untuk mengetahui itu orang Pagai, Sipora, Matotonan atau Sikuddei, bisa dilihat dari desain tatonya…” kata Rahung.

Diskusi tentang tato Mentawai menjadi semakin menyenangkan karena ada sudut pandang yang beragam. Salah satunya adalah Hatib Abdul Kadir Olong, seorang antropolog cum dosen di Universitas Brawijaya, yang bercerita tentang relasi kuasa dan represi atas budaya tato di Indonesia pada tahun 1983. “Pada tahun itu harga minyak dunia anjlok, sehingga pemerintah menggalakkan wisata untuk mendongkrak devisa. Dari situ dimulai operasi ‘petrus’ (penembak misterius) yang membunuh siapa saja yang bertato dan dianggap bromocorah. Agar wisatawan asing tidak takut berkunjung ke Indonesia…” kata Hatib yang pernah menulis buku berjudul ‘Tato’ terbitan LKiS tahun 2006 lalu.

Semakin malam diskusi menjadi semakin menyenangkan dan semakin liar. Audien yang datang telat pun mulai hadir menyesaki pelataran belakang perpustakaan C2O yang kecil dan tidak bisa melar itu. Ada yang setia berdiri dan berbagi pantat. Dalam diskusi budaya yang gayeng seperti ini, suasanya menjadi terasa begitu hangat.

Diskusi sempat terasa gerah saat agama mulai masuk dalam pembahasan; karena umur tato itu lebih tua dari agama, bukankah sebaiknya rajah tubuh dihalalkan saja. Ada yang membawa dalil Quran dan ayat Leviticus. Tapi munculnya statemen seorang peserta terasa menghangatkan,”Jika kita membuat senang orang lain, maka Tuhan akan ganjar dengan pahala. Maka jika saya punya tato keren dan membuat orang lain berdecak senang, Tuhan pun akan kasih saya pahala yang setimpal…” kata-kata ini ditimpali dengan tepuk tangan yang riuh dari seluruh penonton yang hadir. Tampaknya kita semua sepakat atas statemen ini. Hehehe.

Perspektif lain tentang budaya rajah modern ala Sony Martien, ketua Surabaya Tattoo Artist Community (STAC), juga turut memperkaya wawasan. “Desain tato hari ini itu sangat personal, hanya pemakainya yang tahu makna dan motifasi di baliknya. Tidak seperti rajah tradisional yang bersifat komunal dan, seringkali, sakral,” kata Sony.

Pembicara lain, Dipta Wahyu Pratomo, seorang wartawan Deteksi Jawa Pos, yang menyelesaikan studi tentang tato wanita juga mengungkap sudut pandang tentang tato dan feminisme. “Dulu tato wanita itu jarang sekali yang diekspose, tapi hari ini semakin bangga jika semakin bisa dilihat oleh orang lain…” kata Tom, panggilan akrabnya.

Diskusi budaya ini kami akhiri pada pukul sembilan malam. Performa Lukman Simbah, seorang staff Hifatlobrain yang malam itu didapuk menjadi moderator juga sangat ciamik. Dengan gaya yang kasual tur nggatheli ala Suroboyoan, ia sering melemparkan joke yang mengundang tawa. Lukman Simbah berhasil mengantarkan diskusi budaya yang berpotensi membosankan ini menjadi sebuah acara yang meninggalkan kesan. Najwa Shihab dan Tukul Arwana tampaknya harus lebih berhati-hati dengan potensi pria ‘berwajah Rambo berhati Rinto’ ini.

Hifatlobrain menghaturkan terimakasih pada para peserta yang datang dan para pembicara yang bersedia meluangkan waktunya. Rahung datang di tengah jadwalnya yang sibuk sebagai Capres independen 2014 bersanding dengan Luna Maya. Durga datang tepat waktu, meskipun sehari sebelumnya dia masih berada di Mentawai. Bung Hatib, yang berkendara dua jam dari Malang. Mas Sony yang membawa pasukan masberto (masyarakat bertato) Surabaya, dan Tom yang membawa teman SBO TV-nya. Juga buat kawan-kawan C2O yang menyiapkan segalanya, terlebih buat Kathleen Azali, kepala sekolah C2O, yang mendesain booklet cantik sebagai pengantar diskusi. Mari kita tos untuk masa depan rajah Mentawai! Tato nusa, tato bangsa!

Silahkan unduh booklet PDF : klik di sini
Untuk mengunduh podcast public lecture, silahkan klik di sini.


Catatan: Reportase ini dimuat di Hifatlobrain.

C2O juga mengucapkan banyak terima kasih pada kru Hifatlobrain (terutama Lukman, Ayos dan Dwi), Durga, Rahung, Hatib, Sonny, Tom, Dwi, Riki, Sanda, dan semua pendukung dan peserta acara ini yang tidak dapat kami sebutkan satu-satu. Senang sekali dapat menyelenggarakan kegiatan diskusi seperti ini. Mari terus bersama-sama merajah keragaman sejarah dan budaya Indonesia! :)

Exit mobile version