Reportase Klab Buku C2O #1
Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa: Etnografi Orang Rimba di Jambi
Unduh podcastnya di archive.org
Kamis sore, 22 September 2011, kami mengadakan program bulanan yang sudah lama ingin kami lakukan: Klab Buku C2O. Di ruang tengah, bantal-bantal digelar di atas matras di depan sofa. Tampak penulis buku Serah Jajah, Adi Prasetijo, berbincang-bincang dengan Ayos, moderator kami untuk malam itu. Begitu pula Tinta, Prinka, Carlos, Andre, Ary Amhir, Ardian, Opet dan Tinta menikmati snack cupcakes dengan kopi dan teh. Menyusul hadir kemudian adalah Deasy Estherina, Habsari Savitri, Maria Mustika dan Tonny Mustika.
Selamat datang di Klab Buku C2O!
Sambil menunggu pengunjung lain datang, kami membahas teknis program bulanan ini. Karena ada sedikit perubahan jadual, hari Klab Buku digeser menjadi hari Jumat keempat tiap bulan, pk. 18.00-21.00. Klab ini terbuka untuk umum, dengan maksud untuk berbagi, menghargai pengalaman dan pemahaman membaca judul yang sama dalam suasana yang akrab dan seru. Dengan iuran Rp. 5.000/bulan, peserta mendapatkan freeflow kopi dan teh, snack, materi dan sewa gratis buku yang ditentukan selama bulan tersebut.
Peserta klab dapat mengajukan pilihan-pilihan buku untuk dibaca. Dari pilihan tersebut, 3 akan dipilih untuk 3 bulan berikutnya Buku boleh dari berbagai genre yang tersedia di C2O: novel, sastra, misteri, sci-fi, detektif, cerpen, jurnal, buku anak, komik, puisi ataupun non-fiksi seperti biografi, sejarah, budaya, desain, sains, travelling, masak, dll. Peserta yang mengajukan buku, akan menjadi pemandu acara pertemuannya.
Teman-teman kemudian mencalonkan judul-judul buku yang ingin mereka baca untuk bulan Oktober, November, dan Januari. Ada yang mencalonkan Harry Potter, Sumpah Pemuda (Keith Foulcher), tetralogi Buru (Pram), Saksi Mata (Suparto Brata), seri Shopaholic (Sophie Kinsella), Sang Fotografer (Didier Lefevre & Emmanuel Guibert), dan Palestina Membara (Joe Sacco). Setelah berembuk sedikit, kami semua akhirnya memutuskan Harry Potter and the Deathly Hallows (untuk 28 Oktober, PIC Andre), Saksi Mata (untuk 25 November, PIC Carlos), dan Sumpah Pemuda (untuk 28 Januari, PIC kat).
Orang Rimba di Jambi
Selesai membahas teknis di atas, kami kemudian melangsungkan diskusi buku. Ayos dari Hifatlobrain Travel Institute, membuka acara dengan memberi sedikit pengantar mengenai impresinya setelah membaca buku Serah Jajah.
“Yang paling kepikiran itu… Menurut saya, orang-orang Rimba ini tidak bersikap adil sejak dalam pikiran. Mereka mempunyai konsep diri yang boleh dibilang sudah kalah duluan, dan memang mereka berada dalam posisi yang kalah. Dan kenapa demikian, ini dijelaskan dengan panjang lebar dalam buku ini,” tuturnya.
Adi Prasetijo kemudian menceritakan sedikit latar belakang proses penulisan buku ini. Buku ini sebenarnya adalah hasil studi S2nya, yang berawal dari keterlibatannya dalam projek pendidikan bersama orang Rimba yang membuat dia tertarik untuk membuat penelitian lebih lanjut. Prof. Parsudi Suparlan, pembimbing thesisnya, mendorongnya untuk menerbitkan buku ini karena kajian-kajian suku seperti ini—apalagi yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri—sangat lah jarang karena membutuhkan banyak biaya, energi, waktu, dan komitmen tinggi. “Padahal,” lanjut Adi, “ada hampir 1.000 suku bangsa di Indonesia. Jadi siapa lagi yang membuat kajian-kajian atau dokumentasi seperti ini kalau bukan kita sendiri?” Sayang Prof. Suparlan keburu meninggal sebelum Adi sempat menerbitkan bukunya.
Dalam hubungan mereka dengan orang-orang Melayu, konsep diri mereka sebagai orang yang “kalah”, bisa dilihat begitu tertanam dalam kosmologi, pola pikir, dan reliji mereka. Ini terjadi melalui proses sejarah, sosial, politik, budaya yang panjang di mana hubungan mereka dengan orang Melayu memang dibangun dalam posisi yang tidak setara.
Adi kemudian menunjukkan slides yang telah ia persiapkan. Adi terutama tertarik bagaimana pola pikir yang membuat diri mereka sendiri dalam posisi begitu rendah bisa sangat tertanam dalam kehidupan mereka.
Siapa sih Orang Rimba, atau Orang Kubu itu? Menurut data Adi, ada sekitar 6.650 orang Rimba, kebanyakan terpusat di Jambi. Catatan-catatan mengenai orang Kubu dapat ditemukan dari catatan-catatan Belanda mengenai kesultanan Melayu di abad ke-17-18. Menurut Barbara Watson Andaya, sejak abad 17 pun, ada dinamika kekuasaan antara Orang Hulu dan Hilir. Orang-orang Hulu (Rimba) menjadi ujung tombak penyedia persediaan sumber daya alam seperti cula badak, gading gajah, kayu dsb. yang nantinya berputar di jalur perdagangan di selat Malaka.
Konsep Serah Jajah naik turun ini sebenarnya menstabilkan proses komoditi dari hulu ke hilir, dan memastikan ada pasokan yang kontinyu antara dua kelompok masyarakat, dan disahkan oleh kesultanan Jambi saat itu. Ada middleman, orang-orang yang diberi peran untuk menstabilkan hubungan-hubungan seperti ini, seperti waris dan jenang. Hubungan patron-client ini umum dijumpai di Asia Tenggara. Yang menjadi masalah adalah ketika di masa modern, hubungan ini tidak berubah, tapi pelakunya berubah—bisa perusahaan, pemerintah, dsb.
Posisi mereka saat ini makin terdesak, apalagi dengan pembukaan-pembukaan hutan sehingga mereka kehilangan tempat tinggal. Tak jarang mereka tinggal di tengah-tengah perkebunan sawit. Maka dua respon yang umum adalah adalah asimilasi dengan menjadi Orang Melayu, atau pengucilan diri. Kebijakan Nasional, sayangnya juga tidak mendukung mereka. Sebagai contoh, konsep “Putra Daerah” masih diidentikkan dengan etnis “asli”, sehingga kerap tidak menghiraukan orang-orang yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut. Padahal di tengah-tengah derasnya perubahan-perubahan ini, perlu disediakan akses informasi untuk memberi mereka pilihan, peluang-peluang dan memudahkan/memfasilitasi perubahan.
Diskusi berlangsung santai dan seru, diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan dari pengunjung. Presentasi dan diskusi dengan Adi ini sangat melengkapi informasi yang ada di buku, karena bukunya sendiri memfokuskan pada dinamika Serah Jajah, sehingga mungkin yang kurang familiar dengan Orang Rimba, akan masih sedikit bingung membaca mengenai suku ini. Apalagi karena buku ini dibuat dari thesis Adi, untuk diterbitkan, jelas ada banyak pemangkasan halaman untuk menyesuaikan dengan selera konsumen. Sebagai contoh, Adi pernah menawarkan buku ini ke salah satu penerbit besar. Namun jawabannya adalah, meskipun penerbit menilai buku ini sangat baik dan mendetil, penerbit tidak dapat menerbitkan buku ini karena menilai minat konsumen yang rendah pada subjek seperti ini. Sayang sekali.
Ayos kemudian menutup acara dengan merangkum hasil diskusi. Teman-teman juga sedikit berbagi kesan mereka setelah membaca buku. “Saya suka buku ini, meskipun ilmiah tapi bahasanya enak dibaca, tidak mendakik-dakik,” kata Carlos. “Itu terima kasih pada editor saya, Mbak Ary,” tutur Adi yang disambut dengan sorakan riuh teman-teman. “Pantes kok gaya tulisnya rodok-rodok familiar, gitu,” canda teman-teman. Sementara Tinta merasa, membaca buku ini sebenarnya membongkar Orang Rimba tidak hanya sebagai suku terasing yang eksotis, tapi juga memberi kita dinamika-dinamika mereka berhadapan dengan kehidupan modern. Sangat dibutuhkan sekali dokumentasi mengenai suku-suku di Indonesia, terutama yang ditulis dalam bahasa Indonesia untuk referensi kita. Salut untuk Adi Prasetijo, mari kita nantikan buku-buku berikutnya.
C2O mengucapkan banyak terima kasih kepada Adi Prasetijo, Ayos Purwoaji dari Hifatlobrain Travel Institute sebagai moderator, dan semua teman-teman yang telah datang ke acara ini. Jangan lupa untuk datang ke Klab Buku C2O berikutnya! Jadual kami lampirkan di bawah. Terima kasih.
Jadual Klab Buku C2O:
#2 28 Oktober, 18.00: Harry Potter and the Deathly Hallows (PIC Andre)
#3 25 November, 18.00: Saksi Mata (PIC Carlos)
#4 28 Januari, 18.00: Sumpah Pemuda (PIC kat).
- Tidak ada klab buku untuk bulan Desember karena Jumat keempatnya C2O tutup.
Untuk bergabung, silakan datang saja ke hari yang telah ditentukan. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi: info@c2o-library.net
Foto oleh Ardian Purwoseputro.