Bila berbicara tentang dunia desain grafis di Surabaya, baik itu dalam lingkup bisnis maupun iklim berkarya, tak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki bersama. Dalam usaha perbaikan tersebut, cara berpikir yang mencoba untuk memperbandingkan kondisi di Surabaya dengan Bandung, Jakarta, Jogja dan kota-kota lain di Indonesia, mungkin tidak sepenuhnya perlu dahulu. Surabaya memiliki permasalahan dan sejarah permasalahannya sendiri, yang tentunya berbeda dengan kota-kota lain.
Mencoba untuk mendiskusikan kondisi riil dan potensi-potensi khusus di Surabaya bersama pelaku-pelaku di dunia desain grafis Surabaya bisa menjadi sebuah awalan untuk membawa dunia desain grafis Surabaya lebih terarah dan berkontribusi langsung bukan hanya pada pelaku bisnis, tapi juga masyarakat luas. Acara DIY hari ketiga ini, berusaha menghadirkan desainer-desainer grafis dari berbagai sektor, mulai dari sektor publik, korporasi, komunitas, hingga tipografi dan seni jalanan untuk menjadi pembicara. Mereka adalah Bayu Prasetya (graphichapter), Jimmy Ofisia (MAM), Iko (ikiiko), Obed Bima (DKV Petra), dan Bing Fei (Veith Design)
Para pembicara ini diundang untuk berbagi pengalaman dan juga cara pandangnya tentang dunia desain grafis Surabaya bersama sesama desainer lain, mahasiswa maupun masyarakat awam yang hadir pada malam itu. Permasalahan yang disinggung dan dibahas pada malam itu bisa dibilang sangat luas, tapi tentu saja tetap dengan berusaha berpijak pada isu nyata yang terjadi di Surabaya. Isu-isu mendasar seperti tentang tanggung jawab sosial, meskipun klise, akan selalu perlu untuk menjadi salah satu isu yang diangkat ke permukaan guna dibicarakan, apalagi dalam konteks dan pengalaman desainer lokal Surabaya.
Bagi Obed, dengan tidak mengesampingkan generasi tua, generasi muda saat ini ia anggap lebih terbuka pada wawasan sosial. Hal serupa diamini oleh Bayu yang menyatakan bahwa yang terjadi di dunia desain grafis, saat ini semakin optimis. “Kalau kita ngomong tentang desainer grafis sendiri, saat ini masih ada dan semakin banyak (yang peduli pada masalah sosial). Bahwa yang muda-muda sekarang, apalagi kalo saya ke kampus, mahasiswa sekarang tidak sekadar memperhatikan isu pesan lagi, tapi juga media yang lebih ramah lingkungan ” kata Bayu. Dengan mengutip David Berman, ia juga menyatakan bahwa bagi desainer sendiri sudah waktunya untuk tidak hanya berpikir tentang do good design tapi juga untuk do good for anything.
[nggallery id=18]
Jimmy berpandangan bahwa memang ada persoalan etika, jika kita do something bad, we should do something good as well. Ia kemudian menyebutkan beberapa contoh asosiasi desainer yang paham hal ini kemudian membuat usaha-usaha untuk kebaikan seperti soal iklim, isu sosial, pencitraan wanita dll. “Tinggal kemudian dilihat etika kepribadian desainer, mau terus-terusan jualan dan bikin sampah atau bikin sampah tapi timbal baliknya melakukan hal-hal yang baik juga,” katanya.
Bing Fei sendiri berpendapat, “ Kita sebagai desainer adalah part of agent of change, bahwa apapun yang kita lakukan akan selalu berdampak, maka akhirnya kita kembalikan ke hati nurani kita masing-masing “. Ia menambahkan bahwa sebenarnya desainer berada di posisi yang sangat tepat , karena desainer berada pada posisi pemberi solusi. Bing Fei juga menyampaikan pandangan sekaligus harapannya pada desainer muda untuk start do the right thing. “ Apabila dari awal kita memiliki tekad untuk memperbaiki keadaan, maka saat yang paling tepat adalah saat memulai karena start do the right thing is everything” ujar Bing Fei
Isu tanggung jawab desainer ini berkembang menuju isu kolaborasi dalam disiplin desain. Dalam diskusi malam itu, wacana isu kolaborasi ini terbawa bukan hanya pada masalah hubungan kolaborasi antar desainer, tapi juga kolaborasi antara desainer dengan klien dalam kerangka sebuah sistem yang saling mempengaruhi. Sempat terjadi diskusi panjang antara yang hadir malam itu, ketika Phoebe, salah seorang yang hadir pada malam itu melontarkan kritikan tentang peran desainer. Ia berpendapat, seharusnya desainer mengambil peranan yang lebih besar untuk mempengaruhi klien ke arah yang lebih baik daripada sekadar menjadi alat para produsen untuk mempengaruhi konsumen. Menegaskan kembali pernyataan Bing Fei sebelumnya, dia melanjutkan bahwa desainer memiliki kuasa untuk itu.
Menanggapi hal ini, Bayu menyatakan bahwa di lapangan antara desainer dan klien selalu terjadi proses kompromi. Ia memberi contoh kasus tentang penggunaan kertas daur ulang. Sebagai desainer ia memiliki inisiatif untuk menyarankan kliennya agar lebih ramah lingkungan dalam berbisnis . Namun kenyataannya, dari sisi klien, penggunaan kertas daur ulang dirasa lebih mahal biaya produksinya, sehingga yang terjadi kemudian adalah kompromi. Kat, pemilik C2O Library, menambahkan, “ Proses negosiasi dengan klien akan selalu terjadi dan sebagai desainer kita selalu bisa memilih, misalnya mungkin dengan mengerjakan proyek-proyek lain yang sesuai dengan kita.”
Bagi Obed, yang bergerak di seni jalanan, negosiasi pun pasti terjadi. “ Ide idealis, tapi yang kita lakukan realistis,” demikian kata Obed ketika memaparkan proses berkaryanya. Ia melanjutkan, “Kita tahu bahwa satu cat itu bagus dan warnanya cerah-cerah, tapi tidak ramah lingkungan karena kandungan kimianya yang sangat tinggi. Kalau saya memakai produk yang lain, cost jelas akan bertambah, kemudian sampai pada satu titik tertentu kita beralih ke produk yang lebih ramah lingkungan, tapi kondisinya jelas tidak sebagus cat pertama. Tapi yang penting kita jalan saja, artinya setiap kali apa yang kita komunikasikan lewat mural memang mengajak orang berbuat kebaikan, dan intinya kita tidak sedang melakukan perusakan di situ”
Bayu yang beberapa kali terlibat di proyek yang melibatkan sektor publik, menyatakan bahwa ada hal riil yang bisa dilakukan desainer untuk melakukan sesuatu yang baik. “Kita punya kapasitas, kita PD, kita bisa, dari aspek bisnisnya pun ada dan juga apabila kita bicara power atau kekuatan, sampai titik ini kita sebagai desainer sangat kuat” katanya sembari memaparkan tentang proyek Environtmental Graphic Design dari GrapiChapter di Taman Jayengrono. Dia sadar betul bahwa desain grafis memang sudah seharusnya tidak mengurusi masalah visual saja, kerangka berpikir multidimensional pun diperlukan. Dia beranggapan bahwa ada potensi untuk berbuat lebih bagi para desainer untuk berkontribusi ke kota. Karena situasinya sekarang , jika kita berbicara tentang pencitraan kota, kondisi di Surabaya masih belum terintegrasi dengan baik dalam strateginya. Bayu juga mengajak pada seluruh desainer untuk berkontribusi bagi pemerintah kota, karena sebenarnya pemerintah kota saat ini sangat terbuka dan mendukung saran dari desainer apabila kita mau mendatangi mereka dengan membawa solusi.
Sebagai tambahan, Bayu juga menggaris bawahi beberapa hal penting terkait kerjasama dengan pemerintah. Seperti misalnya belum padunya fungsi-fungsi di pemerintah kota Surabaya yang terkait dengan desain. Satu hal penting lain yang ia ungkapkan, yang bisa jadi adalah salah satu PR juga bagi dunia desain grafis Indonesia adalah bagaimana profesi desainer grafis belum memiliki spesikasi dan pengakuan keprofesionalan seperti layaknya profesi arsitek ketika berhadapan dengan pemerintah. Karena seperti diungkapkan Bayu, kondisi ini bisa menyulitkan bagi para desainer grafis bila ingin berkontribusi ke sektor publik yang mengharuskan kita bekerja sama dengan pemerintah .
Hal menarik lain yang dibahas, adalah menyimak bagaimana tiap-tiap pembicara menyampaikan proses kreatifnya dalam berkarya. Salah satu yg paling menarik adalah bagaimana Iko menyampaikan proses kreatifnya, bagaimana dia selalu berangkat dari hal-hal yang strategis dan common sensical ketika merespon sebuah brief, terutama yang berhubungan dengan kompetisi. Terdapat poin positif dari acara berbagi seperti ini, karena dari acara seperti ini tukar menukar ide dan proses kreatif antar desainer bisa terjadi, yang tentunya bisa memperkaya wawasan maupun pandangan para desainer sendiri.
Detil-detil tentang dunia usaha dan berbisnis di dunia desainpun bisa terbahas, karena para pelaku-pelakunya mau berbagi langsung tentang masalah ini. Beberapa hal yang mendapat tanggapan antusias dari semua yang hadir pada malam itu adalah ketika para desainer memaparkan tentang teknik bernegosiasi dan berkomunikasi dengan klien. Bing Fei dan Bayu yang memiliki studio sendiri tak segan-segan berbagi metode dan cara mereka dalam menangani klien. Iko yang mewakili freelancer juga tak sungkan berbagi ilmu dan pengalamannya. Menarik untuk disimak, bagaimana tiap pembicara maupun desainer-desainer yang hadir malam itu memiliki metodenya masing-masing dalam menentukan harga. Banyak ilmu baru maupun masukan tentang sharing masalah manajemen dan tukar menukar info disampaikan.
Dari pembahasan tentang kondisi riil di malam itu, setidaknya ada beberapa poin penting yang bisa dikategorikan sebagai tantangan sekaligus masukan bagi dunia desain grafis di Surabaya. Di lapangan, isu komunikasi klien, cara berpikir yang lintas medium, isu komunitas yang kurang biasa bertemu, isu kolaborasi internal dan antar institusi serta pemerintah, menjadi isu-isu yang bisa terus dielaborasi terus untuk dicari penyempurnaannya. Satu hal yang tidak kalah penting yang dibahas adalah masalah-masalah teknis yang bisa menjadi masukan bagi dunia pendidikan, seperti masalah penentuan harga, mengelola bisnis ataupun skill manajerial. Hal ini penting, untuk menyiapkan para mahasiswa desain grafis di dunia nyata nantinya.
Sebagai kesimpulan akhir, mengutip kalimat yang disampaikan oleh Andriew, salah seorang moderator malam itu, bahwa untuk memperbaiki keadaan, maka sebaiknya kita sebagai desainer memikirkan infrastrukturnya secara keseluruhan. Desainer tidak hanya mengurusi masalah visual saja, tapi kita juga bisa menulis ataupun melakukan hal-hal lain dalam membangun infrastuktur untuk menuju keadaan yang lebih baik. Hal ini tentu saja akan membutuhkan kontribusi dari semua. Maka dari itu, sudah saatnya sekarang bagi kita untuk mulai berkontribusi.