Have a Little Faith

Keyakinan itu tentang melakukan sesuatu. Kau adalah bagaimana kau beraksi, bukan sekedar bagaimana kau percaya. Itu membuat ritual dalam beragama menjadi penting.

Ungkapan ini paling saya suka dari quote Albert Lewis si rabi dalam buku ini, karena bisa menampik komentar usil orang ketika saya berangkat beribadah, “Buat apa shalat, kalau cuma ritual?” hahaha !

Have a Little Faith dibuka dengan permintaan Albert Lewis, rabi berumur 82 tahun kepada si penulis, Mitch Albom, untuk membacakan eulogy-nya di saat kematiannya nanti. Permintaan yang aneh, menakutkan, karena Mitch bukan umat yang patuh. Malah dia tergolong skeptis memandang agama yang dianggapnya menimbulkan perpecahan dan kekacauan di bumi. Padahal dulu, di masa kecilnya, Mitch sangat akrab dengan kehidupan religi sebagai ‘putra altar’ ala Yahudi.

Mitch akhirnya menyetujui permintaan sang rabi, dengan syarat dia diperbolehkan mengunjungi rabi secara berkala untuk mengenal siapa rabi sebenarnya. Maka kisah pun dibangun dari sini. Si rabi dan kehidupan sehari-harinya dalam pandangan dan kenangan Mitch, ikatan Mitch dengan kehidupan religiusnya di masa lalu, dan tentang Henry Convington.

Henry adalah seorang pastor di sebuah gereja tua yang nyaris runtuh di Detroit, kota tempat tinggal Mitch. Henry mulanya seorang pecandu, pengedar narkoba, dan juga kriminal. Dia pernah dipenjara selama tujuh tahun karena kejahatannya. Dalam sebuah kejadian yang membahayakan jiwanya, Henry berdoa, jika dia selamat, dia akan memberikan hidupnya kepada Tuhan. Dan Jesus, mengabulkan doanya.

Di gereja bobroknya Henry melayani jemaatnya yang terdiri dari para tuna susila, pecandu, dan mereka yang tersisih. Keihlasan Henry, penyerahan dirinya yang total walau dalam keterbatasan menarik perhatian Mitch.

Menurut saya, ada beberapa hal yang membuat buku ini menarik. Pertama, bahasanya yang sederhana dan mudah dimengeti, ditunjang cara bercerita Mitch dalam tiga plot yang singkat dan tak bertele-tele. Mulanya dia berkisah tentang si rabi, lalu ganti dirinya, kemudian si pastor. Berulang begitu. Kisah yang berkaitan dengan kekinian, masa lalu, atau kejadian yang berkesan. Kisah yang dirangkainya secara singkat, mengena, dan tak membosankan.

Kedua, buku ini merupakan kisah nyata, dan ditulis Mitch berdasarkan lebih tujuh tahun pengalamannya bersahabat dengan rabi. Albert meninggal pada umur 90 tahun, Seperti buku-bukunya yang lain (Tuesday wit Morrie, For One More Day), Mitch selalu mendasarkan buku-buku yang ditulisnya berdasarkan kisah nyata. Semi biografi, karena merupakan pengalaman pribadinya dan tokoh-tokohnya. Dengan begitu pembaca merasa ini hal ini bisa juga terjadi pada mereka. Bukan utopia.

Tokoh yang diangkat Mitch pun selalu orang biasa. Orang biasa dengan pengalaman hidup yang tak biasa. Kata kawan, mirip chiken soup-lah tapi jelas bukan genre chiken soup hehe..

Ketiga, percakapan dan quote dalam buku ini begitu hidup dan mengena. Misalnya, ketika Mitch bertanya kepada Albert Lewis kenapa dia menjadi rabi, jawabannya sungguh unik:

  1. I always like a people
  2. I love gentleness
  3. I have patience
  4. I love teaching
  5. I am determined in my faith
  6. it connects me to my past
  7. it allows me to fulfill the message of our tradition: to live good, to do good, n to be blessed.

Lalu mengapa bukan Tuhan yang menjadi alasan? Tanya Mitch. Jawabnya, ‘God was there before number one.’

Atau ketika seorang gadis kecil yang terpaksa mengungsi karena perang di negerinya, dikasihani orang karena tak punya rumah, dia membantah tegas. ‘I have a home, but I don’t have a house to put it in’.

Keempat, buku ini tak menggurui secara langsung akan keyakinan pada agama tertentu, apalagi menanamkan doktrin. Sebagaimana disadari penulisnya di akhir buku, bahwa ‘faith is not the conclusion, but the search, the study, the journey to belief. You can’t fit the lord in a box. But you can gather stories, tradition, wisdom, and in time, you needn’t lower the shelf; god is already nearer to thee.’

Berbagai pertanyaan seperti apa itu keyakinan, apa pentingnya keyakinan dalam hidup kita, lalu bagaimana keyakinan menghadapi berbagai masalah di dunia, mulai perang agama, toleransi, cinta kasih, dan sebagainya, dijawab dalam buku ini, walau secara umum.

Beberapa quote menarik seperti ‘enemy schememy’ yang dilukiskan antara arab-yahudi, atau ‘may your God and my God bless you always’ untuk menerjemahkan toleransi, membuat saya terbahak membacanya. Masih banyak lagi quote yang menarik dan bermakna.

Bagi saya, Have a Little Faith bukan buku biasa. Dia buku luar biasa, membuat saya bergairah membaca sejak halaman pertama hingga terakhir. Tidak cepat-cepat, namun lamat-lamat menikmati setiap kisah, plot, percakapan, dan quote yang dibangun sang penulis dengan indahnya. Ini buku indah, menginspirasi, dan membuka kotak logika saya yang sempit. Buku yang membuat saya tersenyum, tergelak, atau geleng-geleng kepala tatkala menikmatinya.

Mungkin karena saya bukan agnostik (walau dulu mengira begitu). Namun bagi kaum agnostik dan skeptis terhadap agama pun, buku ini bisa membuka cakrawala. Apalagi di saat seperti sekarang ini, dimana konflik agama masih kerap terjadi dan selalu mendidihkan emosi, membaca buku ini sungguh meneduhkan sekaligus menghibur.

Jadi kenapa perlu ‘have a little faith‘? Setidaknya kalau ada keluarga saya yang mati, saya bisa bilang Tuhan memanggilnya, jadi bukan karena salah saya (jawaban ala ‘Albert Lewis’)

Akhir kata, selamat membaca! Dijamin tidak menyesal! Semoga!

Buku ini merupakan materi klab baca #4, dengan Ary Amhir sebagai teman bicara. Terima kasih Mba Ary!

Email | Website | More by »

Pernah bekerja sebagai jurnalis di sebuah harian Surabaya, lalu majalah wanita di Jakarta, dan menjadi penulis lepas di beberapa media seperti Familia (Kanisius Group), Intisari, The Jakarta Post. Telah menerbitkan buku "TKI di Malaysia: Indonesia yang Bukan Indonesia", "Antologi Bicaralah Perempuan", dan "Journal of 30 Days Around Sumatra".

Leave a Reply