Manic Street Walkers #7 edisi Kota Lama
1 Maret 2012
Kali ini Forsiga (Fotografi Sinematografi Arsitektur ITS) mengajak Kami-Arsitek-Jengki dan Manic Street Walkers untuk berjalan kaki dan hunting foto sambil menikmati kota lama yang berada di Surabaya Utara. Kami memulai perjalanan sekitar jam 5 sore, terlalu sore untuk menjelajahi kota lama karena banyak sekali situs yang bisa kami nikmati. Perjalanan sore ini diikuti oleh Mirna, Antonio Carlos, Adit, Bram, Rendy, Faisal, Talka, Ical, Angga, Diah, Tara, Nyamar, Piing. Kami mengamati gedung Cerutu dan gedung Internatio yang baru dipugar, kota lama Surabaya menjadi lebih cantik, menyusul kekaguman kami terhadap pemugaran yang berhasil atas gedung Bank Indonesia, tidak hanya gedung yang direnovasi tapi juga fasilitas untuk pedestarian : trotoar dan lampu jalan, cantik!
Kami kembali menelusuri Jalan Rajawali yang memang memamerkan deretan gedung-gedung kolonial yang masih berfungsi sebagai gedung perkantoran.
Kami berniat menyebrang untuk masuk ke Jalan Mliwis, namun tidak menemukan zebra cross, akhirnya kami menyebrang sembarangan. Memasuki Jalan Mliwis yang sepi namun terdapat berderet gedung kolonial, salah satunya adalah pabrik limun pertama di Indonesia.
Pabrik limun tertua di Jalan Mliwis
Kami kembali menyebrang sembarangan menuju Jalan Jembatan Merah, mengamati halte trem yang sudah beralih fungsi menjadi lapak-lapak pedagang kaki lima.
Antonio Carlos juga menjelaskan mengenai gedung asuransi yang menjadi favoritnya dengan ornamen yang memang memukau.
Kami berhenti sejenak di Jembatan Merah, menikmati sore memandangi Kalimas, membayangkan suasana era kolonial di bantaran Kalimas yang megah dan cantik.
Karena matahari segera tenggelam, kami mengurungkan rencana untuk menjelajahi Jalan Coklat, kami langsung masuk ke Jalan Panggung–jalan favorit saya–yang memiliki rumah toko bergaya kolonial, dan kejutannya adalah Pasar Ikan Pabean yang berada di tengah-tengah Jalan Panggung.
kiri: Carlos dan Mirna di depan toko Achmad | kanan: keriuhan Pasar Pabean di tengah Jalan Panggung
Para penjual ikan
kiri: mobil memenuhi Jalan Panggung | kanan: ada juga penjual sandal
Keriuhan Pasar Ikan Pabean sangat menyegarkan kami yang sejak tadi menikmati bangunan kolonial, sekarang kami disuguhi berbagai macam hasil laut, tentu saja bau amis mendominasi meskipun banyak toko parfum disana.
Kami memasuki Jalan Sasak, toko-toko penjual kitab sudah tutup, tiba-tiba seorang pria yang menaiki sepeda motor memanggil saya, ternyata Adhiel, dia akan segera bergabung dengan kami.
Kami langsung masuk ke gang Ampel Suci yang dipenuhi oleh stand yang menjual souvenir dan perlengkapan muslim, secara acak kami memilih salah satu gang dan menemukan masjid kecil dan beberapa kawan sholat maghrib disana. Adhiel menyusul datang, dia adalah warkamsi (warga kampung sini), senangnya Adhiel bergabung karena langsung mendapatkan penjelasan dari orang lokal.
kiri: Nasi kebuli di depan hotel Kemajuan | kanan: kebab Syawarma
Saatnya makan malam, Adhiel merekomendasikan nasi kebuli di depan Hotel Kemajuan, sebelum kesana beberapa kawan membeli kebab Syawarma yang populer sebagai makanan pembuka (ya ampun kebab jadi makanan pembuka). Adhiel mengajak kami untuk masuk ke Hotel Kemajuan yang dibangun tahun 1928, namun sang pemilik hotel tidak memperbolehkan kami untuk melihat-lihat.
Rendy menunjukkan kami salah satu rumah dengan arsitektur jengki yang berada di depan Hotel Kemajuan, salah satu rumah terindah yang pernah saya lihat. Kami langsung menuju tenda nasi kebuli Haji Umaiyah, mereka memesan nasi kebuli sementara saya mencari roti maryam.
Saya menemukan warung roti maryam di mulut Jalan Ampel Sawahan, sebelah Hotel Kemajuan, warung dengan bangunan semi permanen hanya menjaja roti maryam dan minuman panas, wah seru banget, saya kan memang niat banget untuk menikmati roti maryam malam ini.
Saya berkenalan dengan pemilik warung, seorang pria paruh baya bernama Fendi, beliau menceritakan tentang warungnya, warung roti maryam ini sudah berjalan selama 50 tahun, dia generasi kedua. Saya langsung memesan dua roti maryam yang masih hangat–penyajian roti maryam memang selalu hangat karena dibungkus dengan kain–dan memakannya lahap sambil mengamati Fendi membuat adonan roti maryam.
Ternyata bahan untuk adonan roti maryam adalah tepung, mentega, minyak sawit, air, garam, dan tidak memakai telur! Proses pembuatan roti maryam cukup rumit karena melalui banyak tahap, tidak heran hasilnya enak banget meskipun sangat berminyak (minyak sawit plus mentega). Dengan ramah, Fendi mengajak saya ngobrol mengenai situasi terakhir Ampel sambil menawari saya rokok putih miliknya, sayang tidak bisa berlama-lama ngobrol karena sudah hampir jam 8 malam.
Saya kembali ke warung nasi kebuli, piring-piring dengan sisa tulang kambing menjadi tanda anak-anak puas dengan menu malam ini. Adhiel mengantarkan kami kembali ke JMP, Adhiel menjelaskan beberapa hal mengenai rencana pengembangan Kampung Ampel sebagai kampung wisata, salah satunya adalah relokasi Pasar Ikan Pabean, akan dijadikan semacam pasar wisata yang menjual cenderamata (hasil kerajinan), wah saya langsung sedih karena Pasar Ikan Pabean adalah salah satu pasar favorit saya selain Pasar Keputran. Dan perjalanan kami pun berakhir, namun kami kurang puas menjelajahi kota lama, kami akan berjalan kaki kembali kesini. Terimakasih untuk Adhiel dan kawan-kawan Kami-Arsitek-Jengki & Forsiga.
teks dan foto oleh anithasilvia