Bioskop Desain: Michael Bierut on Creative Morning

BIOSKOP DESAIN
“Michael Bierut on Creative Morning”

Screening & Discussion
(nonton film dan diskusi bareng-bareng)
Januari 20, 2012
6 PM @ C2O Library
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya

Michael Bierut studied graphic design at the University of Cincinnati’s College of Design, Architecture, Art and Planning. Prior to joining Pentagram in 1990 as a partner in the firm’s New York office, he worked for ten years at Vignelli Associates, ultimately as vice president of graphic design. His clients at Pentagram have included The Council of Fashion Designers of America, Harley-Davidson, The Minnesota Children’s Museum, The Walt Disney Company, Mohawk Paper Mills, Motorola, Princeton University, the Brooklyn Academy of Music, and the New York Jets.

Bierut’s work is represented in the permanent collections of the Museum of Modern Art and the Metropolitan Museum of Art in New York, and the Musee des Arts Decoratifs, Montreal. He has served as president of the New York Chapter of the American Institute of Graphic Arts (AIGA) from 1988 to 1990 and is president emeritus of AIGA National. Michael was elected to the Alliance Graphique Internationale in 1989, and was elected to the Art Directors Club Hall of Fame in 2003. Michael is a Senior Critic in Graphic Design at the Yale School of Art. He writes frequently about design and the co-editor of the four-volume series Looking Closer: Critical Writings on Graphicpublished by Allworth Press. In 1998 he co-edited and designed the monograph Tibor Kalman: Perverse Optimist. His commentaries about graphic design in everyday life can be heard nationally on the Public Radio International program “Studio 360.”

Rumah Leluhur NagaRumah Leluhur Naga

Menjelang tahun baru Imlek ini, kami mengundang sahabat untuk turut bergabung dalam :

Pemutaran & Diskusi Film Rumah Leluhur Naga (dokumenter mengenai klenteng Hok An Kiong)
Sabtu, 21 Januari 2012, pk. 18.00 – selesai

bersama:
– Giri Prasetyo (filmmaker, Matanesia)
– Shinta Devi (dosen sejarah Unair, peneliti klenteng Boen Bio dan sejarah Tionghoa)
– Ardian Purwoseputro (moderator)

Secara garis besar dokumenter ini bercerita tentang Klenteng Hok An Kiong, klenteng tertua di Surabaya, dan pengaruhnya terhadap perkembangan penduduk Tionghoa setelahnya. Giri menggarap video ini hampir setahun lamanya. Menetaskan ide pada bulan Februari, melakukan riset dan wawancara, hingga pengambilan ratusanfootage di kawasan pecinan Surabaya. Paper tentang pecinan karya Claudine Salmon dan pertemuannya dengan beberapa ahli budaya Tionghoa semakin memperkaya sudut pandang Giri dalam pembuatan film ini.

Terbuka untuk umum dan gratis. Donasi akan sangat dihargai untuk terus mendukung kelangsungan program kami.

Kisah di Balik Pintu

Jumat, 18 November 2011, pk. 18.00
C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Jalan kecil seberang Konjen Amerika. Lihat peta di: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)

Bersama penulis, Soe Tjen Marching
Moderator: Ary Amhir, penulis TKI di Malaysia, Indonesia yang Bukan Indonesia.

Bagaimana para perempuan Indonesia menampilkan jati diri mereka di depan publik? Dan apa yang terjadi di balik pintu, ketika tak sepercik matapun mengintip tingkah laku mereka dan mereka mempunyai kesempatan untuk lebih leluasa?

Buku ini memaparkan perbedaan antara representasi identitas perempuan di publik dan privat, dengan membandingkan otobiografi dan buku harian yang ditulis oleh beberapa perempuan Indonesia di masa Orde Baru. Dalam periode tersebut, gender adalah salah satu fokus utama dari indoktrinasi pemerintah. Perempuan sering kali terpenjara oleh stigma-stigma patriarki yang dibentuk oleh ideologi ini.

Dalam lingkup yang demikian, tidak mengherankan bila otobiografi perempuan Indonesia yang diterbitkan pada masa itu menampakkan adanya kemanutan pada stigma-stigma ini. Sebaliknya, dalam buku harian, penulis-penulisnya bisa lebih leluasa menyuarakan pemberontakan mereka. Namun, walalu buku harian lebih leluasa menyuarakan penyempalan mereka terhadap norma dan ideologi, nilai-nilai patriarki masih bisa ditemukan di dalamnya.

“Buku ini amat original dan menggebrak.” — Susan Blackburn, University of Monash, Australia

Soe Tjen Marching adalah seorang penulis, akademisi, dan komponis. Karya-karyanya telah memenangkan berbagai penghargaan nasional maupun internasional. Novelnya yang berjudul Mati, Bertahun yang Lalu diterbitkan oleh Gramedia (2010), dan telah diluncurkan di C2O Januari lalu.

Reportase: Diskusi bersama editor National Geographic Indonesia

Sebuah permintaan mendadak disampaikan oleh Purwo Subagiyo, seorang digital strategist National Geographic Indonesia dalam persinggahannya di Surabaya. “Bisa nggak disiapkan tempat di C2O untuk ngobrol santai dengan mas Yoan?”

Yoan adalah panggilan akrab dari Mahandis Yoanata, seorang pecinta sejarah yang juga seorang editor di majalah National Geographic Indonesia. Di hari yang sama, ia dan fotografer Feri Latief membagi pengalamannya dalam melakukan pelputan untuk NGI di kampus ITS Surabaya. Malamnya ia bertandang ke C2O untuk berbagi cerita mengenai kota lama di Surabaya.

“Saya sudah menyusuri beberapa kantor lama di Surabaya, kebanyakan bagunannya masih dalam kondisi baik. Surabaya ini menurut saya memiliki kota lama yang paling bagus dibandingkan Jakarta, Bandung, atau Semarang,” kata Yoan.

Lantas kisah-kisah tentang bangunan lawas pun mengalir lancar dari mulutnya. “Kalian tahu bangunan bekas kantor pajak di daerah Jembatan Merah yang dahulu dibangun oleh Berlage?” tanya Yoan kepada peserta diskusi kecil ini. Lantas ia bercerita tentang patung singa yang ada di depan gedung tersebut dan menghubungkannya dengan simbol singa milik Santo Markus yang menjadi lambang Venesia. “Bisa jadi, dulu Berlage melihat Surabaya sebagai Venesia dari timur, karena begitu banyak sungai dan kanal yang melintas kota,” kata Yoan.

Ia juga menjelaskan dengan detail tentang makna kaca patri yang ada di dalamnya. “Lambang Firaun dan tujuh bulir padi di kanan kiri itu bisa jadi merujuk pada mitos kuno tentang masa panen dan paceklik selama tujuh tahun yang melanda Mesir kuno. Semacam pesan untuk memanfaatkan pajak sebelum datang musibah di kemudian hari,” kata Yoan.

Pria yang berasal dari Jogja ini juga bercerita tentang lambang Syria kuno yang menghiasi setiap brankas yang ada di kantor-kantor milik Belanda. “Saya ini selalu memperhitungkan detail dan mencatatnya,” kata Yoan.

Diskusi tentang sejarah dan budaya kuno berlangsung seru. Berbagai tanya jawab juga dilontarkan oleh peserta yang tidak banyak itu. Lukman Simbah bertanya tentang kebijakan tata kota kolonial yang disambung oleh Bucu, seorang mahasiswa Planologi ITS. “Belanda dulu mendesain sebuah kota dengan mempertimbangkan apa yang akan terjadi di masa depan,” kata Bucu.

Yoan juga merasa senang dengan keberadaan c2o di Surabaya. “Cari tempat sharing kayak gini di Jakarta sudah jarang, dulu ada dua di Depok, tapi entah sekarang…” kata Yoan.

Reportase: DIY #8 Urban Planning

Di hari terakhir DIY Talks, yang diadakan hari Sabtu, 29 Oktober 2011, kami membahas tata kota (urban planning), dengan memfokuskan pada pertanyaan: tata kota seperti apa yang dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan komunitas kreatif secara berkelanjutan (sustainable)? Panelis hari itu adalah Gunawan Tanuwidjaja dari UK Petra, Anas Hidayat dari Republik Kreatif, MADcahyo dari noMADen, Wahyu Setyawan dari arsitektur ITS, dan Iman Christian dari Bappeko (Badan Perencanaan Pembangunan Kota).

Urban Planning

Sabtu, 29 Oktober 2011, pk. 17.00
Perpustakaan C2O
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(lihat peta di sini: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)
INFO: (031) 77525216 / 0858 5472 5932

Moderator:
Hermawan Dasmanto & Goya Tamara (ARA studio)

Panelist:
Gunawan Tanuwidjadja (Arsitektur UK Petra)
Anas hidayat (Republik Kreatif)
MADcahyo (noMADen)
Iman Christian (Bappeko)
Wahyu Setyawan ( Arsitektur ITS)

DIY TALKS terakhir mengenai urban planning akan berfokus pada upaya untuk merancang tata kota yang berkelanjutan bagi komunitas kreatif untuk dapat saling tumbuh dan berkolaborasi. Dibahas oleh para praktisi muda nan progresif, selain merunut dari sejarah asal penataan kota Surabaya, akan dikaji juga perbandingan tata kota dari berbagai kota di Eropa, Singapura dan Jepang.

DIY SCREENING : Visual Acoustics
Documentary | 2008) | 87 min

Visual Acoustics celebrates the life and career of Julius Shulman, the world’s greatest architectural photographer, whose images brought modern architecture to the American mainstream. Shulman, who passed away this year, captured the work of nearly every modern and progressive architect since the 1930s including Frank Lloyd Wright, Richard Neutra, John Lautner and Frank Gehry.

Digital Media Design

DIY Talk #7: Digital Media
Minggu, 23 Oktober 2011, pk. 17.00
Perpustakaan C2O
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(lihat peta di sini: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)
INFO: (031) 77525216 / 0858 5472 5932

Pembicara:
Beny Wicaksono (WAFT)
Hendry Wahana (Motionanthem)
Pinkan Victorien (VJ Poystories)
Eko Ende (Kinetik)
Novi Elisa (VJ Subsidiary)
Arghubi Rachmadia (Public Space)
Phleg (Terbujurkaku)

Moderator:
Ayos Purwoaji (hifatlobrain)

Berpraktik di wilayah disiplin desain yang tergolong muda, para panelis dibawah ini selalu berada dalam tantangan mengolah pesan dan ekspresi mereka dalam bentuk medium yang karakter dan kompleksitasnya berkembang seiring laju percepatan teknologi itu sendiri.

DIY Screening
RIP: A REMIX MANIFESTO
Documentary | Music (2009) | Duration 80 min

Let web activist Brett Gaylor and musician Greg Gillis, better known as Girl Talk, serve as your digital tour guides on a probing investigation into how culture builds upon culture in the information age.

Reportase: DIY #5 Urban Art

Minggu, 16 Oktober 2011. DIY #5 kali ini dimoderatori oleh Obed Bima Wicandra, seorang dosen DKV dari UK Petra, yang telah lama menaruh perhatian terhadap seni urban dan di tahun 2005 bersama kawannya mendirikan Komunitas Tiada Ruang. Bersama Obed, hadir sebagai pembicara kali ini adalah Ryan Rizky sebagai perwakilan Street Art Surabaya; Dinar dan Lury Coco sebagai perwakilan BRAngerous, komunitas seniman perempuan kontemporer Surabaya; X-Go Warhol, dan Redi Murti.

Reportase: DIY #4 Comics

DIY Talk #4: Comics, 15 Oktober 2011, dibuka pk. 17.00 dengan pemutaran film dokumenter “Beautiful Losers” mengenai sekelompok seniman pop, dilanjutkan dengan DIY Talks, di mana para komikus menceritakan konsep mereka mengenai komik, serta proses produksi dan distribusi karya masing-masing. DIY Talk hari ini diisi oleh trio hantu Nusantara (Yudis, Broky, Pak Waw), X-Go dan Kat, dimoderatori oleh Ari Kurniawan dan Andriew Budiman dari Butawarna.

“Banyak dari para desainer sebenarnya sampai sekarang juga adalah penggemar komik. Dari yang hadir di sini, banyak yang memasuki desain juga karena berpikir, mana nih jurusan yang kira-kira bakal bisa banyak menggambarnya,” tutur Andriew membuka diskusi. Para pembicara kemudian diajak untuk memperkenalkan diri masing-masing, kemudian sharing pengalaman, sambatan dan tantangan masing-masing di dunia perkomikan yang sangat beragam.

Yudis, yang bekerja sebagai ilustrator dan storyboard artist di SAM Design, adalah alumnus Unesa angkatan 2003. Wiryadi Dharmawan, yang akrab dipanggil Pak Waw (dari Wawan), mengaku terjerumus dalam komik karena awalnya berlatar belakang animasi, dan kemudian diajak oleh Yudis dan Broky untuk bekerja sama, apalagi karena memang pada dasarnya cinta menggambar. Sementara Broky, yang bernama asli Misbachul Bachtiar, komikus yang mencintai komik.

X-Go berasal dari Bunuh Diri Studio, mengaku sebenarnya dia adalah komikus “gadungan”, yang kurang tertarik membuat komik realis*, dan dia lebih menyukai komik-komik di luar arus utama. Studionya, Bunuh Diri, pun dia sebut sebagai studio gadungan, karena studionya adalah rumahnya sendiri. Kat, mengaku sudah jarang membuat komik, tapi ingin membahas perkembangan komik sehubungan dengan Cergamboree, festival komik Indonesia-Prancis yang tahun depan akan memasuki tahun keempatnya diselenggarakan di Surabaya.

Latar belakang ketertarikan pada komik

X-Go mengaku pertama kali mengenal komik melalui Dragon Ball, dan membuat komik dengan model-model gambar Saint Saiya. Keduanya adalah komik dan animasi yang populer di masa remajanya di tahun 90an. Di tahun 1999, ada ajakan pameran komik dari studio Oret, dan X-Go tertarik mengikutinya. Di hari pembukaannya, dia cukup kaget melihat komik-komik yang dipamerkan ternyata tidak seperti komik konvensional yang selama ini dia kenal. X-Go mengklaim diri bukan komikus, karena dia lebih menyukai membuat komik yang melewati batas komik-komik pada umumnya, yang tidak dijual di toko-toko buku besar, yang mediumnya bisa berpindah-pindah. Dia hanya mengadaptasi art komik itu sendiri pada media lainnya.

Broky pertama kali ngomik sewaktu SMP juga, dengan membaca Kungfu Boy dan lain-lainnya. Menurutnya, meskipun mediumnya apa saja, tapi pada akhirnya komik itu sekuensial, berurutan, terjuktaposisi. Dia mengaku “terjebak” dalam bidang komik karena kuliah di desain grafis di Unesa, dan mulai mengenal komik waktu Pekan Komik Indonesia di Malang tahun 2005. Dia merasa asyik dan sangat menikmatinya, bisa ngomik bareng dan menggambar bareng, bertemu dengan komikus-komikus dari kota lain, dan memang benar, komik tidak terbatas pada medium kertas.

Pak Waw mengaku selalu suka komik, apa saja tipenya. Dia awalnya juga menyukai komik superhero karena komik itu memiliki warna-warna yang mencolok, padahal TV pada zaman kecilnya, masih hitam putih. Apalagi, sosok-sosok dalam komik itu heroik. Selain itu, dia sempat mewarisi komik dari kakeknya. Sayangnya, ibunya tidak menyukai hobinya itu. Pak Waw sempat membeli komik-komik Marvel seharga Rp.500an. Koleksinya itu sayangnya diketemukan ibunya, dan dibakar di depan matanya, karena ibunya berpikir kesenangannya itu merusak pikirannya, “nggarai koen goblok (membuat kamu goblok).”

Kemudian Pak Waw bertemu dengan Yudis dan Broky. Karena sebelumnya juga sudah pernah berkarya dalam berbagai kompilasi, Pak Waw, Yudis dan Broky kemudian ditawari oleh Beng Rahadian, editor penerbit Cendana, untuk membuat komik 101 Hantu Nusantara. Tidak disangka-sangka, komik itu cukup berhasil, Pak Waw diakui sebagai komikus Indonesia, dan dia merasa, komik itu memiliki daya tarik yang berbeda dengan animasi. Latar belakang animasinya juga memberinya fondasi tersendiri dalam berkomik, dan dia merasa komik memberi keasyikan sendiri yang berbeda dari animasi. “Mungkin juga ada dendam pribadi pada ibu saya,” candanya, “Komik saya dulu dibakar, sekarang anaknya jadi komikus, hehehe…”

Yudis bercerita bagaimana di kampus Unesa dulu, dia dan Broky membuat komunitas komik Outline Studio. Perkenalan yang lebih dalam mengenai komik didapatinya ketika kuliah, saat membaca berbagai buku mengenai komik di kampus. Menurutnya, dari komik, ada banyak sekali hal yang bisa kita dapat, dan dari komik juga, kita belajar untuk lebih peka. Dari komik, kita bisa belajar arsitektur, bisa mengenal watak dan sifat orang. Setelah ikut komunitas, ada pertanyaan, setelah itu, apa? Saat itu, profesi komik masih belum dipandang “seseksi” sekarang, dan belum bisa menghidupi. Tapi dari komunitas ini, Yudis merasa bisa mengenal berbagai komikus, bertukar pandang, dan membentuk jaringan—jaringan informasi, jaringan kerja, dll.

Senada dengan teman-teman, dan merujuk pada Scott McCloud, Kat juga memaparkan bahwa komik adalah gambar-gambar berurutan yang bercerita. Sementara kartun, meskipun mengadaptasi banyak bahasa komik, tidak bersifat sekuensial. Dalam sejarahnya, ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk merujuk pada komik, seperti seni sekuensial, novel grafis (biarpun tidak selalu novel dalam artian fiksi), cergam (cerita bergambar), illustories, picture novella, bandee dessinee, dan manga. Istilah-istilah ini muncul juga karena berbagai alasan, antara lain alasan geografi politis untuk identifikasi komik sebagai salah satu bentuk produk kebudayaan yang bisa dibanggakan. Kat sendiri menyukai komik karena dari kecil memang suka membuat cerita dalam dunia sendiri, dan komik memungkinkannya untuk membuat cerita dan dunia sendiri.

Komik meningkatkan literasi

Ada banyak klise-klise buruk dalam perkomikan, seperti misalnya, kecenderungan memandang komik sebagai tidak mendidik, membodohkan dan tidak mumpuni sebagai mata pencaharian. Di Indonesia, kebanyakan profesi komik masih belum bisa dianggap sebagai industri, lebih sebagai pekerjaan sampingan atau minat. Dulu komik memang pernah jaya di tahun 50-60an, di mana komik bisa menjadi mata pencaharian, tapi kemudian mengalami penurunan karena menghadapi persaingan dengan media lainnya.

Padahal sebenarnya, melihat kondisi minat baca di Indonesia, komik bisa menjadi salah satu bahan bacaan yang paling disukai. Lagipula, jika kita lihat, banyak sekali buku-buku ilmu pengetahuan, biografi dll. yang diterjemahkan dari bahasa asing dengan menggunakan format komik. Koran-koran melaporkan kegunaan komik sebagai panduan siaga bencana. Dengan menampilkan bahasa visual dan teks, komik bisa membantu pemahaman pembaca, sekaligus juga menantang komikusnya untuk menginterpretasikan bahan untuk komiknya tersebut.

Lintas Genre & Media

X-Go bercerita bahwa dia malah memandang komik sebagai bagian dari seni urban, dan dia juga tak jarang menorehkan komik di tembok-tembok kota. Komik Indonesia juga tidak lagi terbatas pada komik fiksi, tapi juga ada banyak peluang lainnya seperti komik untuk buku panduan, komik sejarah, komik siaga bencana, dan sebagainya.

Di sini dibahas bagaimana komik, yang diartikan sebagai gambar-gambar serta lambang-lambang lain yang bersandingan dalam turutan tertentu, tidak lagi terbatas pada kertas/buku, tapi sudah menjadi lintas media. Tidak ada batasan mengenai teks, gaya gambar, maupun jenis isi. Kini mulai bermunculan pula berbagai majalah komik online seperti rautan.com, makko.co. Ada adaptasi komik menjadi/dari animasi, novel, toys, aksesoris, patung, kain, bahkan batik.

Perlunya komunitas untuk sosialisasi dan edukasi

Tidak berbeda dengan pegiat kreatif lainnya di Surabaya, seperti yang telah dibahas di DIY Talks sebelum-sebelumnya, komikus-komikus pun mengeluhkan minimnya media dan ruang di Surabaya yang mengakomodasi komunitas, dialog dan kolaborasi. Mentok-mentok paling Balai Pemuda (yang baru saja terbakar) atau CCCL (yang tahun depan akan pindah ke tempat lain). Padahal, keberadaan komunitas dan infrastruktur lainnya yang mewadahi, mendokumentasikan, dan mensosialisasikan kegiatan-kegiatan ini dinilai sangat penting dalam perkembangan komik itu sendiri.

Para peserta menceritakan dengan sedikit nostalgis kenangan-kenangan lama mereka ikut serta dalam pekan komik di Malang, pekan komik nasional, dan berbagai cerita-cerita lain di mana mereka pertama kali bertemu. Mereka bercerita juga bagaimana pada awalnya mereka membuat komik dengan fotokopi. X-Go masih menyukai sistem fotokopi ini, sementara Yudis, Broky dan Pak Waw, meskipun sudah menerbitkan pada jalur penerbit, mengaku juga masih tetap menyukai etos komik komik indie yang memproduksi dan mendistribusikan sendiri.

Selain itu, tampak minimnya perhatian pada dokumentasi dan sejarah, serta pegiat-pegiat yang kurang memperhatikan aspek lain di luar proses produksi. Di sini dibahas juga fungsi dan misi Cergamboree, festival komik tahunan di Surabaya, yang pertama kali diadakan tahun 2008. Memasuki tahun keempatnya tahun depan, ada kemungkinan akan bergeser tanggal karena perubahan agenda dan tempat CCCL.

Acara-acara seperti pameran, menggambar bersama, workshop dan lain-lain memang sudah cukup marak dilakukan di Surabaya. Tapi, jarang sekali pelaku-pelaku komunitas saling berkumpul untuk berdialog dan bertukar informasi, apalagi berkolaborasi. Minimnya perhatian pada dokumentasi juga dinilai cukup akut—acara-acara sering digelar hanya untuk internal lingkaran sendiri, tanpa mempedulikan publikasi atau sosialisasi ke pihak-pihak luar, dalam bentuk blog post, misalnya.

Menurut Pak Waw, jika komik pernah mengalami masa jayanya, berarti komik semestinya bisa mengalami masa jayanya lagi. Tapi kelemahan utama dalam industri komik memang adalah pada manajemennya. Mau tak mau harus diakui, mindset komikus kebanyakan masih “mood-mood-an” dan belum mampu berdisiplin. Jadi kelakuan dan mitos “seniman” ini yang perlu dibenahi. Diperlukan adanya pembagian tugas dan kerjasama yang dibangun melalui pembentukan jaringan.

Terima kasih kepada seluruh peserta dan pengunjung diskusi: Yudis, Broky, Pak Waw, dan X-Go. Semoga diskusi kecil bisa sedikit memperkaya perkembangan kerjasama komik di Surabaya.

Fashion

Sabtu 22 Oktober 2011, pk. 17.00
Perpustakaan C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
Pembicara:
Kanya (VRY)
Marsha (kimilatta)
Ariani Widagdo (Arva School)
Era Hermawan (Tempat Biasa)
Alek Kowalsky (Ore Premium Store, allthethingsivedone)
Felkiza Vinanda (Surabaya Fashion Carnival)
Camomile Nungki (house of laksmi)

Moderator:
Linartha Darwis

DIY Talk hari ke 6 memecahkan rekor jumlah panelis terbanyak serta komplit dari berbagai aspek fashion. Mulai dari perancang fashion, aksesoris, blogger, retailer, dan akademisi, semua panelis disini memiliki passion yang sama terhadap dunia fashion. Simak dialog mereka dalam upaya merangkai infrastruktur fashion di Surabaya

DIY Screening: Bill Cunningham: New York (2010)

A cinematic profile of the noted veteran New York City fashion photographer.Cunningham’s enormous body of work is more reliable than any catwalk as an expression of