Minggu, 15 Mei 2011, menjelang pukul 6 sore, pengunjung mulai berdatangan di C2O untuk acara bedah buku Garis Batas: Perjalanan di Negeri-negeri Asia Tengah. Cuaca sedikit mendung, gerimis turun rintik-rintik. Ajeng, moderator untuk malam ini, sudah siap semenjak 2 jam yang lalu. Dengan sedikit khawatir Rhea, koordinator GoodReads Surabaya, mengabari, “Mas Agus sakit, sepertinya datangnya bakal mepet.”
Pukul 6 sore tepat, Agustinus, sang penulis Garis Batas, datang, tergopoh-gopoh memasang laptopnya ke proyektor. Dia tampak menghembuskan nafas lega setelah video slideshow photo-photonya siap terputar untuk acaranya.
Ajeng memulai acara dengan memperkenalkan Agustinus Wibowo, seorang petualang dan pengembara, yang lahir di Lumajang di tahun 1981. Lulus dari SMA 2 Lumajang, ia sempat menempuh 1 semester jurusan informatika di ITS, sebelum pindah ke Fakultas Komputer Universitas Tsinghua di Beijing. Garis Batas adalah buku keduanya yang diterbitkan oleh Gramedia setelah Selimut Debu. Keduanya merupakan kumpulan catatan perjalanan, sebagian darinya pernah dimuat di kolom “Petualang” Kompas.
Jika Selimut Debu menceritakan perjalanan Agus di Afghanistan, Garis Batas menceritakan perjalanannya keliling Asia Tengah: Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan. Ribuan kilometer yang dilaluinya ia tempuh dengan berbaga macam alat transportasi seperti kereta api, bus, truk, hingga kuda, keledai dan tak ketinggalan jalan kaki, dari tahun 2006-2007.
Berbeda dengan Selimut Debu yang lebih menonjolkan sisi petualangan dan kehidupan Afghanistan, Garis Batas banyak menampilkan refleksi Agustinus atas apa yang ia lihat dan alami di Asia Tengah. Kenapa judulnya Garis Batas? “Garis batas adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita adalah seonggok tubuh yang selalu membawa garis batas portabel ke sana ke mari. Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dengan siapa menutup diri.” Begitu pula dengan negari-negeri. Ada garis batas, ada proses pembentukan identitas yang terus berjalan, terkadang menembus batas-batas baru, tergadang bergolak, terkadang membeku. Dalam bukunya, Agustinus kental merefleksikan hal ini, dan juga membuat perbandingan-perbandingan dengan situasi di Indonesia seperti pengkotak-kotakan suku, agama, etnis, dan penggunaan bahasa.
Garis Batas: Perjalanan di Asia Tengah from c2o library on Vimeo.
Jika Selimut Debu menceritakan perjalanan Agus di Afghanistan, Garis Batas menceritakan perjalanannya keliling Asia Tengah: Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan. Ribuan kilometer yang dilaluinya ia tempuh dengan berbaga macam alat transportasi seperti kereta api, bus, truk, hingga kuda, keledai dan tak ketinggalan jalan kaki, dari tahun 2006-2007.
Berbeda dengan Selimut Debu yang lebih menonjolkan sisi petualangan dan kehidupan Afghanistan, Garis Batas banyak menampilkan refleksi Agustinus atas apa yang ia lihat dan alami di Asia Tengah. Kenapa judulnya Garis Batas? “Garis batas adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita adalah seonggok tubuh yang selalu membawa garis batas portabel ke sana ke mari. Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dengan siapa menutup diri.” Begitu pula dengan negari-negeri. Ada garis batas, ada proses pembentukan identitas yang terus berjalan, terkadang menembus batas-batas baru, tergadang bergolak, terkadang membeku. Dalam bukunya, Agustinus kental merefleksikan hal ini, dan juga membuat perbandingan-perbandingan dengan situasi di Indonesia seperti pengkotak-kotakan suku, agama, etnis, dan penggunaan bahasa.
Yang menarik dari kedua buku catatan perjalanan ini adalah, Agustinus tidak memandang perjalanannya sebagai target ataupun suatu misi untuk menguasai. Ia tidak menkalkulasi dalam berapa hari ia harus melewati berapa negara, atau menggunakan berapa banyak biaya. Cerita-ceritanya mencatat perjalanan, pengalaman, refleksi sehari-harinya. Ia tidak menyombongkan diri mengenai tempat-tempat yang telah ia kunjungi, atau makanan-makanan apa yang telah ia nikmati. Ia mengundang pembaca untuk turut tenggelam dalam petualangannya, sembari turut mengingatkan pembaca juga untuk berhati-hati pada sudut pandang eksotisme yang me-“liyankan”.
Sekitar 40-50 pengunjung terkumpul di C2O, antusias mendengarkan dan berpartisipasi dalam diskusi yang mengalir. Di sela-sela diskusi, Agustinus juga memutar video slideshow foto-fotonya di Asia Tengah dan Afghanistan, beberapa dapat dijumpai dalam bukunya. Banyak refleksi dan pengalaman perjalanan menarik yang ia ceritakan. Mulai dari membacakan secepat mungkin pembukaan UUD ’45 untuk menghindari sopir korup, mata uang terberat di dunia (saking kecilnya nilainya), mengkal melihat perbedaan yang begitu kontras dalam satu masyarakat yang berseberangan sungai (Afghanistan dengan Kirgiztan), dan lain-lain.
Acara berlangsung dengan seru, hingga tak terasa jam delapan telah lewat. Dengan sedikit menyesal, Ajeng menutup acara talkshow, yang kemudian dilanjutkan dengan sesi tanda tangan, tanya jawab, dan berbagai bahasan kecil-kecilan. Banyak terima kasih kepada Agustinus, moderator kesayangan kami Ajeng Kusumawardani, Rhea Siswi dari GoodReads Surabaya atas kerjasamanya, dan Gramedia Surabaya atas dukungannya. Acara yang sangat berkesan, dan kami berharap karya ini dapat dinikmati masyarakat luas.