2 Hari bersama Pram

Dalam rangka memperingati Hari Buku Nasional 17 Mei 2012, C2O Library & Collabtive bekerja sama dengan Pusat Dokumentasi HAM Ubaya menyelenggarakan rangkaian diskusi dan bedah buku yang berkaitan dengan Pramoedya Ananta Toer. Karya-karya yang berkaitan dengan Pramoedya Ananta Toer menjadi pilihan, diskusi dan bedah buku tersebut meliputi buku yang berjudul Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi oleh Savitri Scherer dan Jurnal, karya Redi Murti untuk Tugas Akhirnya di DKV UK Petra, terinspirasi oleh Sekali Peristiwa di Banten Selatan.

Selasa, 15 Mei 2012

Luruh dalam Ideologi

Diskusi hari pertama dilangsungkan Selasa 15 Mei 2012 pk. 10.00 di Gedung Serbaguna Fakultas Hukum Ubaya, dengan mengundang JJ Rizal (editor Komunitas Bambu), Antariksa (editor Luruh dalam Ideologi), dan Dian Noeswantari (Peneliti PusHAM Ubaya).

Antariksa memulai diskusi dengan menekankan bahwa buku ini ditulis di tahun 1981, di mana tentunya sumber-sumber yang ada berbeda dengan sekarang—ada sumber-sumber yang lebih banyak sekarang, tapi ada pula yang lebih sedikit. Yang menarik dari buku ini adalah buku ini menggunakan berbagai sumber yang mungkin sudah sangat sulit ditemukan. Kesulitan dalam penyuntingan buku ini adalah pengecekan daftar pustaka, karena Savitri banyak menggunakan sumber-sumber dari berbagai penjuru dunia—Prancis, Belanda, dan Australia.

Savitri Scherer adalah perempuan Jawa, yang sejak SMA sekolah di Australia. Thesis masternya di Cornell University telah diterjemahkan oleh Sinar Harapan, dengan judul Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Abad XX (1985). Beliau masih sangat aktif menulis, antara lain sebagai koresponden KOMPAS dan di jurnal ilmiah Archipel.

 Savitri sebenarnya dalam buku ini menyimpulkan bahwa Pram menjadi terperangkap dalam ideologi, terutama selama periode 1960-65, dari awalnya seorang “penulis sastra” menjadi “politikus”. Yang menarik di sini adalah Savitri berani memberikan penilaian, sesuatu yang pada umumnya tidak berani dilakukan oleh kita.

Pergeseran Pram ini perlu ditempatkan dalam konteks zamannya, di mana tahun 1960-65an, Pram tidak bisa lagi melepaskan karya-karyanya dari situasi dan perdebatan politik saat itu yang sangat keras.

Menarik lagi bagaimana pada bab-bab awal, buku ini memaparkan bagaimana disiplin ilmu sastra di Indonesia dibentuk, dan ini sama sekali tidak bersih dari kepentingan-kepentingan politis—entah politik kolonial, imperial, dan sebagainya. Ini bisa dibilang adalah penelitian pertama yang cukup lengkap dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Karenanya, buku ini adalah kajian yang perlu dibaca untuk memahami sekaligus mengkritisi Pram.

JJ Rizal menambahkan bahwa buku ini adalah buku ketiga yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu mengenai Pram. Menurutnya, buku ini adalah salah satu buku yang paling mendalam mengenai Pram. Saat ini, Pram seringkali menjadi mitos, seolah-olah kebenaran yang tidak ada kesalahannya. (Sebagai contoh, Pram menulis bahwa Jalan Raya Pos melewati Depok, padahal tidak demikian adanya.) Kekaguman kita pada Pram terlalu besar. Kita semua merasa mengenal Pram, tapi tidak memahami Pram.

Menurut Rizal, tidak mungkin kita memahami apa itu Indonesia, dan apa alasan kita menjadi Indonesia, tanpa membaca karya-karya Pram. Pram membuat tafsir atas asal-usul Indonesia. Dia menolak konsep asal-usul Indonesia yang ditawarkan oleh Sukarno yang katanya berasal dari Budi Oetomo. Pram melakukan penelitian sendiri, dan dia tidak percaya pada arsip-arsip yang ditulis oleh birokrasi. Dia menolak percaya pada asal mula gerakan Syarikat Islam yang katanya dimulai oleh Tjokroaminoto. Dia mencari sendiri karakter-karakter yang disingkirkan dari sejarah, misalnya Tirto Adisoerjo yang bisa dikatakan identik dengan dirinya sendiri.

Rizal menggarisbawahi, bagaimana memang setelah kemerdekaan, ada perdebatan mengenai “krisis/impasse sastra”, yang sebenarnya berakar dari krisis politik. Tafsir terhadap apa itu sastra, sebagai bagian dari konteks budaya modern untuk mengekspresikan diri menjadi dipertanyakan di tengah arus informasi metode penulisan sastra.


Selesai acara kami beberes, dan membawa Antariksa dan Rizal untuk mencoba Soto Gubeng. Yang kita sukai juga adalah krupuk Lekor dengan saus asam manisnya. Rizal bercerita banyak hal—mengenai pengalamannya sebagai mahasiswa sejarah di UI, diajar oleh Onghokham (yang datang-datang membawa bandeng asap ke kelas dan menanyakan apa yang diperlukan untuk tanam paksa), dan gosip-gosip lainnya. Sedikit menyayangkan bagaimana sistem pendidikan sekarang tidak memperkenalkan guru-guru besar ini mengajar pada tataran S1 lagi….

Rabu, 16 Mei 2012

Ideologi & Wawasan Kebangsaan dalam Karya Pramoedya Ananta Toer

Diskusi kali ini berlangsung di ruang sidang lt. 2 FIB Unair, kembali menampilkan Antariksa dan JJ Rizal, dengan Pak Sebastian sebagai moderator. Diskusi dibuka dengan menyoroti bagaimana di awal abad ke-20 hingga 1965, terjadi perdebatan-perdebatan yang keras dan produktif tentang “arah”, satu situasi yang menurut Antariksa sebenarnya sedikit mirip dengan situasi sekarang. Ada kebingungan dengan percepatan-percepatan itu, dan orang-orang sedikit banyak kembali ke identitas-identitas partikular mereka.

Menurut Antariksa, secara garis besar ada dua kutub pertentangan yang terjadi di awal bada ke-20 hingga 1930an mengenai arah wawasan kebangsaan tersebut. Ada yang bersikukuh kembali ke kebudayaan “asli” dan menentang kebudayaan Barat sebagai rendah. Di kutub yang lain ada Sutan Takdir Alisjahbana yang menganjurkan mengikuti budaya barat dan meninggalkan ketimuran. Tentu saja, ini hanyalah contoh-contoh ekstrem—di tengah-tengahnya, ada banyak kelompok-kelompok asimilatif yag moderat (atau bisa jadi, malas menentukan posisi ;) ), seperti Soewardi Surjodiningrat yang dikenal juga sebagai Ki Hadjar Dewantara. Ini menunjukkan adanya semacam kegelisahan dalm pencarian “kemurnian”, satu kondisi yang juga sedang kita rasakan dengan meningkatnya konflik etnis, kelompok agama, dan otonomi daerah.

Ketika LEKRA berdiri di tahun 1950an, sebenarnya Lekra tidak mempunyai sikap yang tegas dalam perkutuban ini. LEKRA percaya tradisi perlu dijunjung, tapi tidak boleh mengabaikan kepentingan orang banyak. Yang penting, berpihak pada rakyat. Boleh dibilang, keberhasilan PKI menjadi partai terbesar setelah jatuh di tahun 1948 sangat dipengaruhi oleh kerja LEKRA yang menggunakan seni untuk politik secara sistematis dan terorganisasi. Mereka menggunakan seni-seni rakyat seperti ludruk, reog, wayang wong, wayang kardus dsb. untuk kampanye, yang mana setelah 65 kemudian sangat terkena imbasnya. Dengan berpegang teguh pada realisme sosialis, LEKRA juga membangun metode-metode sistematis untuk mengembangkan kesenian, misalnya 1-5-1, Turba (Turun ke Bawah), dan 3 Sama (Kerja Bersama, Makan Bersama, Tidur Bersama). LEKRA berpegang untuk memperkuat kesadaran politik dan memberi pegangan taktis.

Pramoedya masuk ke LEKRA ketika kedekatan antara Sukarno, Lekra, dan PKI sudah terbangun. Selain itu, perlu diingat bahwa di masa itu orang-orang mau tidak mau harus memiliki posisi, dan seniman-seniman mau tidak mau harus berorganisasi. Pramoedya sendiri sudah mempunyai sifat kerakyatan sejak awal. Figur Pram, karenanya, sangat tepat untuk direkrut. Apalagi, setelah 1959 memang ada kebijakan untuk merekrut/menawarkan jabatan pada nama-nama besar. Pram tidak ikut dalam perdebatan, tapi giat menulis dan melakukan penelitian. Tapi Pram terutama kecewa dengan polemik mengenai krisis 1950an, di mana menurutnya seniman dan pemikir lebih sering berkelit untuk membicarakan bentuk ekspresi daripada isi ekspresi itu sendiri.

Ada perdebatan bahwa dalam dunia sejarah dan sastra, tidak ada tempat untuk orang kecil. Sebabnya dikatakan berakar dari jurang antara desa dan kota. Tapi menurut Pram, bukannya tidak ada tulisan mengenai orang kecil tapi sifatnya seringkali masih turistik, pariwisata. Standar bentuk yang diterapkan mengeksklusi bentuk ekspresi orang-orang kecil. Karenanya, persoalan mendasar di bidang kebudayaan dan sastra, sesungguhnya berakar dalam krisis dalam dunia politik di Indonesia.

Jurnal: Pram dalam tafsir masa kini

Sorenya, pk. 18.00, kami berkumpul di C2O lagi untuk membahas karya Redi, Jurnal. Novel grafis Jurnal ini dibuat untuk syarat formal Tugas Akhir Redi di DKV UK Petra. Redi tidak menyangka TA-nya ini kemudian dapat diikutsertakan dalam pameran dan bahkan dibuat acara bedah bukunya. Karya ini dibuat terinspirasi dari novel Pram Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Redi sesungguhnya merasa novel grafis ini masih sangat kurang sempurna, terutama dari segi ceritanya, apalagi nama besar Pram membuatnya keder.

Awalnya Redi membaca buku Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, dan dikatakan dalam buku itu bahwa ideologi-ideologi Pram banyak termuat dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Pertamanya, Redi ingin mengadaptasi dari novel itu, tapi akhirnya, karena berkaitan dengan perkuliahan, dosen pembimbing mengatakan perlu mengubah cerita. Jadi, dari adaptasi menjadi inspirasi.  Dialog dan pembabakan disesuaikan dengan buku Pram. Dalam buku ini, Ipang adalah seorang wartawan idealis yang bertemu dengan Cak Bowo, yang pernah mengasingkan diri ke luar karena pergolakan politik. Settingnya tahun 2011, meskipun gaya gambarnya mengingatkan kita pada poster-poster propaganda lama.

Antariksa menganggap novel grafis karya Redi ini menarik, karena Redi melakukan negotiated reading (pembacaan yang menegosiasikan) pada Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Novel grafis ini menurutnya adalah cara generasi muda menafsirkan Pram dalam percobaan yang berani dan perlu dipuji. Seharusnya Pram memang tidak diamini 100% dan perlu diadaptasi karya-karyanya. Tidak ada masalah dalam alasan Redi membuat ini “hanya” untuk Tugas Akhirnya, karena pada akhirnya setiap seniman juga mempunyai kepentingan. Sebagai contoh, buku Eka Kurniawan Pramoedya dan Sastra Realisme Sosialis yang disebutkan Redi sebelumnya, juga ditulis untuk skripsi kelulusan dari S1 UGM. Tapi memang komik ini perlu digambar ulang, lebih dilengkapi dengan referensi-referensi yang telah didapat—inilah salah satu fungsi forum-forum seperti ini.

Antariksa sebelumnya menambahi, bahwa realisme sosialis itu sendiri tidak dikenal hingga 1950an. Menguraikan sambil ngrepek dari buku penelitiannya, Tuan Tanah Kawin Muda, Antariksa menjelaskan bahwa dulunya, gaya gambar cenderung naturalis, atau apa yang disebut sebagai Mooi Indie, Hindia yang molek. Sudjojono kemudian mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) di tahun 1938, yang menentang penggambaran Indonesia yang molek tanpa sengsara. Yang namanya keindahan Indonesia menurutnya adalah yang memotret keindahan seperti apa adanya. Konsepsi ini baru matang di tahun 1950 ketika ada organisasi kebudayaan LEKRA yang merumuskan bahwa seharusnya seni rupa, sastra, dan seluruh kesenian, harus memegang teguh apa yang disebut sebagai realisme sosialis.

LEKRA merumuskan satu prinsip yang sangat terkenal, yaitu 1-5-1: (1) Politik sebagai panglima, (2) Azas politik sebagai panglima ini harus dijalankan dalam lima kombinasi:

  • meluas (populer, horizontal, semua orang harus mengerti) dan meninggi (bagus secara artistik)
  • tinggi mutu ideologi dan estetik
  • memadukan tradisi yang baik dan kekinian yang revolusioner
  • memadukan kreatifitas individual dan kearifan massa
  • memadukan realisme sosialis dan romantik revolusioner

Azas dan metode 1-5-1 ini harus dijalankan dalam prinsip turba (Turun ke Bawah), prinsip yang seringkali juga diplesetkan sebagai turun kebo atau turun babi.

Nah, realisme sosial muncul sebagai pernyataan nyata seperti itu. LEKRA tidak punya rumusan yang jelas mengenai apa itu realisme sosial, tapi punya rumusan metode kerjanya. Selain 1-5-1 di atas, ada juga 3 Sama, yakni (1) kerja bersama, (2) makan bersama, dan (3) tidur bersama. Tampaknya, gagasan seperti ini hanya diketahui sedikit petinggi LEKRA. Satu-satunya orang yang membuat rumusan rinci mengenai realisme sosialis adalah Pramoedya. Menurut Pram, realisme sosialis adalah sosialisme yang dipraktikkan dalam kesenian—jadi berbeda dalam gambaran realis seperti yang dijelaskan Sudjojono, melalui 1-5-1 dan 3 Sama. Ini sedikit banyak sama dengan “Sama Rasa Sama Rata” dari Tan Malaka.

Pram mengajukan dua cara untuk mencapai realisme sosialis, yaitu:

  1. Memperkuat kesadaran politik—jadi seniman sendiri pertama-tama harus punya kesadaran politik
  2. Memberikan pegangan taktis yang meliputi :
    1. Menentukan garis yang tepat antara ilmu untuk ilmu dan ilmu untuk rakyat
    2. Meluas dan meninggi
    3. Politik sebagai panglima
    4. Turun ke bawah

Pram sendiri sesungguhnya bukan orang lapangan. Dia adalah arsiparis yag lebih meneliti melalui kliping. Karya awal Redi ini menurut Antariksa sangat mempunyai potensi untuk menjadi komik yang berdasarkan riset sejarah. Bisa berdasarkan kliping koran, buku-buku lain, dan forum-forum seperti ini perlu terus dilakukan. Dari segi bisnis, wilayah komik sejarah ini pun belum digali di Indonesia. Lantas, ada baiknya juga teman-teman lain mulai menggali hal-hal semacam itu, karena ada banyak yang bisa digali dari Surabaya.

Antariksa menyarankan metode kerja yang melibatkan forum seperti ini mungkin bisa direplika. Selama ini kita membayangkan seniman sebagai penyendiri dengan kreatifitas karya yang bersifat individual. Di iCAN, ada forum yang disebut WIPs, Works in Progress, di mana seniman-seniman yang sedang dalam proses pembuatannya, melakukan presentasi mengenai karyanya. Ini juga bisa diterapkan pada mahasiswa menjelang skripsinya. Tiga bulan sebelum skripsi, mahasiswa bisa latihan. Ini juga membantu seniman untuk berlatih mengartikulasikan karya. Bagaimanapun, karya yang baik adalah karya yang bisa diartikulasikan. (Jika seniman tidak jago bicara, setidaknya diperlukan kurator atau juru bicara yang canggih.) Ini bukan sekedar pandai presentasi, tapi mampu menjelaskan dengan masuk akal mengenai isi karya.

Pola ini dapat memperkaya wawasan pengetahuan semua peserta. Selain itu, agar buku ini bisa diterbitkan, perlu diperhatikan juga isu copyright dan profesionalitas. Diperlukan juga editor dan tim kerja untuk memeriksa dan merevisi bentuk maupun isi karya tersebut. Bisa jadi ada asisten gambar, asisten yang membantu meneliti, dan asisten yang memeriksa (editor). Ini ada baiknya ditentukan di awal untuk menghindari pecah belah pertemanan. Kerja seperti ini juga adalah kerja multidisiplin—komikus perlu memahami sejarah, sedikit statistik, dan sebagainya.

Selain itu, perlu dipertimbangkan juga posisi komik ini—apakah ingin lebih sebagai komik seni limited edition, yang ditujukan untuk mahal, atau mengikuti format komik yang lebih populer. Andriew menambahkan, bahwa kita mungkin bisa mengambil sistem kerja di Jepang, di mana sejarah dan komik kerap kali dipadu dengan cara populer maupun artistik tanpa demarkasi yang kaku. Sebagai contoh, Takehiko Inoue, komikus Slam Dunk, juga membuat komik Vagabond, yang diadaptasi dari buku Miyamoto Musashi Eiji Yoshikawa. Komik ini memenangkan berbagai penghargaan seni tapi juga dengan penjualan yang bagus. Jika kita bereksperimen dan mencoba membangun sistem kerja sendiri dan kolaboratif, kita bisa mencoba untuk tidak terlalu bergantung pada polarisasi sistem baku galeri vs. penerbit mainstream.

Di akhir acara, Antariksa menawarkan sharing mengenai berbagai penelitian dan pengalamannya sehubungan dengan seni rupa di Indonesia. Akhirnya setelah godok sana-sini kami mengadakan sesi sharing kecil di ORE Premium Store. Terima kasih Antariksa, JJ Rizal, Redi Murti, Dimas dan Bu Dian dari Pusdokham Ubaya, FIB Unair, Komunitas Bambu, Perpustakaan Indonesia Timur, dan semua kawan-kawan yang telah berpartisipasi dan mendukung acara ini. Ada banyak pengetahuan dan informasi baru yang didapat dari diskusi-diskusi kecil ini—semoga bisa sedikit memicu tindakan dan pikiran lebih lanjut!

Foto oleh Anitha Silvia

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply