Reportase: Pragmatic & Dematerialised Architecture

Sabtu, 24 November 2012, 19.00 – 21.00
Presentasi: Pragmatic & Dematerialised Architecture

Ada dua presentasi malam ini, yang dilakukan oleh ARA Studio (Hermawan Dasmanto) dan ordes arsitektur (Endy Yudho)

Pragmatic Architecture

Tema “Pragmatic Architecture” dibawakan oleh Hermawan Dasmanto dari ARA Studio yang mempresentasikan entri lombanya yang memenangkan Indocement Award 2012, yang dia namakan “Box Culvert House”. Hermawan menceritakan sedikit latar belakang lomba ini, di mana kriteria penilaian Indocement adalah “Bagaimana mendefinisikan rumah urban sekarang.”

Menanggapi pertanyaan tersebut, Hermawan kemudian berusaha melihat dan mempertanyakan kembali, rumah urban itu seperti apa? Rumah urban itu rumah yang berada di situasi urban, atau bagaimana?

Beranjak dari pertanyaan itu, dimulailah pencarian dengan pertanyaan apa itu rumah urban. Selain rumah “urban” yang dapat kita temukan di majalah-majalah, Hermawan menemukan sebenarnya ada juga banyak rumah modifikasi yang bisa ditemukan di kota Surabaya: rumah yang dimodifikasi dari mobil, rumah dari gorong-gorong, rumah “apartemen kolong jembatan”. Contoh-contoh ini bahkan bisa dikatakan dengan lebih efisien dan murah memaksimalkan ruang dan sarana yang ada.

Bisa tinggal dengan cukup nyaman dalam gorong-gorong
“Apartemen” kolong jembatan
Rumah dimodifikasi dari mobil

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana manusia bisa menemukan “ruang” untuk dirinya?

Sebagai contoh, taruhlah kotak. Mungkin orang bisa duduk di atasnya. Taruhlah papan panjang, orang bisa berdiri dan bersender di depannya. Taruhlah kotak panjang di atas sungai, dia akan menjadi jembatan di mana orang bisa berjalan di atasnya,” urainya lebih lanjut.

Dari sini kita tiba pada konsep “affordances“, yakni kualitas suatu objek/lingkungan yang mempengaruhi apa yang dapat dilakukan di dalamnya. Affordances dipengaruhi oleh dua hal, yakni (1)  yang terpersepsikan (perceived), dan (2) kemungkinan aksi (action possibility).

Nah, di dalam gorong-gorong, Hermawan melihat adanya kemungkinan aksi dan interaksi antara objek dan manusia, yang belum terbangun persepsinya. Misalnya, dia menunjukkan liputan media yang menunjukkan “Tumpukan box culvert jadi sarang penjahat”.

“Tapi tidak semua potensinya se-‘seram’ itu. Saya juga menemukan gorong-gorong digunakan anak-anak untuk bermain-main dengan air, dipakai oleh tukang-tukang untuk beristirahat, makan, tidur, dan sebagainya.”

Dari sini muncul pertanyaan, dapatkah kita membuat ruang tempat tinggal, dari barang-barang yang tidak tidak dirancang (di awalnya) untuk bangunan tempat tinggal? Bisakah kita mengubah dan mempertanyakan kecenderungan-kecenderungan umum dari penerapan arsitektur, seperti harus menggunakan beton baru, batu bata, dan sebagainya?

Padahal kalau kita melihat sekeliling saja, tampak bahwa gorong-gorong memiliki kemungkinan aksi yang tinggi, yang memberi kesempatan manusia berinteraksi dengan objeknya, untuk tidur, makan, beristirahat di dalamnya. “Apalagi bentuknya asik, sangat mudah dibongkar pasang karena box culvert dibuat dengan berbagai ukuran. Asik diutak-atik, kayak mainan,” lanjutnya.

Beberapa alur pergerakan yang memungkinkan

Selain itu, secara pergerakan arus, bentuk box culvert juga memberi potensi untuk sekedar lewat, lewat dan berjalan di depannya, dan sebagainya. Jadi perancangan dengan box culvert sebenarnya memiliki potensi fleksibilitas dan bongkar pasang yang luar biasa.

Pada akhirnya, kita tidak bisa melihat potensi benda hanya berdasarkan fungsi normatifnya. Kita sering kali puas dengan prakonsepsi mengenai objek-objek yang ada di sekitar kita.

Kita perlu kembali melihat potensinya dengan melihat bahan-bahannya, daya tahannya, bentuknya, dan karenanya tidak langsung menentukannya fungsinya sebagai itu saja. Jika orang tidak menamainya (dan kemudia mengunci fungsinya) sebagai box culvert, ini menjadi struktur kuat yang berbentuk huruf C, dan memiliki berbagai potensi untuk diciptakan sebagai hal-hal, bangunan-bangunan yang baru.

Dematerialization of Architecture

ordes arsitektur sebagai studio yang lebih memfokuskan pada pembahasan teks dan teori, kali ini mempresentasikan mengenai dematerialisasi arsitektur. Pembahasan ini ditarik oleh Endy Yudho sebagai perlanjutkan karya Peter D. Eisenman, tulisan yang sebenarnya hanya empat halaman, tapi menurutnya sangat penting, memaparkan mengenai arsitektur konseptual. Yang bebas dari materi fisik, atau arsitektur sebagai suatu gagasan dan ide.

Pembahasan ini, menurut Endy, dipicu dari pertanyaan yang dia lempar di Facebook, “Apa itu arsitektur?” Arsitektur seringkali dipahami sebagai bangunan fisik, tapi yang memiliki “estetika” tersendiri. Nah, kategori estetika ini yang kemudian Endy permasalahkan. Jadi, rupa-rupanya, dalam sejarah arsitektur, tidak semua bangunan dianggap sebagai arsitektur. Slum, bangunan yang reyot, rupanya pernah tidak dianggap sebagai arsitektur. Padahal, “If it doesn’t leak, then it’s not architecture,” lanjut Endy mengutip Frank Lloyd Wright, salah satu arsitek ternama dunia di abad kedua puluh. Jadi, sebenarnya bisa dipertanyakan sekali bangunan mana yang termasuk arsitektur dan mana yang tidak.

Pada kedua pembahasan, meski tidak ada perjanjian sebelumnya, sebenarnya tampak ada kegelisahan keduanya pada standard-standard yang berlaku dan diterapkan di antara praktisi, di lingkungan akademi, dan di media. Mereka berdua mempertanyakan standard yang dibangun ini. Apalagi sekarang ini, bentuk-bentuk “eksotis”, “unik” atau “lestari” seringkali hanya diterapkan pada tatanan bentuk sebagai gimmick. Misalnya, atap berbentuk asbestos, sementara lantainya granit yang sangat mahal.

Bahwa rumah urban tidak harus rumah yang dibangun dari bahan-bahan standard yang serba baru,  tapi bisa menjawab kebutuhan, membangun dari struktur-struktur dan unsur-unsur bangunan yang ada di sekitar, dan memperhatikan potensi di luar penggunaan-penggunaan normatif. Bahwa istilah “arsitektur” tidak terbatas pada bangunan, apalagi yang indah-indah saja, tapi justru terletak pada gagasannya. Kunci dari proses ini mau tak mau memerlukan kepekaan untuk mengamati sekeliling, mempertanyakan fungsi-fungsi yang ada, bagaimana orang-orang menanggapi dan berinteraksi dengan objek, dan bagaimana rancangan kita dapat membangun, menjawab permasalahan dari pengamatan-pengamatan tersebut.

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply