Kehidupan Rahasia Pembaca (2/3)

Bentuk pembacaan berseling yang dilakukan dalam perjalanan dengan kereta kuda, di mana pembaca yang terguncang-guncang di atas jalan bergerunjal di abad ke-18 dan 19 mungkin menikmati beberapa menit bersama buku di penginapan ketika kusir berhenti untuk mengganti kudanya, seperti bagaimana pelancong sekarang membaca di ruang tunggu bandara sebelum lepas landas. Gambar: John Tenniel: ‘Alice on the Train’, engraving, 1872

Artikel ini merupakan bagian dari seri eksplorasi mengenai makna dan pengalaman membaca. Artikel kali ini diterjemahkan dari tulisan Jennifer Howard, “Secret Lives of Readers,” The Chronicle of Higher Education, 17 Desember 2012:  http://chronicle.com/article/Secret-Reading-Lives-Revealed/136261/ Karena artikel asli ini cukup panjang, untuk memudahkan pembacaan, artikel ini dipecah menjadi tiga bagian. Ini adalah bagian kedua, silakan membaca bagian pertama di situs kami. Semoga menikmati!


Jika sejarah buku sudah cukup terbangun, sejarah membaca baru saja terbentuk dalam dua dasawarsa terakhir, menurut Shafquat Tow­heed, pengajar Sastra Inggris di Universitas Terbuka di Inggris, dan direktur dari Reading Experience Database, atau RED. “Kami mulai mendapati mahasiswa mempelajari itu sebagai pilihan di tingkat pascasarjana dan sarjana,” kata Towheed.

Keberadaan sumber online seperti RED telah membantu mendorong bidang ini. Digagas oleh Simon Eliot, seorang lagi tokoh berpengaruh dalam sejarah membaca, RED didirikan sejak 1990an, tapi baru saja diperbaiki sebagai sumber online di tahun 2006.

Tim penelitinya menelusuri perpustakaan dan arsip untuk segala catatan mengenai kegiatan membaca yang terekam dalam karya terbitan maupun naskah tulisan. Basis data ini dibangun dari surat-surat, buku harian, buku-buku sehari-hari, biografi ataupun memoar, dan sumber lain seperti catatan penjara dan pengadilan. Para peneliti ini telah meminta bantuan dari masyarakat pendukung penulis untuk mencari referensi mengenai penulis-penulis tertentu. Semenjak basis data ini berpindah online, mereka telah membukanya menjadi terbuka untuk crowdsourcing, mengajak sukarelawan untuk menyumbangkan catatannya juga.

Basis data dengan akses terbuka (open-access) ini mengkoleksi catatan pengalaman membaca Inggris sejak 1450-1945, dan telah mengumpulkan 31,000 rekaman sejauh ini. “Inggris” di sini mencakup siapapun yang lahir dan tinggal di Inggris selama periode tersebut. Pengguna dapat mencari menggunakan kata kunci, pembaca, atau pneulis. Tiap catatan mencantumkan (estimasi terdekat) tanggal pengalaman membaca; di mana membaca dilakukan (di London, di rumah, dan sebagainya); siapa yang membaca (usia, gender, pekerjaan, dan sebagainya); apa yang mereka baca; apakah mereka membaca sendiri atau dengan orang lain.

Satu sumber yang sangat kaya adalah Laporan Kerja Old Bailey, pengadilan kriminal pusat London, yang catatannya semenjak 1674 hingga 1913 baru saja dipasang online. Sumber penting lainnya adalah karya Henry Mayhew, London Labour and the London Poor, satu catatan epik yang terdiri dari banyak jilid, diterbitkan oleh wartawan di 1951 berdasarkan penyelidikannya mengenai bagaimana kelas pekerja dan kelas bawah hidup di kota. Menjelajahi materi-materi seperti ini menghidupkan kembali pengalaman pembaca zaman dulu. Dalam esai yang berhubungan dengan RED, “Reading Culture in the Victorian Underworld,” Rosalind Crone, pengajar sejarah di Universitas Terbuka, mengingat beberapa anekdot dari penjelajahan Mayhew di tengah-tengah penduduk London yang kurang beruntung: “Si pembuat perangkap tikus yang cacat, ‘untuk satu jam bacaan ringan’, membaca Paradise Lost Milton dan sandiwara Shakespeare. Sementara pembuat manisan membeli kertas cetak buangan untuk membungkus produknya dari toko alat tulis atau dari toko buku tua—sambil dia membaca tulisannya sebelum dia menggunakan kertas tersebut, ‘dengan cara ini dia dapat membaca habis dua Sejarah Inggris.’”

Jumlah data terbanyak RED berasal dari abad ke-19, era yang banyak direpresentasikan dalam tulisan dan arsip. Arsip ini berusaha mencakup lebih dari periode tersebut, dan juga untuk “berinternasionalisasi,” ucap Towheed. Projek RED telah didirikan di Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Belanda.

Edmund King, salah satu peneliti projek, mengawai operasi sehari-hari basis data tersebut. Dia bergabung dengan RED di 2010 untuk mencari referensi mengenai membaca di zaman Perang Dunia I—salah satu prioritas penelitian RED, dengan seratus tahun konflik yang ada pada kita.

“Untuk beberapa lama saya telah pergi ke berbagai arsip dan perpustakan di Inggris dan pada dasarnya membaca semua surat dan buku harian, dan melihat apa yang dapat saya temukan,” kata King. Dia telah mengumpulkan kira-kira 2.000 catatan Perang Dunia I, yang telah menghasilkan kilasan mengenai membaca di tengah-tengah parit. Berlawanan dengan stereotipe dari 1920 dan 1930an yang mengatakan bahwa serdadu di garis depan membaca propaganda atau brosur yang menggembar-gemborkan kecintaan pada tanah air, King mengatakan, “Perasaan saya membaca buku harian serdadu itu adalah bahwa mereka mencari sesuatu untuk melarikan diri, escapist, untuk mengingatkan mereka pulang.”

Keluarga-keluarga mengirimkan koran-koran lokal pada anak-anak lakinya yang bertugas. “Membaca koran lokal sangatlah populer,” katanya. Begitu pula fiksi yang mengingatkan mereka pada masa kecil, dan membiarkan mereka melarikan diri, jika hanya pada halaman buku.  “Fiksi petualangan remaja menjadi bagian besar kehidupan mereka.”

Katie Halsey, saat ini mengajar Sastra Inggris abad 18 di Universitas Stirling, juga bekerja sebagai peneliti di projek RED. Pekerjaannya ini membawanya menghasilkan buku Jane Austen and Her Readers, 1786-1945 (Anthem Press), diterbitkan tahun ini.

Halsey menulis disertasinya mengenai Austen. “Saya ingin mencari informasi mengenai pembacanya, tapi itu sangat sulit dilakukan,” katanya. Sebelum RED, “tidak ada tempat untuk memulainya.”

“Tidak ada yang tertarik pada hal seperti itu,” katanya, “kemungkinan karena ini begitu sulit dilakukan” atau karena akademi tidak pernah terlalu peduli mengenai apa yang orang biasa katakan mengenai buku.

Selama dia di RED, rekannya memberi tips mengenai kelompok membaca Quaker di Reading yang telah melakukan pertemuan sejak 1890an. “Hal fantastik mengenainya adalah bahwa mereka menyimpan catatan tertulis untuk setiap pertemuannya,” kata Halsey.

Mempelajari respon pembaca Jane Austen selama 200 tahun mengkonfirmasi apa yang Halsey sangka selama ini: “Janeites” cenderung merasakan kedekatan personal pada penulis dan “membangun komunitas yang berhubungan dengannya.” Kelompok membaca Quaker melakukan pembacaan dramatis Austen ketika mereka pertama kali membaca Austen, ujar Halsey, dan terus kembali ke karya Austen sepanjang waktu.

Penekanan RED untuk menghidupkan kembali pengalaman pembaca biasa berkaitan erat dengan Simon Eliot, profesor sejarah buku di School of Advanced Study, Universitas London. Eliot mengatakan dia mendapatkan ide untuk RED 20 tahun yang lalu di tempat parkir di Coventry. Dia baru saja menghadiri konferensi mengenai membaca di mana kebanyakan makalah memfokuskan perhatiannya pada satu orang pembaca yang mencolok. “Saya khawatir bahwa terlalu banyak kajian dibuat berdasarkan pada kasus-kasus yang agak anomali, agak luar biasa, dan karenanya tidak dapat diandalkan.”

Untuk setiap Pepys atau Johnson atau Woolf, ada ribuan orang yang hanya… membaca. Di mana mereka? Eliot ingin mengetahui apa yang dia sebut sebagai “pembaca omnibus Clapham.” Apa, di mana, dan bagaimana orang biasa, bagaimanapun mereka didefinisikan, sebenarnya membaca?

Yang memuat perhatian khusus adalah buku sehari-hari, kata Eliot, merujuk pada campuran atau buku buram (scrapbook) yang disimpan orang untuk membantu mereka mengingat berbagai hal yang mereka baca. Buku-buku keseharian khususnya populer ketika kertas masih jarang dan mahal, sebelum revolusi pertengahan abad ke-19 dalam teknologi pembuatan kertas menyebabkan pengusaha berganti menggunakan bubur kayu yang jauh lebih murah dan mudah tersedia. “Seringkali orang menyalin sebagian besar novel, karena mereka tidak mampu membelinya,” kata Eliot.

Peneliti yang terlibat di RED tidak hanya menginginkan daftar materi bacaan. “Tidak cukup hanya merekam pengalaman membaca. Kami juga ingin tahu di mana membaca dilakukan,” kata Eliot. Jadi mereka dengan teliti memastikan bahwa bentuk catatan basis data dapat memuat informasi deskriptif lainnya mengenai pengalaman membaca. Apakah pengalaman pembaca dengan buku terjadi di siang hari atau dengan menggunakan lilin? Apakah buku dibaca keras-keras, atau dengan diam sendiri? Sambil bergerak, atau di ranjang? Eliot bercerita mengenai bentuk pembacaan berseling yang dilakukan dalam perjalanan dengan kereta kuda, di mana pembaca yang terguncang-guncang di atas jalan bergerunjal di abad ke-18 dan 19 mungkin menikmati beberapa menit bersama buku di penginapan ketika kusir berhenti untuk mengganti kudanya, seperti bagaimana pelancong sekarang membaca di ruang tunggu bandara sebelum lepas landas.

Pembaca zaman sekarang, setidaknya di Barat, cenderung tidak terlalu memusingkan apakah akan memiliki sesuatu untuk dibaca, ataupun penerangan yang cukup, “karena buku dan penerangan begitu murah,” kata Eliot. Pembaca Inggris di zaman dulu tidak seberuntung itu. Kecuali mereka mampu menggunakan lampu minyak atau lilin beeswax, mereka harus menggunakan lilin yang bau dan berantakan dari lemak. Sumber-sumber cahaya yang tidak sempurna ini memerlukan perawatan yang rutin dan merupakan sumber bencana api. Dalam kondisi seperti itu, “membaca harus dikoreografikan,” kata Eliot. “Anda harus berheti dan memangkas” sumbu lilin dan menghindari resiko terbakar. Koran Inggris merupakan sumber informasi berharga mengenai kondisi membaca dan bagaimana ini dapat mematikan. “Salah satu catatan dalam the Times menceritakan mengenai seorang perempuan di kamar tidurnya, sudah bersiap tidur, membaca naskah sandiwara, dan kemudian lilinnya mengenai rambutnya, dan kemudian dia ditemukan terbakar,” kata Eliot, “Bahkan, tampaknya dia tidak selamat.”

Naskah sandiwara yang ditemukan di sebelah kursi perempuan tersebut adalah materi bacaan yang popular dan ramah dompet: semacam proto-paperback versi abad ke-19, dipasarkan ke massa pembaca jauh sebelum Penguin. “Biasanya mereka sepanjang 20-30 halaman,” katanya. “Mereka dibungkus kertas. Mereka akan dijual dengan harga enam pence, seringkali satu penny atau dua pence.”

Reading on Collins Street. Foto (cc) State Library of Victoria

Catatan kriminal kadang-kadang juga memuat detil yang menguakkan. Sebagai contoh, Eliot menyebutkan deskripsi mengenai pencopet yang mendapatkan untung dari orang-orang yang “bergerombol membaca poster terbaru” dari acara teater. Catatan-catatan seperti ini, bersamaan dengan fotografi dan ilustrasi dari kota Victoria, dan novel—Dickens menceritakan kertas-kertas yang berterbangan di kota—menghidupkan kembali pengalaman sehari-hari. “Orang-orang di abad ke-19  berjalan di tengah-tengah hutan cetak,” katanya.

Tantangan untuk “pembacaan sementara (ephemeral)” seperti ini jelasnya adalah apa yang tidak orang catat dalam buku hariannya, buku buram, atau pada surat kepada teman. “Meskipun kamu menulis dalam buk harian yang rahasia, apakah kamu akan mengungkapkan bahwa kamu menghabiskan waktu membaca paket sereal?” tanya Eliot. “Aku kira tidak.”

Memang salah satu aspek paling membingungkan dan kompleks dari mengkaji sejarah membaca adalah bagaimana menghidupkan kembali kegiatan dan tanggapan yang tidak pernah di- atau terekam sejak awal. Sebagai peneliti literer, Leah Price berada dalam usaha untuk memaknai teks. Dalam buku terbarunya, How to Do Things With Books in Victorian Britain, Price memperhatikan tidak saja isi buku tadi juga bagaimana orang-orang di zaman Victoria menggunakannya untuk menciptakan atau mengontrol relasi sosial. Buku “dapat digunakan baik sebagai jembatan ataupun sebagai benteng antara orang,” katanya. Dia merujuk pada novel dan cerita Victoria untuk mengungkap bukti bagaimana orang-orang Victoria menggunakan buku untuk merayu dan menolak. Dia juga menggunakan sumber-sumber nonfiksi, termasuk panduan pembawaan diri, koran dan majalah, dan karya Mayhew London Labour and the London Poor.

Price memberi gambaran yang luas dan bergeser mengenai penggunaan buku di luar membaca. Karena kertas mahal dan karenanya berharga di Inggris awal abad ke-19, orang-orang menggunakan dan mendaur ulang kertas. Buku bisa disobek jilidnya dan halaman-halamannya digunakan untuk membuat pola baju, mengalasi koper atau membungkus kue pai. Apa yang awalnya berupa teks dapat berubah menjadi kertas toilet. Hasilnya, kata Price, “bahkan orang yang tidak bisa membaca, karena alasan kelas ataupun jenis kelamin, tetap memiliki pemahaman klasifikasi kertas yang cukup canggih.” Mayhew mencatat, sebagai contoh, bahwa penjual makanan menyukai koran jenis tertentu karena karakteristik menyerap atau tahan lembap kertas koran.

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply