The White Banyan, Lahirnya Kembali Beringin Putih

Sebuah mitos merupakan upaya untuk mengungkapkan beberapa aspek kehidupan yang tidak dapat dengan mudah diungkapkan dalam kata-kata logis diskursif

Karen Armstrong -Compasion

Membuka halaman demi halaman buku ini dan membaca rangkaian kata demi kata maka dengan sembrono kita dapat menyimpulkan bahwa ini adalah buku yang bercerita tentang mitos-mitos seputar Gn Merapi yang tersohor itu. Sudah sejak dahulu kala dan juga sudah dikenal luas mitos-mitos tentang Gn Merapi , yang merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di dunia dan memegang peranan penting sebagai salah satu poros kosmis Keraton Jogjakarta Hadiningrat.

Memang buku ini bercerita tentang Beringin Putih. Tanaman yang anehnya bisa tumbuh di pertigaan Desa Kinahrejo yang terletak di daerah pegunungan dan Batu Gajah, seonggok batu yang berbentuk seperti gajah jika dilihat dari arah Utara maupun Timur dan dipercaya terdapat banyak pusaka di dalamnya. Tetapi jika kita menyimak rangkaian cerita-cerita di dalamnya yang memang tidak panjang. (Buku ini menjadi tebal karena ada versi cerita yang sama dan ditulis lagi dalam Bahasa Perancis, Inggris dan Jepang) Maka kita akan menemukan kearifan yang luar biasa

Rangkaian cerita yang boleh anda sebut mitos sedang memaparkan sebuah kebajikan purba yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bercerita tentang manusia-manusia yang mencintai sang gunung dengan sapaan akrab namun penuh hormat eyang. Dihadapan warga Kinahrejo dan desa-desa lain disekitar puncak Merapi , gunung ini merupakan setiap tarikan nafas hingga ayunan langkah, terutama bagi Mbah Marijan atau Raden Ngabehi Surakso Hargo, juru kunci Gn Merapi yang wafat 26 Oktober 2010 karena awan panas Merapi.

Mbah Marijan yang juga merupakan tokoh penting dalam buku ini selalu menyebut dirinya orang bodoh “saya ini orang bodoh”, begitu katanya. Sebuah ungkapan kerendah-hatian bermakna dalam yang kemudian dijelaskan oleh beliau sendiri “Kalo orang pinter diberi satu, akan minta dua. Tetapi orang bodoh kalau diberi satu, akan disyukuri”. Mbah Marijan pula yang menunjukkan kekuatan yang luar biasa akan kebenaran. Ketika warga dusun Kinahrejo diminta untuk turun, beliau tetap bertahan yang mana tampaknya mempengaruhi warga Dusun Kinahrejo dan dusun-dusun lainnya di sekitar Gn Merapi untuk menolak ketika akan “diminta” pindah dengan alasan tempat tinggalnya yang termasuk daerah berbahaya tetapi hanya merupakan akal-akalan kaum pemodal tak beretika

Kekukuhan beliau akan kebenaran mengakibatkan intimidasi jahat merebak tentang diri Mbah Marijan. Salah satu tugas beliau untuk menjaga upacara labuhan dengan semena-mena dikatakan sebagai bagian dari pemujaan setan. Bahkan kematian beliau yang terjadi jauh setelah buku ini ditulis dirayakan sebagai momentum matinya kepercayaan jahiliah yang jahanam. Mereka yang picik dan buta hatinya, mereka yang lebih mudah mengkafirkan orang lain daripada melihat kekafiran didalam hati mereka tidak akan pernah bisa mengerti bahwa tidak ada kematian yang lebih indah daripada kematian bersama dengan yang dicintai.

Maka sekali lagi buku cerita tentang kelahiran kembali beringin putih ini bukanlah sebuah buku tentang mitos belaka. Melainkan sebuah buku yang menggaungkan aspek-aspek kehidupan yang tidak mudah dibicarakan dan mengkristal menjadi kebijaksanaan. Kebijaksanaan dalam kisah tentang manusia Gunung Merapi.

Tentang pohon beringin putih yang menjadi symbol perlawanan, menetang siapa saja yang akan mencabut mereka dari persatuannya dengan Gunung Merapi -Rm Sindhunata S.J

Ayah Anak Beda Warna

Pertama kali saya mengetahui buku ini dari cerita “The” Pak Hadi Purnomo yang menjadi sesepuh dari perpustakaan C2O ketika ada mahasiswa UK Petra yang bertanya tentang buku budaya Toraja. Beliau bercerita tentang buku yang isinya menceritakan pergulatan dan gugatan seorang Toraja yang dibesarkan di Jakarta terhadap adat tradisi Toraja. Topik tentang seorang Toraja yang menggugat tradisinya sudah merupakan topik yang menarik. Menarik karena saya penasaran apakah buku ini hanya sekedar buku yang bersifat sentimental belaka atau ada yang lebih dari ceita yang dipaparkan dalam buku ini. Tetapi rekomendasi dari “The” Pak Hadi sudah cukup saya yakin bahwa ini adalah buku yang bagus. Sayangnya beliau tidak menyebutkan judulnya hanya menyebut penulisnya yaitu Tino Saroengallo. Nama Tino Saroengallo saya kenal sebagai documentary film maker dan juga pemain film. Salah satu film yang beliau bintangi adalah sebagai Sang Germo di Film Quicky Express. Karena infonya ya segitu saja maka info tersebut hanya saya simpan baik-baik dalam relung ingatan saya.
Pada suatu waktu saya melihat sebuah buku di jajaran buku baru di C2O. Judulnya “Ayah Anak Beda Warna” dengan gambar sampul beberapa orang berdiri di antara Tongkonan (Rumah Adat Toraja). Saya hanya melihat sepintas sambil dalam hati berkata,” Okay… Another boring anthropology book… Yeah….” Tapi tiba-tiba ujung mata saya menangkap tulisan nama sang penulis, Tino Saroengallo… langsung memori saya bekerja. Apalagi di bagian bawah terdapat lagi tulisan “Anak Toraja Kota Menggugat”. Yippie….!!! Akhir ketemu juga buku yang sebelumnya hanya jadi angan-angan belaka.

Buku ini bercerita tentang bagaimana sang penulis menyiapkan proses upacara kematian ayahnya yang merupakan seorang penuluan atau kiblat adat bagi seluruh Tana Toraja. Kedudukan tersebut tentunya menempatkan keluarga dalam kedudukan bangsawan tinggi. Maka dalam kedudukan tersebut upacara kematian (rambu solo’) yang harus dilakukan adalah upacara yang sesuai dengan kedudukannya. Jika selama ini kita melihat upacara Rambu Solo’ dengan sudut pandang yang romantik maka dalam buku ini musnahlah segala romantisme tersebut karena kita diajak untuk melihat kenyataan bahwa dibalik upacara yang megah dan luar biasa tersebut terdapat kenyataan beban biaya yang luar biasa besarnya, dan juga tekanan adat yang bisa tanpa ampun.

Bagi saya yang sedikit banyak dibesarkan dalam kehidupan kota besar modern dan juga kehidupan dalam lingkup adat walaupun tidak semengikat adat yang dialami oleh sang penulis, bisa merasakan bahwa upacara adat itu sangat-sangatlah besar biayanya. Dan romantisme adat memang harus berhadapan dengan kenyataan real terutama kenyataan seberapa kuat sumber dana yang kami miliki untuk membuat sebuah upacara adat yang lengkap. Sehingga celetukan di dalam keluarga inti baik oleh penulis yang saya baca dalam buku ini dan yang saya alami juga tidak jauh berbeda, intinya kami kadang-kadang mempertanyakan kembali “adat” bahkan dengan rada ekstrim kelakar “makan deh tuh adat” sering juga terlontar.

Yang juga membuat saya jatuh cinta dengan buku ini adalah keterusterangan bahkan tampak sangat telanjang bagaimana kenyataan masyarakat gotong royong yang kita kenal selama ini tidak semanis seperti di buku-buku pelajaran PMP jaman dahulu. There’s nothing free in this world merupakan sebuah hal yang jamak sifatnya. Mereka yang membantu gotong-royong dalam upacara adat seringkali harus dibalas dengan berbagai rupa. Tidak harus dalam upah kontan. Seperti dalam upacara Rambu Solo’, upah bisa didapat salah satunya dari pembagian daging Kerbau yang dikurbankan dalam acara mantunu tedong. Kerbau atau Babi bahkan gula, beras dan kopi juga tidak diberikan take as a granted tetapi ada kewajiban adat untuk ganti memberi. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tetapi seringkali mengakibatkan semacam gegar budaya yang harus dialami oleh penulis atau mereka yang sudah terlalu biasa dengan kehidupan cara barat.

Cara pandang beda generasi juga dipaparkan dalam buku ini dengan apa adanya. Bagaimana sang Ayah memandang kewajiban adat yang berat sebagai salib keluarga yang harus dipikul sementara generasi yang lebih muda memandang dengan lebih pragmatis kenapa tidak ada pembaharuan adat sehingga adat tidak lagi menjadi beban yang mencekam. Hal ini masih bisa menjadi issue yang masih hangat untuk diperdebatkan hingga saat kini. Salah satu kesimpulan yang menarik yang saya baca adalah tali persaudaran di dalam masyarakat adat Toraja sepenuhnya ditentukan oleh tidaknya hubungan darah yang mengalir terutama pada upacara kematian atau rambu solo’. Eksistensi ikatan seperti suami-istri dan mertua-menantu hanya berlaku ketika seseorang masih hidup. Bila tiba saatnya meninggal dunia dan diantar dengan upacara rambu solo’ maka pasangan yang bersangkutan harus rela sekali lagi harus rela diambil kembali oleh keluarga besar secara adat. Adalah dewan adat yang berhak menentukan (baca:memaksakan) tatanan upacara yang layak bagi anggota adat tersebut.

Walaupun benang merah buku ini memang tentang pengalaman menguburkan sang ayah dalam upacara adat tetapi latar belakang penulis sebagai seorang pembuat film dokumenter membuat kajian budaya atas gugatannya terhadap upacara rambu solo’ menjadi lengkap karena tentunya gugatan tersebut didasari atas pendalaman kembali adat istiadat Tana Toraja. Sehingga selain sebagai buku cerita, buku ini juga bisa menjadi salah satu buku referensi tentang budaya Tana Toraja yang segar. So… Selamat membaca buku “Ayah Anak Beda Warna” para anggota C2O.

Spookhuis

Novel ini sangat menarik perhatian saya pada awalnya. Gambar covernya mengingatkan saya pada komik-komik Indonesia tahun 70an dan awal 80an. Setelah saya lihat lebih lanjut ternayta buku ini adalah sebuah roman misteri karya penulis asal Surabaya yang produktif yaitu Pak Suparto Brata. Selain itu yang membuat saya semakin tertarik adalah buku ini meruapakan roman dalam bahasa Jawa. Selama ini saya sudah menikmati karya-karya Pak Suparto Brata dalam bahasa Indonesia. Membaca karya beliau dalam bahasa Jawa akan memberikan pengalaman yang mungkin berbeda.

Saksi Mata

Suparto Brata adalah salah satu penulis yang mengangkat berbagai kenangan masa lampau menjadi bagian dari karya-karyanya. Hal ini tercermin dari novel Saksi Mata yang berlatar belakang masa penjajahan Jepang di kota Surabaya. Terus terang tidak banyak karya sastra dengan latar belakang masa penjajahan Jepang dibandingkan dengan novel dengan latar belakang masa penjajahan Belanda. Yang sering adalah masa penjajahan Jepang hanya muncul sekilas diantara masa panjajahan Belanda dan masa kemerdekaan. Selain itu karya sastra yang berlatar belakang masa penjajahan Jepang sering tampil dengan wajah yang muram, menggambarkan kesulitan yang amat terasa. Dalam novel Saksi Mata kita tidak akan merasakan hal tersebut. Tentu ada bagian-bagian dalam novel tersebut yang menceritakan tentang beberapa kesulitan dalam penghidupan sehari-hari karena toch masa yang menjadi latar belakang novel Saksi Mata memang masa yang sulit tetapi dengan mudah kita bisa merasa bahwa kesulitan penghidupan yang terjadi di dalam novel ini dapat terjadi kapan saja… (bandingkan dengan kumpulan cerpen karya Idrus yang juga memakai masa penjajahan Jepang sebagai latar belakang).

Saksi Mata menceritakan seorang pemuda pelajar sekolah menengah yang tanpa sengaja menjadi saksi mata ketika buliknya sedang bercinta dengan lelaki yang tidak dikenal. Berawal dari peristiwa inilah Kuntara (sang pemuda pelajar) terseret dalam rentetan peristiwa yang cukup menegangkan dan tentunya membingungkan bagi pemuda tanggung seusianya. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa gaya penulisan novel ini sederhana tetapi sesungguhnya konflik-konflik yang terjadi dalamnya sangat tidak sederhana. Sebagai contoh, konflik cinta yang rumit antara Kuntara sang keponakan dan bibinya yang tampak platonik pada awalnya. Dan konflik kepentingan antara Tuan Ichiro dengan Mas Wiradad yang memperebutkan Bulik Rum. Terseretnya keluarga Suryohartanan ke dalam konflik kepentingan perwira Jepang yang berkuasa serta konflik pribadi diantara para tokoh-tokoh dalam cerita ini sungguh asyik untuk dibaca. Menarik juga bahwa berbagai konflik yang terjadi akhirnya ditutup oleh sebuah peristiwa yang dramatis, action serta heroik

Dalam novel ini kita juga bisa melihat bahwa ternyata tindakan yang tampaknya heroik bagi orang lain atau banyak orang ternyata juga berawal dari kepentingan dan perhitungan yang sifatnya pribadi semata. Sebuah tindakan yang luar biasa ternyata bisa hanya dilandasi oleh rasa ingin membela harga diri atau kepentingan keluarga saja. Tetapi justru karena hal inilah maka tindakan kepahlawanan yang ditampilkan dalam novel Saksi Mata menjadi tampak manusiawi dan tampil apa adanya.

Mayor Jantje

Satu narasi sastra mengenai pemilik tanah terkaya di Jawa abad ke-19 keturunan mardijker. Sarang-sarang burung walet di Klapanoenggal menjadi sumber hartanya, dan orkes budak yang ia gelar saban Sabtu kemudian sohor menjadi tanjidor.