Reportase: MSW #1 Strenkali Jagir, Wonokromo

Akhir tahun kami rayakan dengan menjajaki sudut-sudut Surabaya dengan berjalan kaki.  Perjalanan singkat yang penuh inspirasi, melelahkan tapi juga sangat menyenangkan, dan membuat kita bisa lebih mengenal sekitar dengan lebih dekat. Ide ini dicetuskan oleh Tinta sebagai bagian dari acara akhir tahun internal kami, Perjusami (Perkemahan Jumat Sabtu Minggu) di C2O.  Tempat yang kami tuju …

Libur Natal & Tahun Baru

Selamat hari Natal & tahun baru! Semoga hari-hari Anda menyenangkan
(terlepas dari bunyi terompet yang tak henti-henti…)
Kami menutup aktivitas kami untuk tahun 2011 ini dengan rasa syukur dan terima kasih atas dukungan sahabat-sahabat sejauh ini. Semoga tahun depan kami bisa terus memperbaiki layanan dan kegiatan kami.

C2O tutup dari hari Minggu, 25 Desember 2011 s/d Minggu, 1 Januari 2012.
Senin, 2 Januari 2012, kami kembali buka seperti biasa.

Jika Anda belum mengisi survei evaluasi program dan fasilitas kami, kami mohon bantuan teman-teman untuk mengevaluasi C2O dengan mengisi survei yang tersedia on-line. Formulir survei juga tersedia di meja sirkulasi dan bisa diisi langsung saat berkunjung ke C2O.

Terima kasih dan sampai jumpa!

Foto oleh Erlin Goentoro, modifikasi c2o.

Mohe Wae Rebo!

Pemutaran & diskusi film arsitektur nusantara: Mohe Wae Rebo!
Bersama Rendy Hendrawan & Arya Wishnu Wardana
Jumat, 16 Desember 2011
Pk. 18.00 – 21.00

Tersedia popcorn dan minuman hangat, courtesy of Hifatlobrain Travel Institute, kru Mohe Wae Rebo dan C2O. Mohon sumbangan kawan-kawan untuk menjaga kelangsungan kegiatan ini ;-)
INFO: info@c2o-library.net
———-
Benarkah dimuseumkan berarti telah punah?
Menjadi pusaka berarti dibiarkan berdebu dan beku dimakan waktu?
Tercatat dalam sejarah berarti harus siap terlupakan dan digantikan oleh hal baru?

*

Seperti ada yang ingin disampaikan oleh alam melalui deretan gunung dan bukit, aliran sungai dan selapis kabut, langit pagi dan malam, juga mata yang memandang ramah sejumlah turis yang kebanyakan bukan berasal dari tanah nusantara.

Mungkin Wae Rebo memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang dengan tulus ingin mencintai alam hingga ke akarnya. Berjam-jam perjalanan jauhnya dari gemerlap lampu kota dan gemercik air mancur bernilai milyaran, memang sangat logis jika hanya segelintir orang Indonesia diantara jutaan yang berjubel memenuhi pulau Jawa yang mampu dan mau menyempatkan waktu mencicipi surga dunia di tengah belantara ini. Alam memberi bayaran yang setimpal. Tak hanya sebentang lukisan hijau berhias kabut melatari rumah adat tua berbentuk kerucut yang bisa dinikmati sambil menyeruput kopi hitam di pagi hari, alam juga menghadiahi taburan bintang yang menjadi tayangan pembuka saat malam, sebelum kepala suku mulai bercerita tentang warisan budaya mereka yang dengan tekun mereka jaga.

Masyarakat Wae Rebo menghargai alam dari lapisan yang paling esensial. Nilai yang alam ajarkan sejak nenek moyang mereka tuangkan dalam keseharian, disimbolisasikan ke dalam Mbaru Niang (rumah adat) dan pola sawah yang mereka buat. Setiap detail perilaku mereka terlihat sederhana, namun merupakan budaya kaya dan tak lekang oleh zaman. Yang pernah rapuh dan hilang, kini tergantikan, dengan dukungan segelintir saudara setanah air mereka yang masih sanggup datang dan peduli.

*

Suatu siang ketika ketujuh Mbaru Niang telah tegak berdiri, siap dihuni, sayup terdengar lagu Indonesia Raya dikumandangkan dengan fasih, tanpa cela. Di ujung atap Mbaru Niang yang kembali sempurna, melambai-lambai bendera kebangsaan Indonesia.

“Seperti melihat nenek moyang lahir kembali dari rumah yang setelah sekian lama hilang, lalu kini bangkit dan berdiri,” kata seseorang dari Wae Rebo. Ah, Wae Rebo tidak boleh mati hanya agar dapat kita buat museumnya dan dinikmati tanpa hati.

Terima kasih, Wae Rebo, pusaka arsitektur nusantara tidak pernah seindah dan sehidup ini.

Mohe Wae Rebo!

Sumber: Ronaldiaz Hartantyo dan Adi Reza Nugroho
Ditulis oleh Rofianisa/Vidour untuk “Bring Waerebo to 21st Century” iPad Application Project

Traveler in Residence

Selama bulan Desember 2011, Hifatlobrain Travel Institute bekerja sama dengan C2O mengundang Herajeng Gustiayu, seorang illustrator-traveller, untuk tinggal di Surabaya dan menghasilkan satu seri ilustrasi tentang Surabaya yang akan dikembangkan menjadi sebuah illustrated travel guide. Kehadiran seorang seniman dan penjelajah luar kota yang pernah berguru langsung dengan Ichsan Harja, yang bikin buku Bandung Watercolor, akan memberi kita sudut pandang yang berbeda. Herajeng akan merasakan atmosfer kota, sekaligus bertemu dan berkolaborasi dengan berbagai komunitas dan seniman Surabaya.

Pelangi di Merapi

Pemutaran film “Pelangi di Merapi”
Sabtu, 3 Desember 2011, pk. 18.00-21.00
C2O Library, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264.

Film Pelangi di Merapi menceritakan tentang peristiwa pasca bencana erupsi merapi 2010 yang melumat habis 2.271 rumah yang tersebar di 14 desa di tiga kecamatan. Sejumlah warga kehilangan harta benda, rumah, hewan ternak, dan pekerjaan sehari-hari. Film ini diperankan oleh Rini, seorang Ibu rumah tangga dan Mbah Cipto (korban bencana dari desa Pengok Rejo, Umbulharjo kec. Cangkringan). Secara keseluruhan film Pelangi di Merapi akan di ceritakan oleh Rini dan Mbah Cipto dengan mengambil setting lokasi di tempat mereka tinggal yaitu dusun Pengok Rejo, Umbulharjo kec. Sleman.

Film ini akan diawali dengan sebuah tembang lagu “Si Gunung Merapi” oleh Ny. Tri Widijati (Pengungsi dari desa Parak Sari kec. Cangkringan) dengan latar visual pemandangan gunung Merapi pasca bencana erupsi. Kemudian secara bergantian Rini dan Mbah Cipto akan menceritakan beberapa kejadian yang mereka alami pada saat bencana erupsi menghantam desanya. Bagaimana mereka bertahan dalam menjalani masa-masa sulit selama di pengungsian?

Setelah kawasan lereng gunung Merapi dinyatakan aman dan dibuka untuk masyarakat umum, Rini 24 tahun, mencoba mencari peruntungan dengan berjualan makanan dan minuman di pekarangan rumahnya. Sedangkan Mbah Cipto kembali berjualan soto di atas reruntuhan bangunan rumahnya yang telah rata dengan tanah. Di pagi hari mereka menatap mimpinya dengan mendirikan warung / tenda darurat untuk di jajakan kepada pengunjung / wisatawan yang memadati wisata baru yaitu tracking volcano. Di sore hari, mereka berkemas-kemas menuju peraduan daruratnya yaitu pengungsian.

Setelah beberapa hari berjualan, Rini dan Mbah Cipto menemukan secercah harapan baru, mimpi-mimpi baru. Rupiah yang terkumpul membuat mereka lebih bersemangat dan melupakan trauma bencana yang telah mengubur masa depan mereka sebelumnya. Mimpi cita-cita lenyap hanya sesaat. Dengan berdoa serta usaha sekuat tenaga mereka yakin bahwa kehidupan akan hadir kembali di gunung Merapi.

Dongeng Rangkas

Pemutaran & diskusi filem dokumenter “Dongeng Rangkas”
Sabtu, 26 November 2011, pk. 18.00 – 21.00
C2O Library, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Jalan kecil seberang Konjen Amerika. Lihat peta di: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)

bersama Forum Lenteng, Saidjah Forum, dan akumassa
Moderator: Kelompok Studi Kinetik

————–
Sinopsis
————–
Film Dongeng Rangkas merupakan sebuah usaha kawan-kawan komunitas yang punya ketertarikan kepada persoalan-persoalan lokal dan merekamnya ke dalam media audio visual untuk didistribusikan kepada masyarakan sebagai bahan pembelajaran bersama. Sebagai usaha untuk merekam persoalan lokal, maka format dokumenter feature dianggap salah satu cara yang paling efektif dalam menghadirkan dan membangun kesadaran bersama tersebut.

Produksi Dongeng Rangkas berlangsung selama 3 bulan (Mei – Juli 2011), yang melibatkan pelaku dokumenter Forum Lenteng, Jakarta dan Saidjahforum, Rangkasbitung. Proses perekaman film dilakukan di desa Kampung Muara, Kawasan Sungai Ciujung, Kota Rangkasbitung, dan suasana stasiun Kereta Api Rangkasbitung.

Film ini berusaha memotret Rangkasbitung dari aktivitas-aktivitas masyarakat yang diwakili oleh sosok dua orang penjual tahu; Kiwong dan Iron. Dua tokoh ini dapat dianalogikan sebagai potret dua pemuda yang hidup paska Reformasi 1998 yang hidup di sebuah kota berjarak 120 Km dari ibu kota Jakarta. Kota yang menjadi terkenal oleh buku Multatuli itu, sepertinya begitu lambat tumbuh, di antara hingar-bingar pembangunan paska Reformasi. Kiwong dan Iron adalah dua pemuda sederhana yang memilih hidup sebagai pedagang tahu, sementara mimpi-mimpinya tetap dipegang teguh. Kiwong bermimpi menjadi pemuda yang lebih baik, yang menjadikan keluarga hidup lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan Iron, percaya musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia ingin terus mengembangkan fantasi musiknya di jalur ‘underground’.

Dongeng Rangkas bisa dianggap sebagai satu-satunya dokumenter feature yang hadir dan diproduksi di Rangkasbitung. Hal ini diharapkan dapat menjadi pemicu perkembangan dunia perfilman di Rangkasbitung dan sekitarnya.

Produksi
Filem ini adalah produksi Forum Lenteng yang bekerjasama dengan Komunitas Saidjah Forum, Lebak. Kerja produksi dokumenter ini merupakan bagian dari peningkatan kapasitas komunitas akumassa yang diprakarsai oleh Forum Lenteng. Kerja-kerja dalam program akumassa adalah melakukan pendidikan media kepada komunitas dalam rangka membangun kesadaran “media” kepada masyarakat sebagai bagian dari pengembangan diri dan masyarakat sekitar. Aktivitas akumassa dapat dilihat di www.akumassa.org.

—————
Tim Kerja
—————

KOLABORASI PENYUTRADARAAN
Andang Kelana, Badrul “Rob” Munir, Fuad Fauji, Hafiz & Syaiful Anwar
KAMERA
Syaiful Anwar & Fuad Fauji
ASISTEN KAMERA
Andang Kelana & Badrul Munir
PEWAWANCARA
Badrul “Rob” Munir, Andang Kelana, Fuad Fauji, Helmi Darwan & Zainudin “Dableng”
PENYUNTING
Hafiz & Syaiful Anwar
PENYELARAS SUARA
H. Sutan Pamuncak
KOREKSI WARNA
Ari Dina Krestiawan
DOKUMENTASI
Badrul Munir, Fuad Fauji, Zainudin “Dableng”, Bima Mulia, Aboy Sirait, Andang Kelana, Litbang Forum Lenteng & Litbang Saidjah Forum
MANAJER LAPANGAN
Helmi Darwan
ASISTEN MANAJER LAPANGAN
Aboy Sirait, Kuni Ahmed
PIMPINAN PRODUKSI
Otty Widasari
PRODUSER
Hafiz Rancajale
PRODUKSI
Forum Lenteng, akumassa & Saidjah Forum

Spesifikasi Teknis
2011 | Warna | PAL | 75 menit | Bahasa Indonesia & Sunda
Subteks Bahasa Indonesia & Bahasa Inggris | 17+

Didukung oleh
FORUM LENTENG | AKUMASSA | SAIDJAH FORUM | THE FORD FOUNDATION

———————–
Forum Lenteng
———————–
Forum Lenteng adalah organisasi nirlaba egaliter sebagai sarana pengembangan studi sosial dan budaya. Forum Lenteng berdiri sejak tahun 2003 yang didirikan oleh mahasiswa (ilmu komunikasi/jurnalistik), pekerja seni, periset dan pengamat kebudayaan — untuk menjadi alat pengkajian berbagai permasalahan budaya dalam masyarakat, guna mendukung dan memperluas peluang bagi terlaksananya pemberdayaan studi sosial dan budaya Indonesia. Forum Lenteng bekerja dengan merangkum serta mendata aspek-aspek sosial dan budaya yang mencakup kesejarahan dan kekinian di dalam kerangka kajian yang sejalan dengan perkembangan jaman dengan mengadakan pendekatan solusif bagi keberagaman permasalahan sosial dan budaya di Indonesia serta dunia internasional. Salah satu medium yang digunakan Forum Lenteng adalah medium audio visual (film dan video).

Jl. Raya Lenteng Agung No.34 RT.007/RW.02
Lenteng Agung, Jakarta Selatan
Jakarta-12610
Indonesia

———————–
Saidjah Forum
———————–
Saidjahforum adalah kelompok belajar yang didirikan oleh mahasiswa jurnalistik pada 3 Februari 2005 di Serang, Banten. Seiring dinamika organisasi, Saidjahforum kini menetap di Lebak, fokus pada kerja komunitas berbasis teks, video dan arsip, kajian sosial budaya. Saidjahforum didirikan sebagai respon terhadap pembelajaran non-akademik dan selalu memastikan akses terbuka terhadap pendidikan.

JL.Kitarung, Kampung Jeruk No.54, Rangkasbitung, Lebak-Banten. 42311.

Informasi
T/F (62 21) 78840373
dongengrangkas@gmail.com
info@forumlenteng.org

Klab Baca: Saksi Mata

November ini kita akan membaca dan membahas Saksi Mata, sebuah novel sejarah dengan latar belakang Surabaya di zaman penjajahan Jepang yang ditulis oleh Suparto Brata. Dan kita beruntung sekali bahwa kali ini Pak Suparto Brata pun bersedia datang untuk berbagi pengalaman dan banyak cerita menarik lainnya!

Buku Saksi Mata dapat dipinjam di Perpustakaan C2O. Ulasan oleh Antonio Carlos, moderator kita untuk acara ini, bisa dibaca di : http://c2o-library.net/2010/11/saksi-mata/

Biaya Rp. 5.000, mendapatkan kopi/teh dan snack. Info lebih lanjut mengenai klab baca bisa dibaca di bawah, atau hubungi info@c2o-library.net

———————————————
TENTANG KLAB BACA C2O
———————————————

September lalu, kami memulai program bulanan Klab Baca. Klab ini terbuka untuk umum, dengan maksud untuk berbagi, menghargai pengalaman dan pemahaman membaca judul yang sama dalam suasana yang akrab dan seru.

Jika ingin bergabung, silahkan datang di hari pertemuan kita: Jumat keempat tiap bulan, pk. 18.00. Jadual di samping.

Jadual pertemuan Klab Baca:
Jumat keempat tiap bulan, pk. 18.00

28 Oktober 2011 : Harry Potter & the Deathly Hallows (PIC: Andriew Budiman)
25 November 2011 : Saksi Mata (PIC: Antonio Carlos)
28 Januari : Have a Little Faith (Mitch Albom) (PIC: Ary Amhir)*
* = ada sedikit perubahan, Januari depan kita akan membaca Have a Little Faith (Mitch Albom), dan akan dipandu oleh Ary Amhir.

Apa saja yang akan dibaca?
Macam-macam, diajukan oleh anggota untuk kemudian dipilih bersama-sama di saat pertemuan. Boleh dari berbagai genre: novel, sastra, misteri, sci-fi, detektif, cerpen, jurnal, buku anak, komik, biografi, sejarah, budaya, desain, sains, travelling, masak, dll. Jika ada versi eBook/audiobooknya, akan kami pasang di http://c2o-library.net

Moderator:
Yang mencalonkan bukunya! :)

Variasi kegiatan:
– Membahas buku
– Literary games
– Role-playing
– Nonton film
– dsb.

Siapa saja yang boleh gabung?
Terbuka untuk umum, pada siapapun yang tertarik. Tidak masalah meski belum membaca bukunya.
Catatan: untuk meminjam buku, tetap harus menjadi anggota C2O

Iuran Rp. 5.000/pertemuan, mendapat:
– Freeflow kopi/teh
– Snack atau handout
– Sewa gratis buku yang akan dibaca bulan tersebut (harus menjadi anggota C2O)

INFO: info@c2o-library.net

Anak Naga Beranak Naga

Pemutaran & diskusi dokumenter
Anak Naga Beranak Naga: Gambang Kromong, akulturasi budaya Tionghoa Betawi
Minggu, 20 November 2011, pk. 18.00 – 21.00
C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Jalan kecil seberang Konjen Amerika. Lihat peta di: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)

Bersama:
Ariani Darmawan (sutradara)
Moderator: Ardian Purwoseputro

Tidak banyak orang tahu bahwa Gambang Kromong, yang sempat dipopulerkan oleh Lilis Suryani di tahun 60-an dan duet Benyamin S. – Ida Royani di tahun 70-an, adalah sebuah musik akulturatif berbagai etnis di Indonesia yang cikal bakalnya telah dirintis lebih dari dua abad lalu. Irama gambang kromong dengan tata laras Salendro Cina pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa Peranakan sebelum akhirnya mengalami percampuran dengan budaya Jawa, Sunda, hingga Deli, membentuk sebuah musik harmonis yang kini menjadi salah satu ciri khas Betawi.

Selain mengungkapkan sejarah panjang keharmonisan budaya dan musik tersebut lewat gaya tuturnya yang dinamis dan fluid, film ini juga sekilas bercerita tentang kehidupan orang-orang Tionghoa Peranakan sebagai pelaku utama musik Gambang Kromong saat ini.

Berdasarkan kompleksitas musik Gambang Kromong itu sendiri, film ini adalah sebuah catatan humanis, puitis, musikal, hingga komikal tentang musik dan budaya yang terpinggirkan.

Kisah di Balik Pintu

Jumat, 18 November 2011, pk. 18.00
C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Jalan kecil seberang Konjen Amerika. Lihat peta di: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)

Bersama penulis, Soe Tjen Marching
Moderator: Ary Amhir, penulis TKI di Malaysia, Indonesia yang Bukan Indonesia.

Bagaimana para perempuan Indonesia menampilkan jati diri mereka di depan publik? Dan apa yang terjadi di balik pintu, ketika tak sepercik matapun mengintip tingkah laku mereka dan mereka mempunyai kesempatan untuk lebih leluasa?

Buku ini memaparkan perbedaan antara representasi identitas perempuan di publik dan privat, dengan membandingkan otobiografi dan buku harian yang ditulis oleh beberapa perempuan Indonesia di masa Orde Baru. Dalam periode tersebut, gender adalah salah satu fokus utama dari indoktrinasi pemerintah. Perempuan sering kali terpenjara oleh stigma-stigma patriarki yang dibentuk oleh ideologi ini.

Dalam lingkup yang demikian, tidak mengherankan bila otobiografi perempuan Indonesia yang diterbitkan pada masa itu menampakkan adanya kemanutan pada stigma-stigma ini. Sebaliknya, dalam buku harian, penulis-penulisnya bisa lebih leluasa menyuarakan pemberontakan mereka. Namun, walalu buku harian lebih leluasa menyuarakan penyempalan mereka terhadap norma dan ideologi, nilai-nilai patriarki masih bisa ditemukan di dalamnya.

“Buku ini amat original dan menggebrak.” — Susan Blackburn, University of Monash, Australia

Soe Tjen Marching adalah seorang penulis, akademisi, dan komponis. Karya-karyanya telah memenangkan berbagai penghargaan nasional maupun internasional. Novelnya yang berjudul Mati, Bertahun yang Lalu diterbitkan oleh Gramedia (2010), dan telah diluncurkan di C2O Januari lalu.

akumassa Surabaya

Pemutaran & diskusi video akumassa Surabaya
Sabtu, 12 November 2011, pk. 18.00 – 21.00
Bersama kelompok Studi Kinetik
Gratis & terbuka untuk umum.

Kompilasi video akumassa Surabaya merupakan bagian keseluruhan dari program workshop akumassa yang telah dilakukan oleh Kinetik, sebuahkelompok studi media di Surabaya bekerja sama dengan Forum Lenteng, sebuah lembaga non-profit yang befokus soal pengembangan media dan masyarakat di Jakarta.

Akumassa sendiri merupakan program advokasi dan pengembangan komunitas dalam bentuk lokakarya (workshop) yang difasilitasi oleh Forum Lenteng. Secara mendasar, program akumassa adalah tentang penggunaan medium video, text dan media online di komunitas-komunitas pekerja kreatif muda (mahasiswa, seniman muda, pelaku budaya lokal) di Indonesia guna mendorong kemandirian dalam masyarakat. Program ini memfokuskan kepada pengkajian aspek-aspek sosial dan budaya yang dibentuk sebagai materi pembelajaran guna mengupayakan kesadaran partisipatoris akan persoalan-persoalan yang hidup di dalam masyarakat. Untuk program distribusi media online akumassa bisa dilihat di website http://akumassa.org/

Dalam kompilasi video yang singkat ini, terdapat beberapa bingkaian yang menjadi fokus bagi Kinetik dan Forum Lenteng dalam merekam narasi-narasi kecil, isu sosial masyarakat, kesejarahan serta kekinian di kota Surabaya, diantaranya adalah:

1. “Alkisah di Ampel” (Perkampungan masyarakat Arab di Surabaya sebagian besar berasal dan bermukim di sebuah kawasan yang mengelilingi Makam Suci Sunan Ampel. Masayarakat Arab di Surabaya kerap disebut sebagai penduduk “Ngampel”. Permukiman, pusat ekonomi dan religius, tertata dalam satu lingkup perkampungan kecil di Kawasan Wisata Religius Ampel, Surabaya.)

2. “Angin Barat Cak Meli” (Kampung yang berada di Pantai Ria Kenjeran yang terletak di Surabaya bagian timur ini tidak lepas dari kehidupan nelayan yang menjadikan laut sebagai tempat untuk mencari nafkah.Sebut saja Desa Nambangan, yang terletak di selatan Jembatan Suramadu yang menuju ke arah Taman Wisata Pantai Ria Kenjeran. Ketika matahari mulai terbit, banyak perahu milik warga yang datang atau bergegas menuju ke tengah laut untuk menjala maupun menjaring ikan. SemenjakJembatan Suramadu dibangun, banyak nelayan yang mencari ikan di bawah
jembatan tersebut.)

3. “Irama Budaya” (Salah satu cara kelompok Ludruk ini untuk bertahan dalam perkembangan dunia hiburan adalah dengan tetap berpentas walaupun megap-megap. Namun, sejak beberapa bulan lalu mereka mendapat tempat pentas yang baru sekaligus tempat tinggal para pemain Ludruk yang kesemuanya adalah pria. Mereka mendapat sebuah gedung di lingkungan kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya, di mana Grup Srimulat memulai sejarahnya.)

4. “Kesepakatan Sentolop” (Pasar senter adalah pasar loak yang paling berbeda dibanding pasar loak lainnya di Surabaya. Karena pasar loak yang satu ini buka mulai pukul tiga pagi tanpa ada lampu yang menerangi. Subuh-subuh sudah ramai pengunjung dengan senter masing-masing yang mengunjungi pasar itu, oleh sebab itu kami menyebutnya Pasar Senter. Berbeda dengan para pedagang, mereka menyebut pasar ini dengan sebutan Pasar Subuh atau Pasar PMK (karena lokasi pasar yang berada di samping Dinas Pemadam Kebakaran). Bahkan ada yang menyebut Pasar maling, karena disinyalir pasar tersebut menjual barang-barang hasil curian. Pasar ini harus sudah tutup pada pukul Sembilan pagi, karena akan beralih fungsi sebagai Pasar Cincin Akik seperti biasanya.)

5. “Poo Tay Hie” (Pertunjukan boneka tradisional masyarakat etnis Tionghoa yang masih bertahan di Surabaya yaitu di Klenteng Kampung Dukuh, Surabaya Utara. Isi cerita dalam pertunjukan wayang ini selalu menceritakan tentang jaman kerajaan China atau tentang dewa–dewa mereka. Dalam pertunjukan wayang di klenteng ini telah terjadi akulturasi budaya, yaitu percampuran bahasa antara bahasa Cina, Jawa dan Indonesia.)

6. “Warung Catur” (Warung yang bertempat di pinggir Jalan Ngagel ini sudah beridiri sejak 1 taun lalu. Warung Catur dulunya sempat akan tutup dikarenakan bangkrut sebab sepi pengunjung. Akan tetapi, karena ada seorang pelanggan yang mau membeli untuk tetap mempertahankan satu-satunya warung dengan konsep permainan catur itu, jadi Warung Catur tetap buka. Kebanyakan para pengunjung yang datang di Warung Catur adalah para pekerja yang sedang beristirahat karena di sekitar warung tersebut terdapat toko-toko dan bengkel mobil. Warung ini hanya menyediakan minuman dan makanan ringan saja. Sambil beristirahat, para pekerja biasanya minum kopi dan bermain catur dengan waktu yang sangat lama. Warung ini juga menjadi Kantor Percasi (Persatuan Catur Seluruh Indonesia) cabang Surabaya.)