“Dari pemutaran yang ada di dua kota sebelumnya (Jakarta & Bandung), di Surabaya ini yang paling rame…” kata Durga setelah acara pemutaran dan diskusi Mentawai Tattoo Revival berakhir. Acara screening yang digagas Hifatlobrain Travel Institute dan C2O Library ini memang menyedot banyak pengunjung yang terdiri dari berbagai latar belakang. Sekitar 100 orang memadati halaman belakang perpustakaan sejak pukul lima sore.
Salah satunya adalah Iman Kurniadi, seorang movie addict yang tinggal di Surabaya. Ia datang bersama kawannya. Ada pula Zani Marjana, seorang penggiat di milis Indobackpacker yang datang dengan membawa sumbangan takjil berupa cake klappertaart yang lezat. Suwun om! Hehehe.Sebelum berbuka memang ada semacam tausiyah singkat dari kyai Rahung yang menceritakan latar belakang pembuatan film dokumenter Merajah Mentawai ini. “Waktu itu saya nggak ada rencana apa-apa, nggak ada script juga. Saya hanya ingin mengabadikan kegiatan Durga di Mentawai, karena menurut saya idenya sangat luar biasa,” kata Rahung.
Sejak akhir dasawarsa 90, Durga meninggalkan Jogja untuk mendalami kehidupan sebagai seorang disk jockey dan underground artist di Berlin. Seni merajah tubuh bukan hal asing bagi Durga, ia sudah berkenalan dengan mesin dan tinta sejak menjadi mahasiswa ISI dan “terlibat” dengan komunitas punk generasi awal di Jogja. Pada 2005, dengan semangat petualangannya, Durga kembali meninggalkan Indonesia menuju Los Angeles, di kota ini Durga mendapatkan inspirasi dari Sua Sulu Ape di Black Wave Studio Tattoo untuk belajar kembali tentang tato tradisi Nusantara. Durga mengamati, sebagai maestro tato tribal, Sua Sulu Ape sering mengunjungi Borneo, Samoa dan Tahiti untuk mendalami tato tradisi yang kini populer kembali.
Berbekal pengetahuan yang minim tentang tato Mentawai, Durga mengajak Rahung untuk bergabung. Catatan antropologis seorang peneliti Belanda, Reimar Schefold, dijadikan acuan awal bagi ekspedisi ini. Bantuan datang kemudian dari Universitas Andalas di mana salah satu mahasiswa jurusan Antropologi ada yang berasal dari Mentawai. Mahasiswa inilah yang menjadi penunjuk jalan utama bagi perjalanan Durga dan Rahung.
Durga menjelaskan bahwa budaya tato Mentawai, salah satu budaya rajah paling tua di dunia, sangat terakit erat dengan sistem kepercayaan suku Mentawai, Arat Sabulungan. “Jadi setiap tato memiliki arti dan proses inisiasinya sendiri. Ia menjadi tanda yang disepakati secara umum, menunjukkan status dan personalitas pemakainya,” kata Durga.
Sayang, hari ini tato Mentawai tidak lagi banyak ditemui. “Kita sulit menemukannya di Pagai, namun masih cukup banyak di Sipora…” kata Durga. Terma cukup banyak ini sendiri tidak benar-benar menggambarkan kata ‘cukup banyak’, tato di Sipora pun hanya bisa ditemui pada orang-orang tua dan sikerei (dukun Mentawai) yang kulitnya sudah penuh keriput. “Anak muda Mentawai sudah malu dan menganggap budaya tato itu ketinggalan zaman, primitif” kata Durga. Pola pikir itu dibentuk dari sistem pendidikan modern yang masuk seiring dengan datangnya misionaris dan lembaga bernama negara.