Reportase: AeroSon, dunia paralel audio-visual

Kita mendengarkan musik sambil melihat wujud visualnya yang bergerak seiring. Dunia paralel audio-visual.

***

Sabtu sore, 18 Juni 2011, pengunjung mulai berdatangan, menempati kursi-kursi yang telah disediakan, untuk menyaksikan pemutaran film AeroSon, musik grafik karya komponis Belanda, Arno Peeters. Dalam film ini, kita mendengarkan musik elektro-akustik sambil melihat visualisasinya. Sore itu, kami beruntung sekali dapat berdiskusi bersama penggagas acara ini, yaitu Slamet Abdul Sjukur, maestro musik dan komponis kelahiran Surabaya dengan berbagai prestasi dan penghargaan internasional.

Apa itu musik elektro-akustik? Slamet memberi pengantar mengenai musik elektro-akustik, dan perjalanan pergantian nama penggolongannya: musik konvensional, musik kongkrit, dan musik eksperimen. “Tapi semua musik juga eksperimen, jadi akhirnya, dipilihlah musik elektro-akustik, yang gamblang menjelaskan penggabungan teknologi elektronik dengan akustik.”

Untuk memberi gambaran, sebelum film dimulai, kami mendengarkan petikan karya Pierre Henry, Variations pour une Porte et un Soupir (Main-main dengan Pintu dan Nafas): Balancement (Berayun-ayun), Chant (Dendang) dan Éveil (Menggeliat). Dengan hanya menggunakan permainan suara pintu dan nafas—dua hal yang begitu sederhana, kita bisa merasakan, membayangkan berbagai gestur dan perasaan. Sesuai dengan judulnya, ada kesan bermain-main di ayun-ayun, menggeliat bangun, jenaka sekaligus sensual.

“Musik bukan lagi sekedar obyek, tapi juga subyek, dengan kemampuan menangkap dan ditangkap.” Terkadang, saking terpakunya pada hal-hal yang kasat mata, kita melupakan indra lainnya. Bunyi-bunyian di sekeliling kita, bisa menjadi musik yang mengharukan. “Termasuk kentut.”

Film ini dibuat oleh Arno Peeters di tahun 1996, mengenai bunyi di sekeliling kita yang terus menerus berubah dan bergerak. Bunyi-bunyian peradaban masyarakat Indian Makaron di Amazon, digabungkan dengan bunyi-bunyian teknologi seperti bunyi dot-matrix printer, pemancar TV, dering telpon, dan radio. Sementara di layar, kami melihat interpretasi visual Arno Peeters.

Narasi teks renungan Arno Peeters, terselipkan dalam film, yang terjemahannya disediakan pula oleh Slamet. Renungan mengenai pertemuan padanan suara dan perubahan makna bunyi, gelombang pendek radio SW yang terasas seperti suara-suara jangkrik atau kodok di Amazona, Hari Perhitungan yang menggabungkan keresahan David Oppeheimer dengan suara-suara gelisah 800 penduduk yang mengakhiri nyawanya atas perintah Jim Jones, jati diri dan berbagai hal lainnya.

Pemutaran dilanjutkan dengan diskusi. Sehubungan dengan visualisasi Arno Peeters yang terkadang bagi beberapa pengunjung dirasa sedikit tidak sinkron dengan musiknya, di sini dibahas dominasi budaya visual yang kemudian kerap mengabaikan indra lainnya, dan hal-hal yang “abstrak” yang tidak terlalu diberi tempat dalam ruang “logika”. Meskipun di sini, Pak Slamet tidak terlalu mempermasalahkan apa yang disebut “abstrak”. Namun, dibahas di sini bagaimana bayi, dan beberapa orang, “menonton bunyi.” Bayi, sampai usia 2-2.5 tahun, tidak bisa membedakan apa yang dia lihat ataupun dia dengar. Jika dia melihat warna biru, terdengar pula bunyi, begitu pula sebaiknya. Di sini, bisa dilihat bahwa pemisahan-pemisahan logika audio dan visual itu dibangun. Terasa di sini pentingnya pendekatan yang lebih menyeluruh, holistik, dalam mengamati sekeliling kita, pendekatan yang saling berkaitan dan tidak terpisah-pisahkan.

Terkait dengan banjirnya berbagai peralatan elektronik dan software canggih zaman sekarang—yang dapat menirukan berbagai musik “tradisional”—Benny Wicaksono menanyakan dan menyatakan kerinduannya atas proses pembuatan yang masih analog dan sederhana, tapi penuh kreatifitas.

Di sini, Slamet memberi contoh musik Pierre Henry yang diputar sebelumnya. “AeroSon itu masih baru, dibuat tahun 1996. Sementara musik Pierre Henry tadi, bahannya cuma pintu dan nafas. Itu dibuat tahun 1948. Sementara kalau kita lihat sekarang, kemajuan semakin hebat. Semakin mudah membuat musik, tapi tetap ada masalah kreatifitas. Jadi bukan kemudahan yang menjamin.”

Sekitar jam setengah sembilan, acara kami akhiri. Pengunjung yang tinggal membantu mengemasi peralatan dan perabotan. Di dalam ruangan, kami lanjut bercanda dengan Slamet, yang mengaku lebih suka dipanggil Mas ketimbang Pak yang terdengar sangat birokratis DPR, tapi sengaja tetap kami panggil Pak, hehehe… Malam yang menyenangkan dan berkesan. Terima kasih kepada Mas Slamet, VIDEO:WRK 2, dan semua orang yang telah membantu meramaikan acara ini.

***

Booklet pengantar dan terjemahan adegan AeroSon dapat diunduh di:
http://c2o-library.net/wp-content/uploads/2011/06/AeroSon-web.pdf

Pemutaran dan diskusi AeroSon adalah bagian dari pra-acara VIDEO:WRK 2, Surabaya Video Festival.

Zamrud Khatulistiwa

Narasumber : Farid Gaban (Tim ekspedisi, wartawan Kantor Berita Pena Indonesia)Moderator : Ayos Purwoaji (hifatlobrain)
Minggu, 26 Juni 2011 18.00 – selesai
C2O Library, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya

Indonesia adalah negeri kepulauan terbesar di dunia. berisi sekitar 17.000 pulau, negeri ini memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Mengandung kekayaan alam, baik darat maupun laut, tiada tara, dia berisi keanekaragaman hayati yang kaya raya.

Namun, sebagian besar penduduk pesisir dan kepulauan Indonesia tergolong miskin; tidak tersentuh deru pembangunan. Paradigma pembangunan kita masih cenderung memanjakan darat dan perkotaan, serta mengabaikan laut dan kepulauan kecil.

Di masa lalu, Nusantara dikenal sebagai negeri bahari. Pelaut-pelaut tradisional kita adalah pelaut petualang dan pemberani. Citra itu telah pudar belakangan ini. Padahal, di masa depan, laut dan pulau-pulau kita dengan segala keindahan dan kekayaan di dalamnya, merupakan jawaban atas sebagian besar problem Indonesia. Namun, perhatian, kepedulian dan pengetahuan kita tentang laut masih relatif minim.

Tim Ekspedisi keliling Indonesia selama 8 bulan dari Mei hingga Desember 2009, mengunjungi, mendokumentasikan dan mempublikasikan lewat produk multimedia kehidupan di 100 pulau pada 40 gugus kepulauan.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu mengubah cara berpikir : mulai secara serius menengok khasanah kekayaan hayati dan budaya laut serta kepulauan sebagai jawaban atas krisis ekonomi dan lingkungan yang sekarang melanda negeri ini.

Ekspedisi ini diharapkan bisa menyumbang dokumentasi, pengetahuan serta ajakan yang lebih keras agar kita lebih serius mengembangkan potensi kelautan dan kepulauan kita sekaligus melestarikannya.

Toys for Tots

Untuk memperingati Hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli ini, Perpustakaan C2O mengadakan program “Toys for Tots” sebagai bagian dari festival anak dan craft Eat, Play, Laugh selama bulan Juli 2011. Melalui program ini, kami mengajak kerabat dan sahabat C2O untuk turut berbagi mainan dan buku anak yang layak pakai.

Sumbangan dapat diserahkan langsung ke Perpustakaan C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264 (lihat peta di sini). Di akhir bulan Juli, seluruh hasil sumbangan akan disumbangkan kepada anak-anak panti asuhan Yayasan Karya Kasih dalam acara bakti sosial kami.

—————————–
Panti Asuhan Yayasan Karya Kasih
—————————–

Yayasan Karya Kasih melakukan pelayanan konseling, penyembuhan dan panti asuhan mencari kaum miskin yang membutuhkan pertolongan, membina dan merawatnya dengan penuh cinta kasih. Lebih dari dua ribuan orang telah dipulihkan dari berbagai penyakit. Pendekatan konseling dan fisioterapi yang dikembangkan Yaysan Karya Kasih efektif menjangkau rakyat kecil.

Untuk rakyat miskin kota yang terdapat di kota Surabaya, Yayasan Karya Kasih secara rutin membina 300 Kepala Keluarga pemulung korban penggusuran yang dilakukan pemkot Surabaya. Panti asuhan yang terletak di Jalan Gembong IV/26 ini merawat 15 anak berusia 8 bulan hingga 12 tahun dari berbagai agama.

Informasi:
Telp: (031) 77525216 (Yuli)
Email: info@c2o-library.net / c2o.library@yahoo.com
Website: http://c2o-library.net

Film Screening: Changes grow from the smallest things

Tanggal 5 Juni dicanangkan oleh UNEP sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day). Untuk itu, selama bulan Juni, setiap hari Sabtu dan Minggu pk. 18.00 kami memutar film-film yang membahas isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan.

Isu lingkungan, tidak hanya terbatas pada sekedar “penghijauan”, tapi juga mengetahui apa yang kita makan, minum, dengar. Dan tentunya, mengenal kekayaan nusantara kita. Dengan suka cita bulan ini kami menyambut dua tamu untuk pemutaran kami, Pak Slamet Abdul Sjukur (untuk pemutaranAeroSon, 19 Juni), dan Farid Gaban (Zamrud Khatulistiwa, 26 Juni).
————–
Wall-E
2008 | USA | 98m | Warna | Inggris, teks Inggris
Pemutaran: Sabtu, 4 Juni 2011, 18.00

In the distant future, a small waste collecting robot inadvertently embarks on a space journey that will ultimately decide the fate of mankind.
————–
Home
Sutradara: Yann-Arthus Bertrand
2007 | Prancis | 93m | Warna | Inggris, teks Inggris
Pemutaran: Minggu, 5 Juni 2o11, 18.00

The documentary chronicles the present day state of the Earth, its climate and how we as the dominant species have long-term repercussions on its future. A theme expressed throughout the documentary is that of linkage—how all organisms and the Earth are linked in a “delicate but crucial” natural balance with each other, and how no organism can be self-sufficient.
—————-
Earth
Pemutaran: Sabtu, 11 Juni 2011, 18.00

The film begins in the Arctic in January of one year and moves south, finishing in Antarctica in the December of the same year. Along the way, it features the journeys made by three particular species, the polar bear, African bush elephant and humpback whale, to highlight the threats to their survival in the face of rapid environmental change.
—————–
Mondovino
Sutradara: Jonathan Nossiter
2004 | USA | 135m | Warna | Prancis, Inggris
Pemutaran: Minggu, 12 Juni 2011, 18.00

The film explores the impact of globalization on the various wine-producing regions, and the influence of critics like Robert Parker and consultants like Michel Rolland in defining an international style. It pits the ambitions of large, multinational wine producers, in particular Robert Mondavi, against the small, single estate wineries who have traditionally boasted wines with individual character driven by their terroir.
—————–
AeroSon
Sutradara: Arno Peeters
Pemutaran: Sabtu, 18 Juni 2011, 18.00
*bersama Slamet Abdul Sjukur

Mendengarkan musik sambil menonton wujud visualnya yang bergerak seiring. Dunia paralel audio visual. AeroSon dibuat 1996 oleh seorang komponis Belanda Arno Peeters.

Tentang lingkungan bunyi yang mengelilingi kita dan terus menerus berubah. Dulu kita akrab dengan suara air, suara sehari-hari di desa atau binatang, sekarang peralatan telekomunikasi modern dan kebisingan industri menunjukkan kehidupan kota yang semakin sibuk. Bunyi-bunyi yang tidak pernah ada sebelumnya, disebarkan melalui udara oleh pemancar tv dan radio. Mesin penggerak komputer, fax, penjawab telpon, elevator, generator pembangkit listrik, semuanya bergumam bersama-sama tiada hentinya: sebuah simfoni berbagai gelombang yang menghuni udara.

Bunyi-bunyian seperti itu oleh Arno Peeters diramu dengan suara-suara masyarakat Indian Makaron (sebuah suku di Amazon) yang hidupnya masih seperti di Zaman-Batu. Dari rekaman tiupan tabung panjang mirip didgeridoo aborigin, dan ritme yang mereka lakukan untuk mengatur waktu, terdengar seperti bunyi printer dot-matrix. Bunyi-bunyi peradaban tua dipertemukan dengan belantara bunyi teknologi. Kita tersambung ke seluruh jaringan dan sekaligus merasa terpencil.
—————–
The Gleaners and I
Sutradara: Agnes Varda
2000 | Prancis | 82 m | Warna | Prancis, teks Inggris
Pemutaran: Minggu, 19 Juni 2011, 18.00

The film tracks a series of gleaners as they hunt for food, knicknacks, and personal connection. Varda travels French countryside and city to find and film not only field gleaners, but also urban gleaners and those connected to gleaners, including a wealthy restaurant owner whose ancestors were gleaners. The film spends time capturing the many aspects of gleaning and the many people who glean to survive.
—————–
Food, Inc.
2008 | USA | 93 m | Warna | Inggris, teks Inggris
Pemutaran: Sabtu, 25 Juni 2011, 18.00

Directed by Emmy Award-winning filmmaker Robert Kenner, the film examines corporate farming in the United States, concluding that agribusiness produces food that is unhealthy in a way that is environmentally harmful and abusive of both animals and employees. The film is narrated by Michael Pollan and Eric Schlosser.
——————
Zamrud Khatulistiwa
Pemutaran: Minggu, 26 Juni 2011, 18.00
*Bersama Farid Gaban

Tim ekspedisi keliling Indonesia selama 8 (delapan) bulan dari Mei hingga Desember 2009, mengunjungi, mendokumentasikan dan mempublikasikan lewat produk multimedia kehidupan di 100 pulau pada 40 gugus kepulauan.

c2o Newsletter vol. 14: Changes grow from the smallest things

Tanggal 5 Juni dicanangkan oleh UNEP sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day). Untuk itu, selama bulan Juni, setiap hari Sabtu dan Minggu pk. 18.00 kami memutar film-film yang membahas isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan.

Isu lingkungan, tidak hanya terbatas pada sekedar “penghijauan” (yang sedang diusahakan di tanah tandus C2O, hehehe, ada yang mau sumbang tanaman? ;-) ), tapi juga makanan, minuman, suara, dan mengenal nusantara kita. Demgan suka cita bulan ini kami menyambut dua tamu untuk pemutaran kami, Pak Slamet Abdul Sjukur (untuk pemutaran AeroSon, 19 Juni), dan Farid Gaban (Zamrud Khatulistiwa, 26 Juni).

Bagi yang ketinggalan acara talkshow Garis Batas bersama Agustinus Wibowo, silahkan membaca reportasenya di hal. 3. Bulan depan, kami akan mengadakan rangkain acara anak & craft. Jika tak ingin ketinggalan berita-berita acara lainnya, ikuti update kami di Facebook, Twitter, ataupun website. Selamat membaca!

Lengkapnya, silahkan mengunduh: http://c2o-library.net/wp-content/uploads/2011/06/newsletter14-web.pdf

To celebrate the World Environment Day, throughout the month of June 2011, we’ll be holding free public screenings & discussion of films related to environmental issues such as Wall-E, Home, Earth, Food Inc., and The Gleaners and I. As a highlight, we’ll be screening a local Indonesian documentary about expedition around the Indonesian archipelago, Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Directors will be in attendance.

Inspired by the edible schoolyards program, we’ll also start planting our yard with herbs and vegetables, encouraging our patrons to bring a seedling to plant, pick some herbs and veggies from the garden, or even start their own edible garden. In future, when the herbs and veggies have ripened, we plan to host homemade communal lunch using ingredients straight from the garden. Come and join us!

Reportase: Talkshow Garis Batas

Minggu, 15 Mei 2011, menjelang pukul 6 sore, pengunjung mulai berdatangan di C2O untuk acara bedah buku Garis Batas: Perjalanan di Negeri-negeri Asia Tengah. Cuaca sedikit mendung, gerimis turun rintik-rintik. Ajeng, moderator untuk malam ini, sudah siap semenjak 2 jam yang lalu. Dengan sedikit khawatir Rhea, koordinator GoodReads Surabaya, mengabari, “Mas Agus sakit, sepertinya datangnya bakal mepet.”

Pukul 6 sore tepat, Agustinus, sang penulis Garis Batas, datang, tergopoh-gopoh memasang laptopnya ke proyektor. Dia tampak menghembuskan nafas lega setelah video slideshow photo-photonya siap terputar untuk acaranya.

Ajeng memulai acara dengan memperkenalkan Agustinus Wibowo, seorang petualang dan pengembara, yang lahir di Lumajang di tahun 1981. Lulus dari SMA 2 Lumajang, ia sempat menempuh 1 semester jurusan informatika di ITS, sebelum pindah ke Fakultas Komputer Universitas Tsinghua di Beijing. Garis Batas adalah buku keduanya yang diterbitkan oleh Gramedia setelah Selimut Debu. Keduanya merupakan kumpulan catatan perjalanan, sebagian darinya pernah dimuat di kolom “Petualang” Kompas.

Jika Selimut Debu menceritakan perjalanan Agus di Afghanistan, Garis Batas menceritakan perjalanannya keliling Asia Tengah: Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan. Ribuan kilometer yang dilaluinya ia tempuh dengan berbaga macam alat transportasi seperti kereta api, bus, truk, hingga kuda, keledai dan tak ketinggalan jalan kaki, dari tahun 2006-2007.

Berbeda dengan Selimut Debu yang lebih menonjolkan sisi petualangan dan kehidupan Afghanistan, Garis Batas banyak menampilkan refleksi Agustinus atas apa yang ia lihat dan alami di Asia Tengah. Kenapa judulnya Garis Batas? “Garis batas adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita adalah seonggok tubuh yang selalu membawa garis batas portabel ke sana ke mari. Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dengan siapa menutup diri.” Begitu pula dengan negari-negeri. Ada garis batas, ada proses pembentukan identitas yang terus berjalan, terkadang menembus batas-batas baru, tergadang bergolak, terkadang membeku. Dalam bukunya, Agustinus kental merefleksikan hal ini, dan juga membuat perbandingan-perbandingan dengan situasi di Indonesia seperti pengkotak-kotakan suku, agama, etnis, dan penggunaan bahasa.

Yang menarik dari kedua buku catatan perjalanan ini adalah, Agustinus tidak memandang perjalanannya sebagai target ataupun suatu misi untuk menguasai. Ia tidak menkalkulasi dalam berapa hari ia harus melewati berapa negara, atau menggunakan berapa banyak biaya. Cerita-ceritanya mencatat perjalanan, pengalaman, refleksi sehari-harinya. Ia tidak menyombongkan diri mengenai tempat-tempat yang telah ia kunjungi, atau makanan-makanan apa yang telah ia nikmati. Ia mengundang pembaca untuk turut tenggelam dalam petualangannya, sembari turut mengingatkan pembaca juga untuk berhati-hati pada sudut pandang eksotisme yang me-“liyankan”.

Sekitar 40-50 pengunjung terkumpul di C2O, antusias mendengarkan dan berpartisipasi dalam diskusi yang mengalir. Di sela-sela diskusi, Agustinus juga memutar video slideshow foto-fotonya di Asia Tengah dan Afghanistan, beberapa dapat dijumpai dalam bukunya. Banyak refleksi dan pengalaman perjalanan menarik yang ia ceritakan. Mulai dari membacakan secepat mungkin pembukaan UUD ’45 untuk menghindari sopir korup, mata uang terberat di dunia (saking kecilnya nilainya), mengkal melihat perbedaan yang begitu kontras dalam satu masyarakat yang berseberangan sungai (Afghanistan dengan Kirgiztan), dan lain-lain.

Acara berlangsung dengan seru, hingga tak terasa jam delapan telah lewat. Dengan sedikit menyesal, Ajeng menutup acara talkshow, yang kemudian dilanjutkan dengan sesi tanda tangan, tanya jawab, dan berbagai bahasan kecil-kecilan. Banyak terima kasih kepada Agustinus, moderator kesayangan kami Ajeng Kusumawardani, Rhea Siswi dari GoodReads Surabaya atas kerjasamanya, dan Gramedia Surabaya atas dukungannya. Acara yang sangat berkesan, dan kami berharap karya ini dapat dinikmati masyarakat luas.

Bedah buku Garis Batas

Perjalanan lintas benua asia yang dimulai tahun 2005 membawa sang petualang, Agustinus Wibowo, menuju negara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Afghanistan yang dikenal sebagai negara tempat perang terus berkecamuk. Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan yang luput dari mata kita. Melalui catatan petualangannya, Agustinus Wibowo membawa kita untuk mengenal lebih dekat negara-negara tersebut dan membuka mata kita akan budaya mereka.

Goodreads Indonesia bekerjasama dengan C2O Library mengajak Anda untuk mengenal Agustinus Wibowo lebih dekat dan membahas buku Selimut Debu dan Garis Batas pada:

Hari: Minggu
Tanggal: 15 Mei 20011
Waktu: 18:00 – 20:00 waktu Surabaya
Tempat: C2O Library
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Jalan kecil seberang konjen Amerika)
Tel +62 31 77525216
Web http://c2o-library.net/

Narasumber: Agustinus Wibowo
Moderator: Ajeng Kusumawardani, S2 Ilmu Sastra Budaya Unair

Reportase: Book’s Day Out

Untuk memperingati Hari Buku Dunia pada tanggal 23, selama bulan April lalu kami merayakan Book’s Day Out dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan buku dan literasi.

Di tahun pertama Book’s Day Out, kami memfokuskan pada sosialisasi dan peningkatan kesadaran akan keberadaan berbagai tempat literasi di Surabaya, serta pendekatan projek yang partisipatif and interaktif. Kami percaya literasi adalah membaca kata dan dunia. Partisipasi, interaksi, pemahaman dan kesenangan menjadi kata kunci untuk memotivasi gemar membaca. Suatu dialog aktif dengan pembacanya melalui berbagai kegiatan kreatif, suatu media untuk memahami maupun mengekspresikan diri di lingkungan sosialnya.

Untuk itu, highlight utama kali ini adalah pembuatan Peta Buku Surabaya, peta kota yang dapat menunjukkan lokasi tempat-tempat yang berhubungan dengan buku di Surabaya, dan projek Postcards from Bookworms, projek kolektif di mana khalayak umum dapat menginterpretasikan buku melalui kartu pos.

Merchandise Postcards from Bookworms

Support C2O library by getting our package of Postcards from Bookworms merchandise during the Book’s Day Out fest, this weekend, 23-24 April 2011.

T-shirt + 5 cookies + 1 postcard = IDR 80.000

All of the proceeds go to help C2O library and its programs.

Peluncuran buku 30 Hari Keliling Sumatra

Peluncuran Buku “30 Hari Keliling Sumatra”
Oleh Ary Amhir
Minggu, 17 April 2011, 14.00 WIB
C2O Library, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
INFO: c2o.library@yahoo.com
——-
Pertengahan Januari 2009 terbersit niat tuk melakukan perjalanan ke Sumatra dengan budget rendah. Alasan pertama, ingin menjajal kekuatan fisik paska didera kanker dan operasi-operasi yang berkepanjangan. Alasan kedua, belajar budaya, adat, dan istiadat setempat, semampu saya.

Perjalanan dimulai dari Pariaman, Bukittinggi, Madina, Tangkahan Durian, Medan, Takengon, Blank Dalam, Banda Aceh, Tanjung Pura, Tanah Karo, Toba, Palembang, Prabumulih, dan berakhir di Bandar Lampung 30 hari kemudian. Panjang dan melelahkan.
Menguras kocek Rp 3,4 juta. Lumayan!

Apa yang bisa saya kisahkan dalam perjalanan panjang ini? Apa saja ada, walau tak lengkap. Kisah perkawinan adat Pariaman, keindahan Bukittinggi dan Takengon, nasib orang Melayu di pinggiran. Ada juga nasib kuli bangunan paska gempa, petani karet dan sawit, hingga kisah mereka yang tabah menjadi korban bencana alam.

Saya ingin menuang kearifan lokal para jelata dalam menyikapi hidup. Belajar darinya, dalam setiap perjalanan, sungguh indah. Perjalanan bagi saya tak sekedar mengejar keindahan alam, bangunan bersejarah, hotel yang nyaman, makanan nikmat, tapi juga membaca masyarakat dan kehidupan sekitar. Bukankah itu yang mendewasakan para pengelana sejak masa purba?
———-
Ary Amhir pernah bekerja sebagai jurnalis di sebuah harian Surabaya, lalu majalah wanita di Jakarta, dan menjadi penulis lepas di beberapa media seperti Familia (Kanisius Group), Intisari, The Jakarta Post. Telah menerbitkan buku “TKI di Malaysia: Indonesia yang Bukan Indonesia”, “Antologi Bicaralah Perempuan”, dan “Journal of 30 Days Around Sumatra”. Kunjungi situsnya di http://othervisions.wordpress.com