Sophie’s World

Apa yang membuat sebuah novel menarik? Salah satu ciri novel-novel bestseller yang merebut hati pembacanya adalah konten pengetahuannya.  Novel The Da Vinci Code karangan Dan Brown misalnya membawa pembacanya seakan-akan ikut tour virtual ke Paris dituntun seorang pemandu wisata berpengalaman dan berpengetahuan sejarah. Novel John Irving berjudul The Cider House  Rules misalnya, membuat pembacanya belajar teknik-teknik bersalin dan kedokteran tanpa perlu berkerut kening seperti berhadapan dengan buku-buku akademik kedokteran.  Ada novel yang membuat pembacanya belajar jadi tukang setem piano, belajar menjinakkan bom,  belajar sejarah negeri asing dan banyak lagi contoh lain.  Novel Jostein Gaarder ini menawarkan hal yang sama; sejarah filsafat barat dengan skala kurun waktu yang sangat panjang mulai dari jaman mitologi, pra-Sokrates hingga Sartre. Membaca novel yang menghibur sambil berpetualang di banyak hal baru adalah salah satu daya tarik novel yang utama: sambil menyelam minum air.

Konten pengetahuan dalam sebuah novel tidak selalu berhasil merebut hati pembacanya. Hal ini tergantung pada konten itu sendiri dan cara penulis menempatkan konten itu dalam setting  dan komposisi ceritanya.  Novelis bestseller seperti Dan Brown sekalipun harus tersandung masalah ini di novel kelimanya The Lost Symbol (Fitur-fitur novel yang lain seperti cerita, plot dan echo effect buku sebelumnya yang menyelamatkan novel ini).  Filsafat merupakan sebuah konten yang universal.  Jostein menempatkan undangan berpetualang ke dalam dunia filsafat dalam sebuah surat misterius yang dikirim ke Sophie Amundsen, seorang gadis Norwegia yang akan berusia lima belas tahun. Surat itu berbunyi :

Dear Sophie,

Banyak orang memiliki hobi, ada yang suka mengkoleksi koin atau perangko, ada yang suka merajut dan banyak lagi yang mengisi waktu mereka dengan melakukan berbagai aktifitas olah-raga.

Banyak orang menikmati membaca buku. Namun membaca buku sangat variatif kenikmatan dan tingkatannya. Beberapa orang hanya suka membaca koran, komik, sementara yang lain suka novel, buku-buku astronomi atau buku-buku sain dan pengetahuan.

Jika saya tertarik dengan kuda atau batu pemata, saya sama sekali tidak bisa berharap orang lain akan memiliki antusias yang sama. Jika saya menikmati  tayangan olah-raga, ada orang lain yang menganggap itu membosankan.

Adakah hal yang membuat semua orang tertarik? Hal-hal yang menjadi pertanyaan dalam benak setiap orang – tidak peduli dimanapun dia tinggal atau dari suku bangsa apapun di dunia ini? Ada, Sophie!. Ada sejumlah pertanyaan yang menarik minat semua orang.

Ketika kebutuhan mendasar seperti makanan, kelayakan hidup dan bersosialisasi telah terpenuhi, ada hal-hal yang masih dibutuhkan setiap orang. Para ahli filsafat berpikir demikian; bahwa manusia tidak hanya hidup dari roti, Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya,” siapakah aku?” dan “mengapa aku ada didunia ini?”

Cara terbaik mendekati filsafat adalah mempertanyakan beberapa pertanyaan-pertanyaan filsafati…

Konten filsafat meskipun bersifat universal, nasibnya tidak lebih baik dari nasib sastra.  Masyarakat awam (bahkan di negara maju sekalipun sebagian masyarakat meremehkan bidang ini dibanding dengan sain dan teknik) cenderung mengabaikan dan melupakan pertanyaan-pertanyaan filsafati, khususnya masyarakat yang sedang sibuk bertarung dengan pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder.  Filsafat menjadi bahan yang terlalu muluk dan tidak praktis, apalagi setelah ada jawaban lengkap di agama-agama yang kita anut. Jostein dalam novel ini tampil sangat piawai dalam mengantisipasi daya tarik konten filsafat yang terkesan elit dan jauh untuk dijangkau.

Sophie's World
Sophie’s World : an Adventure in Philosophy oleh Jostein Gaarder (1995 English version) Call No: F GAA Sop

Novel ini merupakan jenis novel yang menjadi kunci untuk mendekati banyak buku-buku lain yang berkaitan dengan filsafat.  Sebagai analogi, novel Jostein ini memiliki kapasitas sebuah prasasti rosetta dan filsafat ibarat tulisan hieroglyphs Mesir kuno; yang dilupakan orang hingga tidak ada satupun orang yang sanggup membaca tulisan gambar di dinding-dinding kuil, teks papyrus,  monumen dan kuburan kuno di Mesir. Ketika batu rosetta di temukan dan Champollion berhasil memecahkan misteri huruf-huruf hieroglyphs, tulisan Mesir kuno menjadi terang benderang. Novel Sophie’s world ini memiliki kapasitas yang sama dalam membuat dunia filsafat lebih terang untuk didekati. Sebagai contoh, Sophie yang baru berusia lima belas tahun itu menjadi paham mengapa setiap filsuf dikotak-kotakkan kedalam aliran dengan nama-nama yang “asing”. Dari pengalaman belajar Sophie ini pembaca juga melihat bahaya yang umumnya dialami peminat filsafat baik mahasiswa filsafat maupun masyarakat awam dalam melihat filsafat; bahaya kesalah kaprahan. Setiap filsuf memiliki “proyek” masing-masing tergantung pertanyaan filsafati yang menjadi tema besar dalam hidupnya. Itulah sebabnya filsuf-filsuf awal mempertanyakan hal-hal yang aneh di telinga kita dan filsuf-filsuf terkini mempertanyakan bahasa; yang juga aneh dan tidak nyambung dengan pertanyaan filsafati seperti “siapakah kita dan mengapa kita ada di dunia ini? “ Jika pembaca menarik benang merah dari perspektif ini, setiap aliran dalam seni rupa. musik, sastra bahkan sains ternyata terkait erat dengan filsafat. Setiap artist, musikus atau ilmuwan “memamah-biak” dan sangat familiar dengan pertanyaan-pertanyaan filsafat di masa hidupnya. Tanpa pertanyaan filsafati yang relevan dengan kurun hidupnya, sebuah karya seni, buku, penemuan ilmiah ataupun musik hampir pasti tidak akan dapat dihasilkan.

Jostein Gaarder berhasil mengajak pembaca yang awam akan filsafat untuk melihat sejarah filsafat dan filsafat dengan kaca mata yang lebih jernih dan proporsional. Di tengah-tengah jawaban kehidupan yang sudah “siap saji” dan jawaban-jawaban “resmi” yang tabu untuk dipertanyakan, ditengah-tengah  kesibukan memenuhi kebutuhan  mendasar, novel ini mengajak kita untuk berhenti sejenak dan merenungi pencapaian umat manusia selama dua ribu tahun; khususnya dalam kapasitas mentalnya. Dari buku ini kita dapat menghargai betapa hebatnya para filsuf Yunani awal itu dalam arti yang sebenar-benarnya; luar biasa meskipun kuno. Betapa tetap relevannya pertanyaan-pertanyaan  yang digeluti filsuf-filsuf terkini dan betapa banyaknya hal yang harus kita kejar untuk dipelajari.

Setelah hierogpyphs Mesir kuno dipecahkan Champollion dengan bantuan prasasti rosetta, masih banyak pekerjaan yang harus dihadapi para arkeolog, sejarawan dan ahli linguistik Mesir kuno. Sama juga setelah membaca novel ini, bukan berarti kita akan mengerti filsatat, tapi buku ini merupakan introduksi yang sangat menarik dan menggugah minat pembaca untuk belajar lebih jauh tentang filsafat. Membaca buku ini saja tidak cukup. Tapi dengan membaca buku ini, buku-buku filsafat lain yang lebih berat akan lebih mudah untuk dimengerti.

Sophie di usianya yang ke lima-belas telah membuat kesimpulan luar biasa tentang filsafat : “bahwa filsafat bukan sesuatu yang bisa dipelajari tapi kita mungkin bisa belajar untuk berpikir filsafati”. Kalau saja buku ini bisa dijangkau oleh setiap anak SMU menjelang pemilihan jurusan di perguruan tinggi, mungkin filsafat menjadi jurusan yang lebih ceria.

NB: Buku ini menjadi buku bacaan wajib di mata kuliah dasar jurusan ilmu social di Universitas Murdoch Perth.

Email | Website | More by »

sedang menempuh study S1 double degree jurusan Edukasi dan English and Creative Arts di Universitas Murdoch Perth, Western Australia. Kerap menulis resensi buku dan artikel-artikel sejarah kecil yang menarik di Facebook Surabaya Tempo Dulu.

One Reply to “Sophie’s World”

  1. buku ini sangat bagus,
    mungkin perlu baca 2-3X untuk memahami isinya

    setiap potongan / inti pemikiran tokohnya diungkapkan dengan simple dan mudah dicerna,

    rangkuman filosofi dari abad ke abad

Leave a Reply