Surabaya di Luar Bingkai

Judul: Surabaya di luar bingkai / hors cadre / out of the frame
Penulis: Bambang Dwi Hartono, Dédé Oetomo, Johan Silas, Errol Jonathans, Dukut Imam Widodo, Michael Johnson, dan Sirikit Syah
Fotografer: Nicolas Carnet, Mamuk Ismantoro, Aunul Fitri, Ari Sudijanto, Hari Gunawan, Arief Ahadiyanto.
Peta: Ferawati
Penerjemah: Duncan Graham, Alex & Dinda Gough (IALF),
Penerbit: CCCL Surabaya, 2004
No. Panggil: 959.82 CCC Sur


Diterbitkan di tahun 2004, buku ini menggambarkan Surabaya, dengan menggabungkan kesan pribadi dan kesaksian dalam bentuk foto dan tulisan. Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) meminta Nicolas Carnet, fotografer Prancis yang telah beberapa kali berkunjung ke Surabaya, untuk berbagi pandangan dan rekaman mengenai pusaka dan penduduk Surabaya, bagaimana mereka hidup dan menegaskan identitas mereka.

Hasilnya merupakan kerja kolaboratif yang juga melibatkan berbagai fotografer lokal, yakni Mamuk Ismantoro, Aunul Fitri, Ari Sudijanto, Hari Gunawan, dan Arief Ahadiyanto. Ferawati membuat ilustrasi peta. Beberapa penulis—Bambang Dwi Hartono, Dédé Oetomo, Johan Silas, Errol Jonathans, Dukut Imam Widodo, Michael Johnson, dan Sirikit Syah—juga diundang untuk menuliskan kesaksian dan pandangan pribadi mereka mengenai Surabaya. Tulisan-tulisan ini ditulis dalam 3 bahasa: Inggris, Indonesia dan Prancis.

Peta ilustrasi oleh Ferawati, dengan tulisan Sirikit Syah di sebelah (hal. 54-55)

Demikianlah, foto-foto dan catatan-catatan di dalamnya sangat bervariasi. Seolah-olah mosaik yang menggambarkan kemajemukan kota ini. Memang, berulang kali tulisan-tulisan di dalamnya menekankan kemajemukan kota Surabaya dengan etnis yang berbeda-beda, sesuai dengan perannya sebagai kota pelabuhan.

Dédé Oetomo menyebut Surabaya sebagai “kota semua orang”, yang diibaratkan seperti rujak cingur, salah satu makanan khas Surabaya (dan kebetulan juga makanan favorit saya, hehehe…).

Laksana “rujak cingur”, berbagai golongan bercampur menjadi satu paduan, tetapi tetap tidak kehilangan warna dan rasa aslinya. Walaupun Suroboyo merupakan bagian dari kawasan budaya Jawa pesisir atau arek, sekaligus Soerabaia adalah kota kolonial—yang berkembang pesat berbareng dengan boom kolonial antara akhir abad ke-10 dan Perang Dunia II. Suroboyo adalah paduan kejawaan dan modernitas kolonial dan pascakolonial.

Potret Kampung Bubutan dan penjual sayur di pagi hari

Memang, ada kesan “campur aduk” yang kuat di Surabaya, perpaduan antara budaya arek dan modernitas yang berderap kencang. Melihat Surabaya sekarang, mungkin kita tidak dapat membayangkan bahwa kota ini sebenarnya adalah kota yang cukup tua. Johan Silas menulis dalam buku ini:

Tidak mudah untuk menangkap gambaran Surabaya sebagai kota tertua yang hingga kini masih hidup di Indonesia. Nama Surabaya sudah tercatat dalam sejarah sejak abad XIV. Hal yang menarik di dalam buku ini adalah, gambar-gambarnya mencoba mengatakan interpretasi dari modernitas dalam menjawab tuntutan citra rasa lokal sebagai jati diri sebenarnya…

Arsitektur berbagai bangunan bersejarah di Surabaya (Tugu Pahlawan, Hotel Olympic, Pasar Wonokromo) diciptakan oleh arsitek muda dari segala lapisan dalam mengekspresikan arsitektur modern yang non-kompromis, bebas, hidup dan sebagai karya manusia. Nama yang diberikan adalah arsitektur jengki (Yankee), yang membebaskan dunia dari dominasi kolonialis negara berkuasa.

Potret situasi dan kondisi tempat kerja buruh di Surabaya

Sebagaimana dipotret dalam buku ini, bisa mendapati “atraksi” pusaka yang megah, seperti Hotel Mojopahit, pintu masuk gerbang Kya-kya di Pecinan, Ampel Suci, berdampingan dengan gang-gang di Keputran, Kampung Bubutan dan ibu-ibu penjual sayur yang berkeliling di pagi hari, warga Tionghoa di Kapasan, pesantren daerah Jagir, Pasar Waru Sidoarjo dengan penjual dan daganannya yang berada di atas lintasan kereta api, dengan bahaya terlindas setiap saat.  Plaza Tunjungan, Jalan Kobes Pol, biker di daerah Bambu Runcing atau yang disebut Embong Macan, pasar ikan hias di jalan Irian Barat (yang sekarang sudah tidak di sana lagi), higga tempat tinggal dan tempat kerja kuli Madura.

Pasar Waru, dengan orang-orang berjualan di atas rel kereta api (yang masih aktif dengan segala resikonya…)

Howard Dick dalam Surabaya, City of Work, juga menyebutkan bagaimanapun, dibandingkan Jakarta yang lebih metropolitan, Surabaya masih menyimpan karakteristik provinsialisme­ dan ke-“Jawa (arek)”-annya.  Kemungkinan besar karena pendatang pun kebanyakan berasal dari Jawa, dibandingkan dengan Jakarta yang memiliki lebih banyak pendatang dari luar Jawa (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi). Tentunya, karakteristik-karakteristik ini akan selalu berubah dan tidak baku.

Saya mendapatkan buku ini ketika sedang membantu Pramenda Krishna, atase humas Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL, sekarang IFI Surabaya) bebersih dalam rangka persiapan pindahan mereka dari Darmokali ke AJBS tahun lalu. Saya cukup tercengang mengetahui bahwa buku seperti ini pernah diterbitkan. Sayang sekali tidak tersebarkan dengan luas. “Satu-satunya buku yang pernah diterbitkan CCCL,” jelasnya sedikit sendu. Mungkin sudah saatnya kita membuat lagi buku yang memotret Surabaya kini?

PS: Saat ini Ayorek sebenarnya juga sedang mempersiapkan pembuatan buku yang akan memotret kota Surabaya yang kita kenal saat ini. Bagi yang tertarik, monggo bergabung dalam Ayorek Treasure Hunting.


Ayorek bekerjasama dengan C2O Library & Collabtive untuk mendata dan mengulas buku-buku dan film yang berkaitan dengan kota Surabaya, dengan tujuan membangun daftar koleksi mengenai Surabaya, untuk memudahkan penelusuran informasi. Apabila Anda tertarik untuk berpartisipasi menyumbangkan (ulasan) buku atau film mengenai Surabaya untuk melengkapi koleksi ini, hubungi: info@c2o-library.net

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply